KEBUDAYAAN
TARIAN TOPENG SIDEKARYA DI BALI
Ida Bagus Ngurah Yudhi Dharmawan
Program Studi Pendidikan KIMIA,
Program S1
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja,
Jalan Udayana Nomor 11 Singaraja, Indonesia
e-mail: Agentyudhi@yahoo.co.id
Abstrak
Tari Topeng merupakan seni pentas tertua yang ada di bali
ini. Hampir semua bangsa di belahan dunia
mempunyai pentas seni penutup wajah dalam berbagai wujud dan
watak. sehingga kini topeng-topeng itu
masih menjadi bagian tradisi atau upacara keagamaan.
Ekpresi
estetik masyarakat manusia. Dan juga pada masyarakat di bali yang masih lekat
tingkat kepercayaan animisme dan dinamisme, topeng bukan hanya dipandang
sebagai sekedar penutup wajah namun dianggap memiliki kekuatan magis sehinga
ada yang dipentaskan pada upacara besar, Sedangkan keberadaan topeng pada
masyarakat modern selain tetap diusung sebagai benda seni juga dikembangkan
sebagai bentuk seni pertunjukan tari atau teater juga tarian-tarian kreasi
lainnya yang bisa menghibur.
Bali
adalah sumber seni yang sangat banyak mempentaskan seni tarian-tarian sacral
maupun tari kreasi untuk hiburan yang sering dipentaskan ,dan kita sudah sering mendengar dan kadang sering
melihat bebepa tari-tarian pertunjukan yang ada khusnya tarian topeng
sidekarya yang di adakan pada upacara upacara besar seperti ngaben, tawur
agung, dan upacara besar yang lain lainya, namun sudahkah kita tahu kenapa kita
mementaskan tari topeng sidekarya.
sebenarnya saya juga baru sangat memahami makna tari topeng sidekarya ini.
Tarian ini tidak bisa di pentaskan pada tempat tari-tarian biasa karna maknanya
religious dan juga sacral untuk menyelesaikan suatu upacara –upacara besar
hindu perlu dipentaskan tarian Topeng
Sidakarya.
Abstract
Mask
Dance is the oldest performing arts in Bali this. Almost all the nations in the
world has a face cover art performance in many different forms and character.
so now the masks were still a part of tradition or religious ceremony.
Aesthetic
expression of human society. And also of the people in Bali are still attached
level animism and dynamism, the mask is not only seen as a face veil, but was
considered to have magical powers so that nothing is staged in a large
ceremony, while the presence of the mask in modern society besides still
carried as an object of art also developed as an art form of dance or theater
performances are also dances other creations that can be entertaining.
Bali
is very much an art resource mempentaskan sacral art dances and dance creations
are often staged for entertainment, and we've often heard and sometimes often
see bebepa dance performances there khusnya sidekarya mask dances are held at
major ceremonies like cremation, tawur grand, and another other big ceremony,
but have we know why we perform mask dance sidekarya. I actually also just
really understand the meaning of this sidekarya mask dance. This dance can not
pentaskan dances at places unusual because of religious meaning and is also
sacred to complete a major Hindu ceremonies need Sidakarya mask dances
performed.
PENDAHULUAN
Sebagai orang bali kita sudah
sering mendengar dan kadang sering melihat pertunjukan tarian topeng
sidekarya khusunya pada upacara upacara besar seperti ngaben, tawur
agung, dan lain lainya, namun sudahkah kita tahu kenapa kita mementaskan tari
topeng sidekarya, dan apa manfaatnya bagi kehidupan kita. sebenarnya saya juga
baru baru memahami makna tari tupeng sidekarya ini setelah saya berada diluar
bali, karena seringnya ada orang yang menanyakan hal hal seperti itu sehingga
akhinya saya mencari cari informasi tentang tari tupeng sidekarya ini,
sebenarnya banyak juga orang bali yang tidak tahu tentang makna tari topeng
sidekarya ini. berikut ini saya dapatkan dari beberapa sumber semoga bagi teman
teman yang ingin mengetahui bisa bermanfaat dan dapat memberikan pegetahuan
tentang tarian topeng sidekarya. Dan juga kebanyakan masyarakat Bali yang tidak
mementaskan Topeng Sidakarya untuk muput yadnya beralasan lain lagi, yakni tak
ingin memanggil sekaa topeng. Pengeluaran bertambah dengan mementaskan topeng.
Namun, Topeng Sidakarya sendiri sesungguhnya bisa dipentaskan tanpapementasan
topeng.
Artinya, yang didatangkan hanya seorang penari topeng yang sudah berhak (secara
ritual) membawakan topeng Dalem Sidakarya itu.
PEMBAHASAN
·
Sejarah
Topeng sidekarya
Kisahnya
dimulai terjadi pada pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel, tatkala beliau
mengadakan upacara besar di Pura Besakih. Banyak pandita yang diundang untuk
muput upacara ini.
Tersebutlah
pandita (brahmana) sakti dari Keling, yang tidak diundang dalam upacara itu,
tetapi ingin terlibat muput karya. Niatnya ini karena didasarkan pada hubungan
kekerabatan antara Keling di Jawa dan Gelgel di Bali karena itu beliau datang.
Sayangnya, karena perjalanan yang jauh dan berhari-hari, Pandita Keling sampai
di Gelgel dalam keadaan kumal, bajunya compang-camping, mirip seorang pengemis.
Dalam pakaian seperti itu, tak ada seorang pun staf kerajaan yang percaya kalau
tamu tanpa diundang ini seorang pandita. Maka, Pandita Keling diusir dengan
paksa, setelah sebelumnya sempat dihina.
Pandita
Keling pergi dengan dendam. Di sebuah tempat yang sepi, dia melakukan perlawanan
dengan mengucapkan mantra yang berisi sumpah yadnya yang diselenggarakan oleh
Dalem Waturenggong tidak akan membawa berkah/tidak berhasil, malahan
menimbulkan bencana. Semua banten menjadi busuk dan tikus-tikus pun
mengerubungi banten busuk itu. Tikus semakin banyak sampai merusak tanaman
petani. Rakyat menjadi resah.
Raja
Waturenggong dalam samadinya tahu siapa yang mengutuk upacara besarnya itu. Dia
lantas mengutus Arya Tangkas untuk menjemput pandita yang masih tinggal di
tempat sepi (suung) itu. Raja meminta maaf dan mempersilakan Pandita Keling
untuk ikut muput upacara bahkan menjadi pamuput paling akhir sehingga karya itu
menjadi sida (diberkahi). Prosesi ini bagi masyarakat kebanyakan lantas disebut
pamuput Sidakarya.
Dari
legenda itu masyarakat Hindu di Bali lantas membuat Topeng Sidakarya. Wujudnya
berwajah jelek dengan gigi merangas sebagai simbol dari pandita yang wajahnya
mirip gelandangan. Karena itu, penari Topeng Sidakarya biasanya lebih banyak
menutup wajah — terutama mulut — dengan kain putih yang dibawanya. Namun,
mantra yang diucapkan sangat bertuah karena dilakukan dengan ngider buwana (ke
segala arah). Itu sebabnya, tidak semua penari topeng mampu menarikan Dalem
Sidakarya.
Kebanyakan
masyarakat Bali yang tidak mementaskan Topeng Sidakarya untuk muput yadnya
beralasan lain lagi, yakni tak ingin memanggil sekaa topeng. Pengeluaran
bertambah dengan mementaskan topeng. Namun, Topeng Sidakarya sendiri
sesungguhnya bisa dipentaskan tanpa ”pementasan topeng”. Artinya, yang
didatangkan hanya seorang penari topeng yang sudah berhak (secara ritual)
membawakan topeng Dalem Sidakarya itu.
Gamelan
pengiring tidak menjadi masalah, bisa gong gede, angklung, maupun gender biasa,
disesuaikan dengan gamelan yang ada pada penyelenggaraan yadnya. Dalam hal ini
penari Topeng Sidakarya disebut ”Topeng Pajegan”, karena dia harus menarikan
berbagai peran. Dalem Sidakarya hanya muncul pada saat akhir yakni ketika
membuat tirtha. Karena itu sebelumnya ”penari pajegan” ini melakukan
improvisasi dan monolog untuk mengantar pada kemunculan Dalem Sidakarya. Penari
bisa membanyol, bisa pula memberikan semacam dharma wacana, tergantung siapa
penarinya.
Sebagai
seni ritual (seni wali) Topeng Sidakarya perlu dikembangkan dan dipopulerkan.
Tentu fungsi utamanya ditambah, bukan hanya untuk mentradisikan legenda pamuput
akhir dari yadnya, tetapi untuk media dharma wacana. Sekarang ini bukan hanya
hama tikus yang meresahkan tetapi juga terjadinya kemerosotan moral pada
generasi muda. Nah, siapa tahu Topeng Sidakarya bisa menjadi media perlawanan
dalam mengatasi masalah moral ini dan bisa menjadi tongkak untuk menguatkan
kesenian di bali khususnya seni tari wali ini.
·
Ritual pembuatan
Tak hanya sang penari, proses pembuatannya pun tak bisa
sembarangan karena memang tak dipakai untuk sembarangan. Topeng Sidakarya ini
lain dengan topeng-topeng yang dibuat dan dijual secara massal, seperti di
pasar-pasar kerajinan atau pasar oleh-oleh. Perbedaannya bisa mulai dari
pemilihan bahan kayu, ritual memulai memahat, pengawetannya, hingga ritual
penghidupan topeng tersebut.
Namun, jangan salah paham dengan adanya ritual penghidupan
topeng ini. Penghidupan ini bukannya topeng tersebut kemudian bisa berbicara,
melainkan dimaksudkan terasa lebih hidup dan menyatu dengan sang penarinya,
yakni proses inisiasi (penyucian) dan pesupati (menghidupkan). Biasanya, si
penari topeng Sidakarya yang telah mewinten memiliki satu topeng khusus untuk
dirinya ngayah. Satu hal lagi, pembuat topengnya pun melewati tahapan mewinten.
Ida Bagus Sudiksa (51), asal Banjar Jambe, Keroboka Kaja, pun
mengingatkan permintaan membuat topeng Sidakarya ini tidak bisa sembarangan
meminta. ”Saya tidak akan pernah mau membuatnya jika dalam memintanya sudah
mengeluarkan sejumlah angka rupiah. Kami ini pembuat topeng sakral dan ini
bagian dari ngayah terhadap kehidupan ini,” katanya sambil tangannya tetap tak
terganggu membuat sebuah topeng.
Menurut dia, penyakralan pada pembuatan topeng ini mampu
menahan manusia untuk tidak semena-mena terhadap alam, khususnya pepohonan. Ia
beranggapan pendahulunya telah memikirkan bagaimana agar manusia tidak
sembarangan menebang atas nama kesenian, budaya, atau adat. Karena itu, dari
pemilihan kayu hingga penebangannya pun harus disesuaikan dengan musim serta
hari baiknya dengan tujuan agar alam tidak murka.
”Namun, ketika topeng sudah menjadi kerajinan yang dibuat
secara massal, manusia menjadi rakus tanpa memilih kayu itu sudah cukup umur
sampai tanpa pemilihan musim yang tepat pula. Semua demi kepentingan uang,
bahkan pariwisata. Wajar jika kemudian alam menjadi murka. Inilah salah satu
pesan topeng Sidakarya tentang alam,” katanya serius.
·
Sakral
Waktu pembuatan topeng sakral ini pun bervariasi, tergantung
dari mood sang pengukirnya, bisa hanya tiga hari atau sebulan. Sama halnya
dengan Pak Nang Tesen, Sudiksa pun mendapatkan bakat keturunan dari almarhum
ayahnya, Ida Pedanda Gede Telaga. Mereka ini bukan perajin, melainkan seniman
yang telah melalui tahapan penyucian. Namun, bakat ini bisa dipelajari dan
tidak semuanya mendapatkan dari garis keturunan.
Hal yang unik selama pembuatan topeng sakral, antara lain,
adalah pengawetannya yang harus direbus dengan kuah bumbu genep (bumbu dapur
lengkap) selama 12 jam tanpa putus.
”Karena merebusnya memunculkan bau yang enak seperti kuah
sayur yang bisa dimakan, sering kali tetangga pun berkelakar saya tengah
membuat sup topeng yang enak dan gurih,” ujarnya.
Meski demikian, lanjut Sudiksa yang juga dosen manajemen
pemasaran di Universitas Udayana itu, awet dan tidaknya topeng juga tetap tidak
lepas dari awal pencarian kayu cendana, pole, atau batang kamboja, termasuk
pemilihan tanggal penebangannya. Ia menambahkan, dari sejak ayahnya puluhan
tahun lalu, semua pembuatan topeng menggunakan ilmu logika. ”Kami semua
membuatnya dalam keadaan sadar dan pertimbangan penuh. Inilah seni lokal
genius,” ujarnya.
Sayangnya, bahan pengawetan alami ini tidak diikuti dengan
pewarnaan alami. Sudiksa mengatakan, pewarnaan alami tidak lagi memiliki
kualitas sama kuat antara puluhan tahun lalu dan sekarang. Karena itu, ia terpaksa
menggantikan dengan cat kimia dengan pemilihan kualitas nomor wahid.
Topeng sakral selain topeng Sidakarya di Pulau Dewata, juga
ada topeng yang sengaja disakralkan dan biasanya disimpan di pura-pura, seperti
Rangda, Barong, dan Irarung. Pementasannya pun tidak setiap saat karena
memiliki hari atau waktu pementasan sendiri. Semua topeng sakral ini pun
diberikan banten dan doa-doa, terutama ketika tumpek wayang, sebagai
persembahan kepada Dewa Iswara.
Semoga bisa menambah wawasan anda, mohon komentarnya jika ada
sesuatu yang salah dalam pembahasan saya di atas.
·
Sejarah Lahirnya Dramatari Topeng di
Bali
Para pakar di Bali pada umumnya
menggunakan empat versi mengenai lahirnya topeng di Bali. Pertama, sejarah
topeng di Bali biasanya mulai dari Prasasti Bebetin bertahun 896 masehi zaman
Raja Ugrasena di Bedulu, ini merupakan catatan tertua yang ditemukan di Bali
mengenai topeng.
Versi yang kedua kemunculan topeng
sebagai bagian dari purwaning kalangwan seperti yang tersurat dalam lontar (dan
kini buku) Siwagama.
Versi ketiga dari lahirnya dramatari
topeng dari cerita yang diceritakan dari gen erasi ke generasi mengenai Raja
Waturenggong yang memimpin Kerajaan Gelgel mengutus Patih Ularan ke Jawa Timur
untuk perang melawangan Kerajaan Blambangan dan mengambil seperangkat topeng sebagai pampasan perang. Ini adalah versi yang
paling terkenal.
Versi keempat berasal dari Sanghyang
Legong. Keberadaan tari topeng juga bisa ditelusuri dari asal-usul
topeng-topeng sakral di Ketewel. Selain dari keempat versi disebutkan diatas,
topeng juga disebutkan di dalam Negara Kertagama, buku Raja-raja pada abad
ke-14 yang sering disebut sebagai raket atau soritekes. Kisahnya selalu berupa
seputar panji, cinta antara
Panji yang berasal dari Kerajaan
Jenggala dan puteri Candra Kirana dari Kerajaan Daha, Dalam buku karangan
Laufer terbitan tahun 1923 halaman 29-30 disebutkan pula bahwa leluhur dari barong
adalah tarian singa dari Cina, atau disebut barongsai, yang muncul sekitar
Dinasti T’ang. dan tersebar ke banyak daerah Asia Timur.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan, dapat
ditarik suatu simpulan sebagai berikut: (1) Tarian Topeng sidekarya memberikan
dampak yang besar bagi perkembangan bagi masyarakat bali(2) Dapat membudayakan
tarian Bali. Namun
demikian, Kita sebagai masyarakat bali harus
dapat meningkatkan budaya tarian bali. Kemauan yang keras dari remaja itu sendiri dan didukung
oleh berbagai pihak; keluarga, masyarakat, dan pemerintah akan dapat
menghidupkan kembali tarian tersebut.
Berdasarkan dari simpulan yang dikemukakan, dapat diajukan saran
sebagai berikut;
Diperlukan suatu langkah tepat yang digunakan sebagai pedoman untuk
menuntun masyarakat bali akann
sadar akan kebudayaan tarian bali, agar tarian topeng sidekarya dapat dikenal
dan dipahami oleh seluruh masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
Bandem, I Made; Rembang, I
Nyoman. 1976. Perkembangan Topeng Bali Sebagai Seni Pertunjukan.
Kantun, I Nyoman; S.H. MM dan Drs.
I Ketut Yadnya. 2003. Babad Sidakarya.
Catra, I Nyoman.1996. “Topeng: Mask Dance-Drama As A Replection
of Balinese Culture; A Case-Study of Topeng/ Prembon”(master thesis) Boston.
|
No comments:
Post a Comment