PERUBAHAN SISTEM PENULIAN TATANAMA MASYARAKAT HINDU DI
BALI
I Made Karya
Artana
Program Studi
Pendidikan KIMIA, Program S1
Universitas
Pendidikan Ganesha
Singaraja,
Jalan Udayana Nomor 11 Singaraja, Indonesia
e-mail: karya_artana@yahoo.com
Abstrak
Penulisan
artikel ini bertujuan untuk mengkaji sistem tata nama masyarakat di Bali yang
telah bergeser baik karena kurangnya pengetahuan masyarakat maupun karena perkembangan
teknologi dan arus globalisasi. Prubahan yang dikaji mulai dari nama menurut
warna, sampai nama menurut wangsa.
Berdasarkan gambaran ini kemudian dikaji dampak dari perubahan tatanan nama
masyarakat, dan perubahan menurut hukum yang berlaku dalam susunan kasta yang
ada. Kajian ini berusaha menjelaskan dampak dari perubahan tatanan nama terhadap
tatanan budaya dalam masyarakat di Bali, dan dampak kedepannya bagi generasi
muda di Bali.
Kata kunci:
nama, kasta.
Abstract
Writing this
article aims to review the system of society in the name of Bali which has been
shifted due to the lack of public knowledge as well as the development of
technology and globalization. Interchangeability studied ranging from names
according to color, to name according to the dynasty. Based on this picture and
then examines the impact of changes in the name of public order, and change
according to the applicable law in the makeup of the existing caste. This study
seeks to explain the impact of the change order to the order of names in
Balinese culture in society, and the impact of the future for the young
generation in Bali.
Bali
merupakan salah satu daerah yang kental akan budaya, dimana setiap plosok
kultural di Bali memiliki budaya dan tradisi masing-masing. Dimana setiap kebudayaan
daerah yang dimiliki tersebut merupakan budaya yang sudah turun-temurun
diwarisi oleh generasi ke kegenrasi dari kelompok orang atau daerah itu
sendiri. Setiap budaya yang tumbuh di Bali tentulah tetap berpedoman dengan
pada suatu tatanan yang sudah diwarisi bersama. Namun dalam perkembangannya banyak
mengalami integrasi atau penyimpangan, baik dari penyusunannya maupun pemaknaanya.
Seperti halnya tatanan pemberian nama masyarakat di Bali. Penulisan nama dalam
masyarakat saat ini telah banyak mengalami pergeseran. Dimana dalam penulisan
tatanama di Bali seharusnya sesuai dengan ‘Caturwangsa’
dan ‘Caturwarna’ yang telah diwarisi
oleh masyarakat di Bali sejak zaman dahulu.
Dalam
masyarakat perubahan nama dalam
Caturwangsa sering terjadi karena berbagai faktor seperti, karena melukat atau mapinunas. Melukat atau mapinunas adalah upacara yang
dilaksanakan karena ada suatu kejadian buruk terjadi pada seseorang, seperti
sering sakit-sakitan, atau memiliki suatu kelainan. Akibatnya banyak terjadi
perubahan tatanama di beberapa daerah di Bali. Penggolongan masyarakat di Bali
menurut kelahirannya telah memiliki nama tingkatan seperti, anak pertama
memiliki jabatan Wayan, (Putu, atau Gede), yang kedua memiliki jabatan Made (Kadek), yang ketiga
Nyoman (Komang) , dan yang terakhir Ketut.
Keragaman
tatanama masyarakat di Bali dahulunya kebanyakan masyarakatnya diberikan nama
berdasarkan atas dasar memperingati kejadian tertentu yang datangnya bertepatan
dengan kelahiran seorang tersebut, seperti misalnya, I Wayan Tilem dimana
kelahirannya tepat pada hari dimana tiada Bulan (Tilem), I Nyoman Glebug
diberikan saat ada sesuatu jatuh, dan lain sebagainya. Selain itu kelahiran
jabatan nama seseorang juga bisa atas dasar golongan keturunan leluhurnya
seperti Golongan Brahmana (kasta
pendeta), Golongan Ksatria (kasta
panglima perang), Golongan Wesia (kaum
dagang), Golongan Sudra (rakyat
biasa). Sistem tatanama orang Bali berdasar keturunan (caturwangsa) mencerminkan bentuk tradisi lisan yang sudah lampau
tapi masih hidup dan berlaku dalam lingkup budaya masyarakat Bali pada saat
ini, namun masih banyak masyarakat yang kurang memahami pemberian tatanama yang
sesuai menurut aturan tulisan yang telah ada dari sejak dahulu, dan hanya
menerapkan atas dasar pengetahuan lisan yang mereka ketahui. Rumusan masalah
yang dapat diambil dari hal tersebut adalah, agar pembaca dapat mengetahui
pengertian caturwarna dan caturwangsa masyarakat nindu di Bali. Tujuannya agar
setiap masyarakat sadar dan paham akan pentingnya pelestarian kebudayaan
tatanan nama berdasarkan kasta masyarakat Bali.
Pembahasan
Tatanama Masyarakat Hindu Di Bali
Pada
dasarnya nama-nama orang Bali sangat khas karena di dalam penggunaanya mengacu
pada identitasnya sebagai orang Bali, bukan sebagai suku bangsa lain. Tatanama
ini bersifat tradisi yang khas karena dalam penggunaan tatanama dan tatagelar
pada setiap orang Bali tidaklah sembarang, karena harus melewati berbagai
upacara adat yang mengikatnya.
Masalah
mulai muncul saat pemberian tatanama sudah tidak sesuai kaidah yang telah ada,
melainkan berdasarkan keinginan orang tuanya yang meberikan berbagai variasi
nama yang dilakukan secara bebas terhadap putra-putrinya yang sudah tidak
sesuai dengan ciri khas budaya yang telah ada. Pemberian nana terhadap
putra-putrinya sudah mulai bergeser dan tidak mencerminkan golongan masyarakat
Hindu yang asli dari Bali. Hal ini terjadi akibat proses perkembangan
globalisasi yang semakin memperparah sistem pemberian tatanama masyarakat di
Bali. Masih sedikit masyarakat yang mengerti akan tradisi ini, karena
kebanyakan masyarakat lebih memilih memberikan anaknya nama berdasarkan kemauan
hati dari orang tuanya sendiri, tanpa memperhatikan tradisi dan budaya yang
dimiliki.
Kurangnya
pengetahuan dasar dari masyarakat menyebabkan semakin maraknya pengaruh
globalisasi yang menyebabkan masyarakat semakin buta terhadap budayanya
sendiri. Timbulnya rasamalu akan penggunaan tatanama tradisional menyebabkan
nama yang khas berbau Hindu Bali mulai berkurang. Pengadopsian tatabahasa asing
yang dimasukkan kedalam tatanama masyarakat di Bali sudah mulai biasa di kalangan
masyarakat umum. Tata nama yang mencerminkan budaya Hindu telah mulai beralih
ke tatanan budaya Barat yang masuk dan diterima dengan mudah oleh masyarakat di
Bali. Jika ini terus dibiarkan lambat-laun tata nama masyarakat di Bali akan
hilang. Selain di pengaruhi oleh perkembangan teknologi dan arus global,
tatanama masyarakat Hindu di Bali juga di pengaruhi oleh alkulturasi budaya dan
agama yang berkembang di Bali.
Perkembangan
budaya dan agama yang semakin beragam mempengaruhi berbagai sektor budaya yang
ada. Kebebasan pemberian nama dalam masyarakat Bali pada putra-putrinya, antara
lain dengan menghilangkan penanda gender I untuk anak laki-laki, dan Ni untuk
anak perempuan. Hal ini menunjukan bahwa tatanama orang Bali telah mengalami
erosi budaya yang cukup memprihatinkan (Antara,2012:15). Perbedaan kasta sering
menimbulkan masalah dalam pergaulan di masyarakat, seperti adanya sekat
pembatas dalam berinteraksi, bersosialisasi, dan bersosialisai dalam
masyarakat. ini sering menjadi cemoh dan menimbulkan rasa egoisme dalam
masyarakat karena merasa memiliki kedudukan lebih tinggi dan merasa lebih
berkuasa. Masalah kasta yang menganggap adanya perasaan tinggi atau rendah
dalam masyarakat. Hal ini sering dipakai untuk memojokkan agama Hindu dan mempengaruhi
kepercayaan umatnya yang merasa diikat oleh suatu sekat pembatas, sehingga
banyak agama Hindu di Bali berpindah agama ke non-Hindu.
Saat
ini pernikahan beda kasta ini sudah sering terjadi di Bali. Pernikahan seorang
wanita yang memiliki kasta lebih rendah dari kasta suaminya biasanya memberikan
kebanggan tersendiri bagi keluarga perempuan, karena putri mereka berhasil
mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi. Dan secara otomatis kasta sang
istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi, sang istri harus siap
mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami. Saat upacara
pernikahan, biasanya baten untuk mempelai wanita diletakan terpisah, atau
dibawah. Bahkan dibeberapa daerah, sang istri harus rela melayani para ipar dan
keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi. Walaupun jaman sekarang hal
tersebut sudah jarang dilakukan, tapi masih ada beberapa orang yang masih
kental kasta-nya menegakan prinsip tersebut demi menjaga kedudukan kasta-nya.
Namun
jika kasta perempuan lebih tinggi dari kasta laki-lakinya, pernikahan beda
kasta seperti ini sangat dihindari oleh penduduk Bali. Karena pihak perempuan
biasanya tidak akan mengijinkan putri mereka menikah dengan lelaki yang
memiliki kasta lebih rendah. Maka dari itu, biasanya pernikahan ini terjadi
secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai "ngemaling" atau
kawin lari sebagai alternatifnya. Kemudian, perempuan yang menikahi laki-laki
yang berkasta lebih rendah akan mengalami turun kasta mengikuti kasta suaminya,
yang disebut sebagai "nyerod". Menurut kabar, sebagian besar penduduk
Bali lebih menyukai dan lebih dapat menerima laki-laki yang bukan orang Bali
sebagai menantu, dari pada menikah dengan laki-laki berkasta lebih rendah, dan
mengalami penurunan kasta.
Perbedaan antara warna dan kasta.
Warna
merupakan penggolongan masyarakat berdasarkan fungsi dan profesi. Dalam ajaran
Agama Hindu dikenal adanya empat warna/Caturwarna
yaitu sebagai berikut:
·
Brahmana orang-orang yang menekuni
kehidupan spiritual dan ketuhanan, para cendikiawan serta intelektual yang
bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual. Atau
seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai rohaniawan.
·
Ksatria orang-orang yang bekerja/bergelut
di bidang pertahanan dan keamanan/pemerintahan yang bertugas untuk mengatur
negara dan pemerintahan serta rakyatnya.
Atau seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan: raja,
patih, dan staf - stafnya. Jika dipakai ukuran masa kini, mereka itu adalah
kepala pemerintahan, para pegawai negeri, polisi, tentara dan sebagainya.
·
Waisya orang yang bergerak dibidang
ekonomi, yang bertugas untuk mengatur perekonomian atau seseorang yang memilih
fungsi sosial menggerakkan perekonomian. Dalam hal ini adalah pengusaha,
pedagang, investor dan usahawan (Profesionalis) yang dimiliki Bisnis/usaha
sendiri sehingga mampu mandiri dan mungkin memerlukan karyawan untuk
membantunya dalam mengembangkan usaha/bisnisnya.
·
Sudra orang-orang yang bekerja
mengandalkan tenaga/jasmani, yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup
dengan menjadi pelayan atau pembantu orang lain atau seseorang yang memilih
fungsi sosial sebagai pelayan, bekerja dengan mengandalkan tenaga. seperti:
karyawan, para pegawai swasta dan semua orang yang bekerja kepada Waisya untuk
menyambung hidupnya termasuk semua orang yang belum termasuk ke Tri Warna diatas.
Dalam
golongan waisya, warna dan gelar serta namanya sama sekali tidak diturunkan
atau diwariskan ke generasi berikutnya. Warna tidak bersifat statis, tetapi
dinamis. Artinya, warna bisa berubah setiap saat sesuai dengan fungsi dan
profesinya. penggolongan ini tidak diturunkan, Artinya kalau sang Ayah Brahmana
tidak otomatis anaknya menjadi Brahmana. Hubungan di antara golongan pada warna
hanya dibatasi oleh “dharma” kewajiban yang berbeda-beda tetapi menuju satu
tujuan yakni kesempurnaan hidup. Jadi, Caturwarna sama sekali tidak
membeda-bedakan harkat dan martabat manusia dan memberikan manusia untuk
mencari jalan hidup dan bekerja sesuai dengan sifat, bakat, dan pembawaannya
sejak lahir hingga akhir hayatnya.
Sedangkan
kasta merupakan penggolongan status sosial masyarakat dengan mengadopsi konsep
catur warna (brahmana, ksatria, wesyia, dan sudra) yang gelar dan atribut
namanya diturunkan dan diwariskan ke generasi berikutnya. Artinya, walaupun
keturunannya tidak lagi berprofesi sebagai pendeta atau pedanda tetapi masih
menggunakan gelar dan nama yang dimiliki leluhurnya yang dulunya menjadi
pendeta atau pedanda. Ini sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang
yang belum tentu atau tidak memiliki sifat-sifat brahmana harus disebut sebagai
brahmana, dan juga terjadi pada kasta yang lainnya. Terlebih lagi nama dan
gelar warisan masing-masing leluhurnya sekarang ini semakin diagung-agungkan
dan digunakan untuk mempertajam kesenjangan di antara golongan kasta yang ada.
Tetapi, jika nama dan gelarnya yang dipakai keturunannya hanya dijadikan
sebagai tanda penghormatan kepada leluhurnya, maka tindakan ini merupakan
tindakan yang sangat mulia dan terhormat.
Tuhan
telah menciptakan manusia di antaranya dalam bentuk dua jenis kelamin, yaitu
laki-laki (purusa) dan perempuan (predana). Keberadaan dua kenis kelamin telah
mengalami perdebatan di masyarakat, antara teori nurture dan teori nature
(Murniati,1993:3). Dalam masyarakat Bali kedudukan perempuan lebih rendah
dibandingkan kedudukan laki-laki. Dalam rumah tangga seorang perempuan Bali
biasanya diberi atau dibebani tugas dan tanggung jawab dalam keluarga, mengatur
rumah tangga dan keluarga.
Oleh
karena itu perbedaan kasta di Bali masih menjadi masalah dalam pergaulan
dimasyarakat. Perbedaan ini masih menimbulkan permasalahan dimana setiap
masyarakat masih mempertimbangkan sosialisasi antar masyarakat. Penggunaan tata
nama dan tatagelar berdasarkan silsilah dalam agama Hindu masih kurang penerapannya
dalam masyarakat pergeseran pemberian tatanama dan tatagelar dalam masyarakat
masih kurang terlihat dari banyaknya tatanama dan tatagelar yang tidak sesuai
dengan kaidah penulisan menurut masyarakat Hindu di Bali. Jika ini tetap
dibiarkan lama-kelamaan tatanama dan tatagelar masyarakat Hindu di Bali yang
benjadi ciri khas masyarakat di Bali akan hilang dan dilupakan. Ini merupakan
tugas dari generasi muda agar sadar dan memahami tentang aturan dan susunan
penulisan nama yang menjadi ciri khas masyarakat Hindu Bali.
SIMPULAN
Berdasarkan
hasil pembahasan, dapat diambil suatu simpulan sebagai berikut: 1. Tatanama dan
dan tatagelar yang berdasarkan Caturwarna dan Caturwangsa masih kurang di
pahami oleh masyarakat di Bali.
2.
Pemahaman masyarakat akan susunan nama masih kurang mengingat bnyaknya
sesalahan dalam penulisan nama dalam masyarakat Hindu di Bali.
Sebagai
masyarakat Hindu di Bali kita harus dapat meningkatkan menjaga dan melestarikan
kebudayaan yang telah diwariskan turun temurun oleh pendahulu kita yang telah
menjadi pedoman bermasyarakat di Bali. Kemauan yang keras dari remaja itu
sendiri dan didukung oleh berbagai pihak akan dapat melestarikan kembali kebudayaan
dang telah kita miliki tersebut.
Berdasarkan
diperlukan suatu langkah tepat yang digunakan sebagai pedoman untuk
menuntun masyarakat bali agar sadar akan kebudayaan yang telah di miliki
sebagai warisan budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Hindu di Bali.
DAFTAR RUJUKAN
Putu
Antara, I Gusti, 2012. “Tatanama orang
Bali” Bali: Badan Perpustakaan Daerah Provinsi Bali.
Murniati,
A.P. 1992. “Perempuan Indonesia dan Pola
Ketergantungan” Yogyakarya: Lembaga Studi Realito.
No comments:
Post a Comment