December 28, 2013

AKTUALISASI TRI HITA KARANA SEBAGAI LOCAL GENIUS BALI DALAM UPAYA MEMINIMALISASI TINDAKAN “MENYAKITI” POHON(Artikel Bali)



AKTUALISASI TRI HITA KARANA SEBAGAI LOCAL GENIUS BALI DALAM UPAYA MEMINIMALISASI TINDAKAN “MENYAKITI” POHON

K. Daivi Wahyuni, Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Indonesia
e-mail: wdayvi_cimoet@yahoo.com

Abstrak

Penulisan artikel ini memiliki tujuan untuk aktualisasi tri hita karana sebagai local genius bali dalam upaya meminimalisasi tindakan “menyakiti” pohon.Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah kajian pustaka.  Manusia sering berbuat tidak adil kepada keseimbangan hidup tumbuh tumbuhan. Lihat saja pemasangan iklan yang ada di jalan-jalan sebagian besar dipasang di pohon. Biasanya sasaran dari pemasangan iklan tersebut di pohon perindang yang ada di pinggir jalan, baik iklan yang berukuran besar atau kecil. Iklan dipasang pada batang pohon dengan cara menancapkan besi paku. Selain itu, ada pula perusahaan dan oknum kampanye yang mamasang iklan mereka dengan mengikat di batang pohon menggunakan kawat besi. Pemasangan atribut-atribut kampanye ini jelas mengabaikan aspek keselamatan manusia dan lingkungan. Terutama akan merusak pohon itu sendiri sehingga akibat yang ditimbulkan kurang  mendapatkan oksigen hasil penyerapan karbon dari pohon. Kita pun akan kehilangan peneduh jalan, rawan akan banjir, dapat mempercepat pemanasan global karena CO2 yang tidak dapat diserap tumbuhan.sehingga untuk mengatasi hal ini perlu adanya upaya pengembangan tri hita karana sebagai salah satu meminimalisasi tindakan menyakiti pohon,penyuluhan atau sosialisai, tindakan konkrit mencabut paku, dan upaya penindakan langsung kepada oknum yang melanggar aturan.
Kata Kunci: Aktualisasi, Tri Hita Karana, Local Genius, Pohon

Abstract
Writing this article has the aim of actualization of Tri Hita Karana Bali as a local genius in an effort to minimize the actions " hurt "  the trees.Metode used in data collection is literature review . Humans often do no justice to the balance of plant life grows . Just look at the advertising that is on the streets mostly installed in the tree . Usually the target of the ads in the existing amenity trees by the roadside , both ads be large or small . Ad posted on a tree by plugging in the iron nails . In addition , there are also unscrupulous companies and their advertising campaigns mamasang by tying the tree trunk using iron wire . Installation of the attributes of this campaign is clear disregard of human safety and environmental aspects . Particularly would damage the tree itself so due to lack of oxygen caused by the absorption of carbon from the tree . We will lose the roadside , prone to flooding , may accelerate global warming because the CO2 can not be absorbed tumbuhan.sehingga to address this need for efforts to develop tri hita karana as one of the measures to minimize harm the tree , education or socialization , concrete actions repeal nails , and enforcement efforts directly to the person who violate dtherules. .
Keywords : Actualization , Tri Hita Karana , Local Genius , Trees

PENDAHULUAN
Dalam menghadapi permasalahan lingkungan, pandangan manusia cenderung bersifat antroposentris yaitu melihat permasalahannya dari sudut kepentingan manusia. Walaupun hewan, tumbuhan, dan unsur tak hidup diperhatikan, namun perhatian tersebut secara eksplisit atau implisit dihubungkan dengan kepentingan manusia. Manusia di dalam kehidupannya tidaklah cukup memperhatikan materi, energi dan informasi. Oleh karena itu, walaupun ekologi penting, hal lain yang juga menjadi pertimbangan keputusan manusia adalah ekonomi, politik, sosial budaya dan teknologi (Soemarwoto, 2004).
Hal tersebut terbukti dengan digembor-gemborkannya aksi penghijauan dan cinta lingkungan, namun di balik itu lingkungan hidup tetap saja menerima tekanan dari aksi manusia yang berbasis ekonomi dan politik. Salah satu tindakan berbasis ekonomi yang secara langsung dapat diamati yaitu pemasangan poster, baliho, spanduk dan bendera yang dalam pemasangannya dipaku pada pohon perindang di pinggir jalan (turus jalan).
Di sisi lain sebagai tindak lanjut otonomi daerah, kemajuan proses demokrasi pada politik lokal mulai dapat diukur, melalui pesta pemilihan kepala daerah (pilkada) yang dimulai dari pemilihan kepala desa, wali kota-wakil wali kota, bupati-wakil bupati, atau gubernur-wakil gubernur (Mandica, 2008). Sayangnya, para aktor pilkada nampak buta akan situasi tersebut. Lihatlah misalnya di sepanjang jalan-jalan kota atau kabupaten di mana sebuah hajatan pilkada akan dilangsungkan. Para peminat dan calon peserta pilkada dengan seenaknya memasang umbul-umbul dan baliho besar di tepi jalan tanpa mengindahkan keselamatan para pejalan kaki. Pada musim hujan yang disertai angin kencang, umbul-umbul dan baliho raksasa tersebut akan dengan mudah rubuh dan mencelakai manusia di sekitarnya. Belum lagi gambar-gambar yang dipaku pada pohon-pohon perindang. Selain penampilan gambar para aktor pilkada yang tidak menarik dipasang di pohon-pohon perindang sepanjang jalan kota, paku-paku yang dipergunakan sebagai penyanggah gambar secara perlahan akan menyakiti dan mematikan pohon-pohon tersebut (www.kapanlagi.com, 2008).
Dengan demikian, tentu akan ada suatu konsekuensi dari pesta rakyat tersebut, yakni kurangnya kesadaran para peminat pilkada akan aspek estetika dan etika lingkungan. Permasalahan tersebut bukan semata-mata persoalan teknis. Krisis ekologi global yang kita alami dewasa ini adalah persoalan moral, krisis moral secara global. Di sinilah letak peran etika, yang dapat mengarahkan perilaku manusia, baik atau buruk, benar atau salah (Andriana, 2004). Senada dengan hal tersebut, konsep Dari permasalahan yang ada tak bisa dipungkiri lagi manusia memiliki keterkaitan dengan lingkungan. Dalam ajaran Bali (Hindu), keselarasan hubungan antara manusia, lingkungan, dan Tuhan dijelaskan secara mendetail dalam konsep Tri Hita Karana.
Berdasarkan uraian tersebut perlu kiranya dilakukan kajian yang lebih mendalam terkait tindakan menyakiti pohon serta aktualisasi Tri Hita Karana terkait upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi tindakan menyakiti pohon.
            Berdasarkan pada permasalahan yang akan dikaji, tujuan penulisan ini adalah: untuk mengkaji aktualisasi Tri Hita Karana terkait upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi tindakan menyakiti pohon.

METODE PENULISAN
            Metode penulisan dalam artikel ini adalah kajian pustaka atau studi relevan yang terkait dengan Tri Hita Karana dan aktualisasinya dalam upaya meminimalisasi tindakan menyakiti pohon. Kajian pustaka ini berupa buku, koran, dan  internet.

PEMBAHASAN
             Manusia sering berbuat tidak adil kepada keseimbangan hidup tumbuh tumbuhan. Manusia terkadang hanya mementingkan hendonisme semata untuk memenuhi keinginannya tanpa memikirkan lingkungan sekitarnya. Lihat saja pemasangan iklan yang ada di jalan-jalan sebagian besar dipasang di pohon. Biasanya sasaran dari pemasangan iklan tersebut di pohon perindang yang ada di pinggir jalan, baik iklan yang berukuran besar atau kecil. Iklan dipasang pada batang pohon dengan cara menancapkan besi paku. Selain itu, ada pula perusahaan dan oknum kampanye yang mamasang iklan mereka dengan mengikat di batang pohon menggunakan kawat besi. Pemasangan atribut-atribut kampanye ini jelas mengabaikan aspek keselamatan manusia dan lingkungan. Lihatlah betapa banyak baliho berukuran besar yang terpasang di trotoar jalan dengan mengambil hak pejalan kaki. Pun, banyak baliho yang terpajang di median-median jalan atau taman-taman pemisah jalan menghalangi penglihatan pengendara yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan. Hal ini jelas membahayakan.
Pohon sebagai tempat pemasangan atribut kampanye, iklan politik dan pengumuman lainnya jelas akan merusak pohon. Paku yang menancap pada pohon berefek buruk terhadap perkembangan pohon, karena dapat menyebabkan kematian sel dalam pohon terutama lapisan cambium, xylem dan floem.
Karat pada paku bisa menyebabkan infeksi pada batang,  pengeroposan/kelapukan batang, pada jenis tertentu, seperti palem-paleman, sehingga memicu pembusukan pada batang. Jika kita melakukan pembiaran, maka akan semakin sulit bagi kita untuk mendapatkan oksigen hasil penyerapan karbon dari pohon. Kita pun akan kehilangan peneduh jalan bila kita peduli.
Kita membutuhkan pepohonan di perkotaan untuk kebutuhan udara segar, penyeimbang kondisi lingkungan, penyerap air, meminimalisir risiko banjir, peneduh jalan dan juga sebagai penunjang estetika kota.
Untuk itulah kita berkewajiban untuk menyampaikan pada bakal calon walikota dan wakil walikota serta politisi agar tidak memasang atribut-atribut kampanye mereka dengan cara memaku pohon. Andai mereka tak memedulikan seruan kita, satu-satunya cara menghukum adalah dengan tidak memilih para bakal calon walikota dan wakil walikota itu pada momen pemilihan nanti. Paling tidak, ada tiga alasan kenapa kita tidak boleh memilih para perusak pohon itu.
Pertama, dengan memaku pohon mereka sudah merusak pohon yang sangat vital bagi kehidupan kota dan warganya seperti yang tergambar di atas. Atribut-atribut kampanye berupa baliho di trotoar, median jalan dan ass (pembatas) jalan dapat membahayakan keselamatan para pengendara pengguna jalan maupun pejalan kaki.
Kedua, sudah ada aturan mengenai mengenai perlindungan pada pepohonan itu yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan juga Perda No.25 Tahun 1997 Penghijauan. Para bakal calon dan politisi itu seharusnya tahu mengenai dua aturan ini. Mereka telah mengabaikan dan melanggar aturan dengan tetap memasang atribut pada pohon.
Ketiga, para bakal calon dan politisi itu bisa mengelak dan berkelit bahwa pemasangan atribut itu dilakukan oleh pendukung dan tim sukses mereka. Alasan itu tidak salah. Tapi, biar bagaimanapun pendukung dan tim sukses itu berada di bawah tanggung jawab mereka.
Kita juga tak boleh berdiam diri melihat kerusakan pohon yang telah terjadi. Mencabut paku-paku bekas atribut kampanye harus kita lakukan, minimal yang ada di sekitar kita. Juga, mengajak orang-orang terdekat kita untuk melakukan hal serupa, sedikit demi sedikit, perlahan-lahan demi kebaikan kita bersama.

Istilah  Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini berkembang, meluas, dan memasyarakat (Egami, 2009).
Secara leksikal, Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara: 1) manusia dengan Tuhannya, 2) manusia dengan alam lingkungannya, dan 3) manusia dengan sesamanya. Unsur- unsur Tri Hita Karana ini meliputi: 1) Sanghyang Jagatkarana (Tuhan), 2) bhuana (alam), dan 3) manusia.
Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan di Bali (Hindu) sebagai berikut: hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yadnya, hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya, dan hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, Manusia Yadnya. Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan di Bali dapat dijumpai dalam perwujudan bertakwa kepada Tuhan, peduli sesama, dan peduli terhadap lingkungan. Penerapan nilai-nilai Tri Hita Karana secara sadar, dinamis, dan penuh dengan komitmen akan terbangun proses  hubungan kehidupan yang seimbang dan harmonis menuju tatanan kehidupan yang maju, aman, damai, serta sejahtera lahir dan bhatin.
            Alam adalah manifestasi dari badan Tuhan. Alam adalah merupakan perwujudan dari sathyam ‘kebenaran’, sivam ‘kebajikan’ dan  sundaram ‘keindahan’, yang kasat mata dari keagungan Tuhan. Alam adalah secara langsung menopang kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.   
            Hidup manusia adalah menyatu dengan alam. Hubungan manusia dengan alam adalah merupakan hubungan yang bersifat kekal abadi, karena manusia selalu akan hidup di alam semesta ini. Saling ketergantungan secara langsung antara manusia dengan alam sangat erat. Alam semesta, di samping merupakan tempat ajang latihan bagi manusia dalam meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya, alam juga merupakan sumber kehidupan yang menyediakan makanan dan berbagai macam fasilitas untuk kebutuhan dan kelangsungan hidup manusia.
            Oleh karena hidup manusia bergantung secara langsung dengan alam lingkungannya, maka manusia harus memelihara dan menjaga kelestarian alam dan lingkungannya. Dalam hubungan ini, kitab suci Weda menyatakan tentang berbagai manfaat yang diberikan oleh alam kepada mahluk hidup, sekaligus juga menghimbau agar umat manusia selalu menjaga kelestariannya demi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia itu sendiri.

            “Para orang bijaksana mendapati bahwa ada tiga benda yang menutupi seluruh alam semesta. Mereka memiliki bentuk-bentuk yang berbeda-beda dan aspek-aspek yang berbeda-beda. Mereka mengamati segalanya. Mereka adalah air, udara, dan tanaman. Benda-benda ini disediakan untuk setiap dunia” (Atharvaveda XVIII.1.17).

            “Ada sebuah garis keliling dari sebuah bulatan (paridhi) di setiap dunia untuk umat manusia dan ada sebuah inti (antardhi) yang adalah sumber tenaga (energi) untuk alam semesta”  (Atharvaveda XII.2.44).

            “Siapa pun, apakah umat manusia ataukah binatang, hidup dengan selamat, di mana kebersihan atmosfir (Brahman) dipelihara dengan segala cara untuk tujuan hidup”  (Atharvaveda VIII.2.25).

            “Sang bumi menyediakan permukaan bumi bagi tumbuh-tumbuhan karena pengaruh green hause. Sang api menyediakan besi. Tumbuh-tumbuhan dan tanaman yang memiliki perpaduan dengan sinar matahari, menyediakan atmosfir yang menyenangkan untuk penciptaan” (Atharvaveda V.25.5).
            “Tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan menghancurkan pengaruh atmosfir yang beracun” (Atharvaveda VIII.7.10).

            “Tanam-tanaman memiliki sifat-sifat semua para dewa. Mereka adalah para juru selamat kemanusiaan”  (Atharvaveda VIII.7.4).

            “Tanam-tanaman memberi makan dan melindungi alam semesta, oleh karenanya mereka disebut para ibu”  gveda X.97.4).,(R

            “Janganlah menebang pohon-pohon itu, karena mereka menyingkirkan pencemaran”  (Rgveda VI.48.17).

            “Janganlah mencemari air dan janganlah menyakiti atau menebang pohon-pohon itu”  (Yajurveda VI.22).

            “Janganlah mengganggu langit dan janganlah mencemari atmosfir”  (Yajurveda V.43).
           
            “Selalulah memperkuat dan memberi makan kepada bumi. Janganlah mencemarinya’  (Maitrayani samhita II.8.14).

            Di samping mantram-mantran yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi ada mantram yang berkaitan dengan manfaat yang diberikan alam kepada manusia dan himbauan yang mesti dilaksanakan oleh manusia untuk menjaga kelestariannya demi kepentingan manusia dan mahluk hidup di dalamnya. Oleh karena itu, manusia seharusnya selalu menjaga  keselarasan dengan alam, bukan ditundukkan oleh alam atau mengeksplotasi alam, seperti yang dikehendaki dalam Santhi mantram berikut ini.

            “Damai di langit, damai di angkasa, damai di bumi, damai di air, damai pada tetumbuhan, damai pada pepohonan, damai pada semua dewa, damai pada Brahman, damai dalam alam semesta, damai dalam kedamaian, semoga kami mendapat kedamaian itu” (Yajurveda XXXVI.17).

            Beberapa  uraian mantram-mantram di atas adalah merupakan inti dari konsep palemahan. Bhagawan Weda sesungguhnya telah mengisyaratkan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan hidup manusia agar manusia dapat mencapai kebahagiaan dan kedamaian yang sejati. Namun demikian, kebanyakan umat manusia tertutup mata dan telinganya sehingga ia tidak lagi dapat melihat keindahan akan keagungan Tuhan yang mesti ia syukuri sebagai berkah yang tiada ternilai, dan tidak dapat mendengar merdunya suara senandung kehidupan, sekalipun ia berada di dalamnya.
            Dari beberapa poin yang telah diuraikan di atas, jelaslah tampak bahwa konsep tri hita karana mengandung makna yang sangat luas dan dalam. Untuk dapat menghayatinya, seseorang perlu melakukan perenungan yang mendalam. Yang pasti, Tuhan telah menyiapkan segala sesuatunya, sekarang manusia hanya tinggal yang menyikapinya.
           
            Suatu gagasan akan memiliki nilai tinggi apabila disertai dengan terlaksananya gagasan secara nyata di lapangan. Untuk suksesnya gagasan ini, maka penulis memerlukan bantuan dari pihak-pihak yang dapat mendukung kinerja penulis. Dalam merealisasikan gagasan ini, penulis membutuhkan bantuan kerjasama dengan pihak-pihak terkait, seperti pemerintah beserta jajarannya, dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup, pemuka agama serta masyarakat. Peranan pemerintah dan pemuka agama sangat diperlukan guna mensosialisasikan gagasan ini kepada pihak-pihak yang kerap kali memasang iklan, bendera, poster, maupun pamflet dengan menancapkan paku pada pohon perindang jalan, tentunya dengan sosialisasi yang gencar dan terstruktur. Selanjutnya peranan masyarakat turut pula mendukung gagasan ini dimana masyarakat dapat ikut berperan serta dalam mengawasi tindakan-tindakan yang dapat menyakiti pohon.
            Strategi pengembangan sebagai upaya untuk mengurangi tindakan menyakiti pohon secara ringkas ditinjau dari aspek : target sasaran dan strategi pencapaian target sasaran.
            Guna mencapai target sasaran dengan baik, maka perlu dilaksanakan upaya-upaya sebagai berikut.
1.     Membentuk net working (jaringan mitra kerja)
Upaya ini dilakukan untuk menjalin kerja sama dengan target sasaran. Koordinasi antara pihak penulis beserta target sasaran diharapkan agar saling bersinergi guna menyukseskan gagasan ini.

2.     Support ivents (dukungan kegiatan)
Dalam upaya pengembangan Tri Hita Karana ini, diharapkan pula dukungan dari masyarakat Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, dalam menyukseskan gagasan ini.

3.  Memberikan peyuluhan / sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya pohon, supaya tidak membunuh pohon, menebang pohon, atau memaku berbagai iklan/pamflet di batang pohon

4.Melakukan tindakan nyata sederhana seperti mencabuti iklan yang dipaku di pohon, untuk setidaknya mengurangi kerusakan pohon tersebut, bisa secara berkelompok / bersama massa yang cukup banyak agar orang banyak yang tahu dan sadar, sehingga tidak akan memasang paku di pepohonan
5.   Turut mendukung upaya Pemerintah yang menindak tegas pihak yang memasang iklan dengan cara memakunya di batang pohon dan yang menebang pohon/mematikan pohon tanap seizing dinas yang berwenang, kemudian menghukumnya sebagai efek jera.
6.      Dinas Pertamanan bisa segera mengganti pohon – pohon yang sudah mati
7.      Baik pemerintah dan masyarakat hendaknya bersama – sama menjaga dan merawat pepohonan atau tumbuhan lainnya agar tidak rusak ataupun mati, sehingga dapat bermanfaat bagi diri kita sendiri dan orang lain

SIMPULAN DAN SARAN
            Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan pada pustaka-pustaka yang relevan terhadap Tri Hita Karana terkait upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi tindakan menyakiti pohon, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Tri hita karana dapat digunakan sebagai dasar untuk meminimalisasi….
2.      Cara aktualisasi tri hita karana dalam,

Adapun saran yang dapat diajukan dalam penulisasn artikel ini adalah pemerintah hendaknya memadukan antara peraturan daerah dan local genius untuk meminimalisasi tindakan “menyakiti” pohon. Selanjutnya, para aktor pilkada hendaknya mematuhi peraturan daerah yang berlaku dan meningkatkan pemahaman terhadap tri hita karana yang telah berlaku secara universal.

UCAPAN TERIMAKASIH
            Kepada dosen pembimbing yang selama ini telah membatu dan mengarahkan dalam proses belajar dan mengajar sehingga penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Purnami. 2011. Hidup Harmoni Dalam Bingkai Tri Hita Karana. Tersedia pada http://teologihindu.blogspot.com/2011/03/hidup-harmoni-dalam-bingkai-tri-hita.html.

Dwi,dania.2012. Pohonku Sayang, Pohonku Malang . Tersedia pada http://daniadwi.blogspot.com/2012/03/pohonku-sayang-pohonku-malang.html.

 


.

KEMBAR BUNCING “MANAK SALAH” DI DESA ADAT PADANGBULIA(Artikel Bali)



KEMBAR BUNCING “MANAK SALAH” DI DESA ADAT PADANGBULIA
Ni Luh Ramadhani Ade Mula
Universitas Pendidikan Ganesha, Jalan Udayana Nomor 11
e-mail : niluhramadhaniademula@gmail.com
Abstrak
Tujuan penulisan artikel ini untuk : (1) agar masyarakat mengetahui sejarah Desa Adat Padangbulia; (2) agar masyarakat mengetahui awig-awig yang mengatur bayi kembar buncing di Desa Padangbulia. Di Bali ada sebuah adat yang unik bila ada penduduk desa melahirkan anak kembar yang berjenis kelamin pria dan wanita atau yang disebut oleh penduduk setempat sebagai kembar buncing. Dulu si orang tua dan bayi kembar buncing ini menurut adat di Bali harus di dipindahkan dari rumah asalnya ke sebuah rumah darurat di atas tanah Banjar Adat yang terletak 800 meter sebelum kuburan dikarenakan menurut kepercayaan setempat bila yang bersangkutan menolak untuk dipindahkan maka semua penduduk desa akan mendapat kutukan atau memada-mada dari Ratu. Setelah masa pengucilan berakhir, maka akan diadakan upacara mecaru yang bertujuan untuk menyucikan bayi kembar tersebut. Namun, bukan hanya itu terkadang orang tua bayi kembar buncing harus membayar denda dan rela melepas salah satu bayinya. Bayi kembar itu harus dipisahkan sehingga kelak saat dewasa mereka tak pernah tahu bahwa mereka adalah saudara kandung dan sedarah, sedangkan para warga desa diminta oleh peraturan adat untuk merahasiakannya. Selanjutnya, ketua adat akan berusaha mengawinkan keduanya menjadi sepasang suami istri karena menurut kepercayaan warga , bayi kembar buncing memang telah dijodohkan sejak dalam rahim.

Kata-kata kunci : Desa Adat Padangbulia, kembar buncing, denda

Abstract
This article aims to: (1) to give information and knowledge towards the society about the history of Padangbulia Village; (2) to remind the society about the traditional customs regarding the different gender twin born in Padangbulia Village. Bali has a unique traditional custom in which parents who are having male and female children born as a twin, they should be moved outside the theritory of the village. They can still stay on the land of the village, but it should over 800 metres from the village borders. If the parents do not want to move, local people believe that the village will get some mystical curse from Ratu (Mada-mada). After the extradition is over, there would be “mecaru” ceremony done in the village to purify the twin children. In other case, the parent should pay certain amount of money or they should give away one of their twin. The twin will be separated, so that when they grow up in the future they will not know one to another. In addition, the villagers are asked to keep and preserve this custom in secret. Furthermore, the head chief of the village will try to make those twin children become a couple because they are believed to be destinied since they were born based on the local believe existing in the village.
Keywords: Padangbulia village, different gender twin, fine





















LATAR BELAKANG
Di Bali ada sebuah adat yang unik bila ada penduduk desa melahirkan anak kembar yang berjenis kelamin pria dan wanita atau yang disebut oleh penduduk setempat sebagai kembar buncing. Dulu si orang tua dan bayi kembar buncing ini menurut adat di Bali harus di dipindahkan dari rumah asalnya ke sebuah rumah darurat di Matas tanah Banjar Adat yang terletak 800 meter sebelum kuburan dikarenakan menurut kepercayaan setempat bila yang bersangkutan menolak untuk dipindahkan maka semua penduduk desa akan mendapat kutukan atau memada-mada dari Ratu.
Tidak itu saja, sang orang tua ini pun masih harus menjalani beberapa prosesi adat lainnya demi membendung murka dari sang ratu. Lantas prosesi seperti apa saja yang harus dilalui oleh orang tua sang bayi kembar buncing ini sebelum akhirnya diperbolehkan kembali ke rumah miliknya.
Berdasarkan fenomena yang ada di Desa Padang Bulia, dalam artikel ini akan dibahas beberapa rumusan masalah, diantaranya : (1) Sejarah singkat Desa Adat Padangbulia; (2) Kasepekang di Desa Adat Padangbulia terhadap Kelahiran Bayi Kembar Buncing “Manak Salah”; (3) Syarat-syarat yang Harus Dilalui Oleh Bayi Kembar Buncing; (4) Contoh Kasus Kembar Buncing “Manak Salah” di Desa Adat Padangbulia.
Penulisan artikel ini bertujuan untuk: (1) agar masyarakat mengetahui sejarah Desa Adat Padangbulia; (2) agar masyarakat mengetahui awig-awig yang mengatur bayi kembar buncing di Desa Padangbulia.

SEJARAH SINGKAT DESA ADAT PADANGBULIA
            Berdasarkan Lontar Dharma Ulangun, Lontar Dalem Madura dan Lontar Jaya Purana, bahwa sebelum daerah Den Bukit di Kuasai oleh Kolonial Belanda yaitu tahun 1949 Masehi, desa Padangulia adalah merupakan suatu pusat kerajaan Den Bukit, yang didirikan oleh Putra ke II raja Bali Kuno Dinasti Singamandawa yang beristana di Pulaki, Putra raja tersebut bernama Ida I Gusti Den Bukit atau I Gusti Made Bukit.
            Kerajaan ini mulai ditata berdirinya pada tahun I Cakra 1057 atau 1135 Masehi yang didirikan oleh beliau beserta pengikutnya bersama sama dengan Penduduk asli/Pasek di Desa ini. Daerah Padangbulia ini dahulu di sebut Desa Tani Agung yang bernama Purbhakara. Penduduk asli Purbhakara sudah mempunyai kepercayaan yaitu menyembah arca Manik yang merupakan palinggih roh leluhur yang diyakini dapat melindungi mereka.
            Kepercayaan semacam ini oleh ahli sejarah yang bernama N.D Pandit Shastri disebut Anismisma. Kerajaan ini dibentuk karena Desa Tani Agung ini mengalami kehancuran yang bersamaan dengan hancurnya Arca Manik yang dipercaya sebagai dewa di desa ini. Akibat kehancuran yang menimpa desa inilah putra kedua raja Dinasthi Singhamandawa yang beristana di Pulaki karena merasa iba ingin berkunjung ke Desa Tani Agung (Purbakara).
            Dengan dibekali banyak senjata pusaka oleh ayahanda yaitu Sang Raja, lalu beliau meninggalkan istana Pulaki beserta para pengikutnya dan angkatan perang/papadu yang bernama Bendesa Pasek Macan Gading. Setelah tiba di Desa Tani Agung benarlah bahwa desa tersebut kondisinya memperhatinkan, lalu di bangunlah pemerintah baru dengan bergotong royong, bahu membahu secara bersama-sama. Pendiri Pemerintah Kerajaan Den Bukit ini berpusat di Desa Padangbulia sekarang menjadi Krama Desa Marep, sedangkan para warga yang dtang belakangan setelah berdirinya kerajaan ini adalah menjadi Kerama Desa Sampingan. Menurut kelompok pengkajian Budaya Bali Utara ( Noet Balinese Study Grup ) yaitu Drs. I Gusti Ketut Simba dan DR Soegianto Sastrodiwiryo mengatakan bahwa dilihat dari struktur palinggih yang terdapat di pura Desa Padangbulia maka diyakininya Desa Padangbulia adalah dahulu merupakan bekas pusat kerajaan dan Puri Agung Jero Gede Padangbulia adalah pusat Istana Raja tersebut pada tahun 1177 masehi ada tujuh kerajaan di Bali Dwipa yang semuanya merupakan keturunan raja Singhamandawa yang di sebut sapta Nagara, tentang keberadaan kerajaan ini juga telah diteliti secara mendasar oleh para ahli sejarah lainnya yaitu Dr. Stutterheim, Dr. L.C. Damais dan DR Goris.
            Dalam lontar Dalem Madura menyebutkan bahwa setelah Raja tersebut turun temurun sampai keturunan kalmia, maka mempunyai tiga orang putra yaitu yang pertama bernama Ida Ratu Kaler atau juga disebut Ida I Gusti Kaler yang kedua bernama Ida I Gusti Den Bukit atau juga disebut Ida i Gusti Made Bukit dan yang ketiga bernama Ida I Gusti Umabiaan atau disebut Ida I Gusti Nyoman Gunung, Ida Ratu Kaler beristina di Mayong bergelar Ida I Gusti Jero Gede Mayong. Ida I Gusti Den Bukit beristana di Desa Tani Agung yang bernama Purbhakara bergelar Ida I Gusti Jero Gede Padangbulia, Ida I Gusti Umaabian beristana di Umabiaan bergelar Ida I Gusti Jero Gede Umajero merupakan catur Desa yaitu mewilayahi Tamblingan, Desa Munduk, Desa Gesing dan Desa Uma Jero.
I Gusti Jero Gede adalah terdiri dari kata I Gusti dan Jero Gede. I Gusti adalah titel penghormatan tertinggi yang dibawa dari Jawa, titel ini biasanya dieruntukkan kepada I Gusti Prabu, I Gusti Allah dan lain-lain sedangkan Jero Gede merupakan bahasa Bali Kuno yang artinya Anak Agung atau Dalem kalau ditelusuri lebih lanjut bahwa tempat tinggal atau istana ketiga putra raja dinasti sanghamandawa itu adalah merupakan bagian wilayah palemeng aji panjang. Raja Ida I Gusti den bukit tiada beda dengan leluhur beliau yaitu selalu ingin batinnya dengan sanghyang embang, merintis pemerintahan baru yang dibentuknya itu dengan diawali membuat pelinggih para kawitan pendiri pemerintahan kerajaan den bukit, dengan istana kerajaannya bernama Puri agung Jero Gede Padangbulia. Beliau bersama kai tangfan penduduk setempat maupun rakyatnya mengadakan upacara seperti upacara sarin tahun upacara penyucian tri hita karana yang sesuai dengan situasi kondisi setempat sebagai desa tua, berdasarkan dengan isi beberapa lontar diantaranya lontar coak, sri teka, jayeng lange, jaya purana, darma ulangun, brahma sapa, dewa tatwa dll. Yang semua itu merupakan perujudan kerangka dasar agama hindu yaitu tatwa susila dan upakara oleh karena itu beliau atau kerajaannya diberi banyak nama oleh para orang bijaksana seperti gelar Ida I Gusti Jro Gede Padangbulia. Padangbulia adalah berasal dari kata Padang dan Bulia, dimana Padang artinya terang atau cahaya dan bulia berasal dari kata mulia. Jadi padangbulia arti sesungguhnya adalah cahaya atau surya yang mulia sedangkan surya pada umumnya diidentikan dengan raja selain itu juga disebut Prabakula dimana praba artinya sinar atau surya sedangakn kula adalah kaula jadi prabakula adalah dimaksudkan sesuatu kerajaan yang dibangun bersama-sama yaitu raja dan rakyat atau menganut konsep rwa binreda yaitu purusa. Perdana atau akasa dan pertiwi. Widarbasari juga terdiri dari kata Widarba yang artinya padang atau sinar dan sari artinya inti atau pusat jadi widarbasari mengandung arti pusat sinar atau pusat kerajaan atau kemungkinan juga mengandung arti bahwa widarba sama dengan padang /padi dan sari sama dengan hasil. Ari wita artinya adalah ari sama dengan mempunyai sedangkan wita barang-barang yang berharga atau utama. Barang-barang utama yang dimaksud kemungkinan ada kaitannya dengan senjata-senjata pusaka raja den bukit yang tersimpan dipejenengan puri agung den bukit jro gede padangbulia dari nama raja Ida I Gusti Den Bukit yang bergelar Ida I Gusti Jro Gede Padangbulia, Raja Ida I Gusti Den Bukit yang bergelar Ida I Gusti Jero Gede Padangbulia didalam melakukan upacara itu perlu efesiensi waktu dan tenaga untuk itu semua batas-batas wilayahnya tersebut dibuatkan pura pasimpangan sebagai penyawangan dipusat kota kerajaan den bukit yaitu : 1. Pura Pucak Manggu sebagai batas selatan terletak diwilayah gitgit disebut dengan pura dukuh akan tetapi sejak tahun i Caka 1555 Pucak Manggu menjadi kekuasaan mengwi dan menjadi batas kabupaten buleleng. 2. Cekik sebagai batas barat yang sekarang Pura Cekik. 3. Pura bukit Sinunggal dan pura dalem tamblang tangkid, dibuatkan pura Tamblang/Pura Keladian. 4. Laut dibuatkan Pura Mahaayu. 5. Pusat adalah kota kerajaan pura desa.
            Danau Bulian adalah bersal dari kata Embung bulian dimana embung artinya telaga atau danau dan bulia adalah diambil dari kata keterangan wilayah yaitu wilayah kerajaan Den Bukit yang bergelar Ida I Gusti Jero Gede Padangbulia lama kelamaan dari keterangan wilayah menjadi keterangan tempat, dari perubahan kata keterangan itulah lalu dari kata bulia menjadi bulian menjadi bulian. Selanjutnya disebut pura-pura diatas dijadikan penyawangan dan tidak mengurangi arti atau fungsinya. Pada saat Upacara sarin tahun yang jatuh apda Purnama sasih kapat. Dalam melakukan upacara ini semua pura katuran banten sesuai masing-masing. Pura Pucak Manggu sebagai hulu maka di pura Dukuh katuran banten dengan sarana kepala babi, cekik sebagai tangan kiri sarana pala kiri, pura tamblang, tangkid dan pura bukit sinunggal sebagai tangan kanan katuran banten pala kanan atau pala tengen laut pura, Pura Mahaayu sebagai pantat katuran dengan sarana pantat lengkap dengan ekor babi dan Pura Desa serta Pura dalem kedua pura tersebut katuran banten sarana perut babi dengan upaca tersebut diyakini seluruh den bukit selalu selamat, aman damai dan sejahtera. Bahkan pada tahun I Cakra 1265 atau 1343 Raja Asta Sura Ratna Bumibanten atau Gajah Wakra atau juga yang dikenal dengan nama Sri Raja Tapulung dengan maha patih Ki Kebo Iwa Bersama keluarga Arya Karang Buncing datang ke kerajaan den Bukit bertujuan untuk bersama sama mendekatkan diri kepada Sang Hyang Embang , mendoakan agar bali tetap aman dan damai, kemudian Sri Raja Tapaulung pergi menemui Raja Ida I Gusti Agung Gede Suniata yaitu raka ke IV Kerajaan Den Bukit di padukuhannya yang bernama Wanatambara. Kebesaran nama kerajaan Singhamandawa tersebut tidak diragukan lagi karena lebih dari 30 buah prasasti yang ditingkannya. Sri Wira Dalem Keshari Warmadewa menurunkan raja Dinasti Warmadewa dan keturunnya yang terakhir Asta sura Ratna Bumibanten atau sri raja Tapaulung maka sejalan dengan perkembangan sejarah terjadi perubahan nama dari Wilayah Palemeng aji panjang menjadi wilayah den bukit. Hal ini disebabkan karena setipa orang dari wilayah kerajaan den bukit yang mengadakan interaksi keluar utamnya di bidang perdagangan/barter banyak menyebutkan identitasnya bahwa dirinya dari kerajaan den bukit. Begitu pula halnya orang-orang dari lain negara/kerajaan yang ada di bali membawa dagangannya dengan menyebut kewilayah kerajaan den bukit sehingga nama pelemeng aji panjang semakin sirna ditelan jaman demikian juga halnya dari beberapa nama yang diberikan oleh para bijak hanya nama orang Padangbulia yang terkenal banyak orang dan terus bertahan hingga kini.
KASEPEKANG DI  DESA ADAT PADANGBULIA TERHADAP KELAHIRAN BAYI KEMBAR BUNCING “MANAK SALAH”
Mitos hadir disaat pikiran masyarakat belum mengikuti perkembangan zaman. Tetapi ketika zaman sudah maju, hanya satu mitos yang  menarik perhatian masyarakat  di Buleleng dan masih diingat keberadaannya. Mitos ini merupakan kasepekang (pengucilan) yang  terjadi di desa adat Padang Bulia, Buleleng. Berawal dari sebuah mitos di mana jika bayi lahir di lingkungan kerajaan, bayi kembar buncing dianggap berkah yang membawa keberuntungan. Kembar buncing di lingkungan kerajaan dibesarkan secara terpisah. Setelah mencapai dewasa, keduanya akan dipertemukan kembali dan dikawinkan sebagai suami istri. Dibandingkan dengan anak lainnya, anak kembar buncing ini memiliki tempat yang sangat terhormat di lingkungan kerajaan.
Sebaliknya, jika bayi kembar buncing lahir di luar lingkungan kerajan, kehadiran sang bayi diyakini sebagai aib. Bila kita berpedoman pada sastra tua di Bali, anggapan noda aib dari kembar buncing bersumber dari ajaran raja yang menjelaskan bahwa pasangan bayi kembar tersebut ketika dalam kandungan telah melakukan hubungan seksual, sehingga kehadiran kembar buncing dianggap menggangu keharmonisan desa. Lebih dari itu, desa menjadi tercemar hingga harus dipulihkan melalui sanksi adat yang ditentukan.
Sesuai dengan aturan adatnya, sang bayi kembar harus menanggung sanksi adat berupa pengucilan ke sebuah lokasi sepi yang sangat jauh dari perkotaan atau desa tempat tinggalnya. Masa pengucilan bayi kembar buncing itu harus dijalani selama 105 hari . Selama tenggang waktu itu pula orang tua bayi tidak dibolehkan beraktivitas , melakukan perjalanan ke luar desa ataupun mencari nafkah. Pengucilan itu sendiri bermaksud untuk dapat membersihkan aib bawaan kembar  buncing.
Setelah masa pengucilan berakhir, maka akan diadakan upacara mecaru yang bertujuan untuk menyucikan bayi kembar tersebut. Namun, bukan hanya itu terkadang orang tua bayi kembar buncing harus membayar denda dan rela melepas salah satu bayinya. Bayi kembar itu harus dipisahkan sehingga kelak saat dewasa mereka tak pernah tahu bahwa mereka adalah saudara kandung dan sedarah, sedangkan para warga desa diminta oleh peraturan adat untuk merahasiakannya. Selanjutnya, ketua adat akan berusaha mengawinkan keduanya menjadi sepasang suami istri karena menurut kepercayaan warga , bayi kembar buncing memang telah dijodohkan sejak dalam rahim.

SYARAT-SYARAT YANG HARUS DILALUI OLEH ORANG TUA BAYI KEMBAR BUNCING
Prosesi yang harus dilalui oleh orang tua sang bayi kembar buncing ini sebelum akhirnya diperbolehkan kembali kerumah miliknya adalah sebagai berikut :
1.      Kedua orang tua beserta bayinya diharuskan untuk keluar dari rumahnya dan pindah ke rumah darurat yang berdiri di atas tanah Banjar Adat yang letaknya tepat 800 meter dari tanah pekuburan selama kurang lebih 3 Bulan, atau sampai yang bersangkutan melihat 3 kali bulan purnama.
2.      Selama dalam pengungsian, kedua orang tua sang bayi serta sang bayi sendiri tak diperbolehkan untuk melakukan perjalanan keluar desa.
3.      Sehari menjelang berakhirnya pengungsian atau pengucilan ini sang orang tua diwajibkan untuk melakukan upacara adat lainnya berupa upacara Pecaruan di Jaba Pura Desa.
4.      Dan sehari setelahnya sang orang tua bayi kembar buncing ini pun diharuskan pula melakukan upacara melasti ke laut / segara yang diyakini sebagai pelarungan segala kesialan. Pada upacara inilah si orang tua bayi harus merogoh kocek yang lumayan dalam.
5.      Dan sebagai ritual penutup terhitung sehari seusai melakukan upacara melasti selama 3 hari si orang tua bayi beserta bayinya bersembahyang di tiga Pura Desa yang mempunyai Balai Agung Pegat. Dan seiring berakhirnya masa sembahyang di hari yang ketiga ini maka masa pengasingan ini pun selesai dan yang bersangkutan diperbolehkan kembali ke rumahnya atau melakukan perjalanan ke luar desa.

CONTOH KASUS KEMBAR BUNCING “MANAK SALAH” DI DESA ADAT PADANGBULIA
Suasana di Desa Adat Padangbulia, Sukasada, Buleleng, Rabu (16/6) kemarin, terlihat amat sibuk. Puluhan warga dengan pakaian adat lengkap tampak membersihkan sampah dan rumput liar di sekitar pura dan jalan-jalan desa, sementara sebagian warga lain sibuk menggelar upacara penyucian (mecaru) di sejumlah tempat yang sakral. Kesibukan warga ini ternyata berkaitan dengan peristiwa kelahiran bayi kembar buncing yang diwarnai dengan dresta pengungsian atau tapa berata di suatu tempat di sudut desa.
Seharusnya bayi kembar buah kasih pasangan Nengah Tarsa (34) dan Ketut Susun (39) itu dipulangkan dari lokasi tapa berata tepat pada Buda Cemeng Ukir kemarin. Setelah diupacarai dalam upacara penyucian, bayi itu lantas diantar ke rumah tinggalnya bersama warga adat. Lalu pada hari tilem sasih sada, Kamis (17/6) hari ini, semestinya bayi itu bersama warga adat menggelar upacara melasti ke segara.
Namun, di desa yang sejuk itu, Rabu kemarin, tak ada upacara penyucian bayi sekaligus prosesi pemulangan. Yang tampak hanya ratusan warga yang sibuk membakar kubu bekas tempat pengungsian sang bayi, lalu upacara penyucian di bekas kubu itu dan sejumlah pura serta pelinggih di desa tersebut. Kenapa tak ada peristiwa pemulangan bayi?
Bendesa Adat Padangbulia Gusti Nyoman Bisana memaparkan bayi kembar buncing itu ternyata sudah meninggalkan lokasi tapa berata pada 24 April lalu, jauh sebelum batas akhir pemulangan yang ditentukan menurut dresta desa adat. Diceritakan, pada 24 April itu si bayi kembar sakit. Atas seizin desa adat, bayi itu lantas dibawa ke rumah sakit di Singaraja, dengan perjanjian setelah sembuh bayi itu akan kembali menempati lokasi tapa berata di sebuah sudut desa di Padangbulia. Namun, menurut Bisana, ketika pulang dari rumah sakit pada 10 Mei lalu bayi itu ternyata dibawa pulang ke rumah oleh orangtuanya, bukan ke tempat pengungsian.
Bisana mencoba melakukan pendekatan agar Tarsa mau kembali mengikuti dresta adat yakni kembali membawa bayinya ke lokasi tapa berata. Ternyata pendekatannya gagal, Tarsa malah mengirimkan surat penolakan yang dilampiri salinan Perda No.10 tahun 1951 tentang penghapusan manak salah. Atas perbuatannya itu, desa adat menggelar paruman dan memutuskan memberi denda kepada Tarsa sesuai awig-awig. Denda yang dikenakan berjumlah Rp 2.100.000 karena dianggap melanggar papetetan wong desa dan dianggap berbohong. Selain itu, desa adat juga mengenakan uang pecamil (semacam ganti rugi) Rp 5.950.000.
Denda itu harus dibayarkan pada sangkepan desa adat pertama yang akan digelar pada Buda Umanis Kulantir, 23 Juni mendatang. Jika tak mau membayar, denda akan dilipatgandakan menjadi dua dan harus dibayar pada sangkepan adat berikutnya. "Jika terus-terusan tak bayar, maka akan dikeluarkan dari anggota adat," kata Bisana.
Seperti diberitakan sebelumnya bayi kembar buncing yang lahir Jumat, 9 April sekitar pukul 7.40 wita dan pukul 8.10 wita itu menjalani masa pengungsian (tapa berata) di sebuah tanah kosong di sudut desa. Untuk tempat tinggal, warga adat membuatkan bayi itu sebuah bangunan sederhana dan setiap malam dijaga warga secara bergiliran. Pada 21 April bayi itu sempat mau dipulangkan secara sukarela, namun sebelum keputusan adat diambil secara resmi, tiba-tiba terjadi peristiwa gaib di mana sekitar 11 warga Desa Adat Padangbulia kerauhan sehingga pemulangan bayi itu dibatalkan.

DAFTAR RUJUKAN
Dekmaskariani_2011_kasepekang di desa adat padangbulia_http://dekmaskariani.blogspot.com/2011/12/kasepekang-di-desa-adat-padang-bulia.html
Balipost_2004_kasus kembar buncing di padangbulia_http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2004/6/17/b21.htm
Buleleng blogspot_2010_sejarah singkat desa padangbulia_http://sukasada.bulelengkab.go.id/?sik=kantor&bid=47ef412807f12c48bdc5c320c2e20c16












Cara Membuat Effect Hollogram dengan Photoshop

Om Swastiastu Kawand-kawand Youtuber... Oke kawand-kawand pada hari ini saya akan memberikan tutorial efek photoshop kali ini, mimin ...