December 28, 2013

PERUBAHAN SISTEM PENULIAN TATANAMA MASYARAKAT HINDU DI BALI(ARTIKEL BALI)



PERUBAHAN SISTEM PENULIAN TATANAMA MASYARAKAT HINDU DI BALI
I Made Karya Artana
Program Studi Pendidikan KIMIA, Program S1
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja,
 Jalan Udayana Nomor 11 Singaraja, Indonesia
e-mail: karya_artana@yahoo.com




Abstrak
Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengkaji sistem tata nama masyarakat di Bali yang telah bergeser baik karena kurangnya pengetahuan masyarakat maupun karena perkembangan teknologi dan arus globalisasi. Prubahan yang dikaji mulai dari nama menurut warna, sampai  nama menurut wangsa. Berdasarkan gambaran ini kemudian dikaji dampak dari perubahan tatanan nama masyarakat, dan perubahan menurut hukum yang berlaku dalam susunan kasta yang ada. Kajian ini berusaha menjelaskan dampak dari perubahan tatanan nama terhadap tatanan budaya dalam masyarakat di Bali, dan dampak kedepannya bagi generasi muda di Bali.
Kata kunci: nama, kasta.

Abstract
Writing this article aims to review the system of society in the name of Bali which has been shifted due to the lack of public knowledge as well as the development of technology and globalization. Interchangeability studied ranging from names according to color, to name according to the dynasty. Based on this picture and then examines the impact of changes in the name of public order, and change according to the applicable law in the makeup of the existing caste. This study seeks to explain the impact of the change order to the order of names in Balinese culture in society, and the impact of the future for the young generation in Bali.



Bali merupakan salah satu daerah yang kental akan budaya, dimana setiap plosok kultural di Bali memiliki budaya dan tradisi masing-masing. Dimana setiap ke­budayaan daerah yang dimiliki ter­sebut merupakan budaya yang sudah turun-temurun diwarisi oleh generasi ke kegenrasi dari kelompok orang atau daerah itu sendiri. Setiap budaya yang tumbuh di Bali tentulah tetap ber­pedom­an dengan pada suatu tatanan yang sudah diwarisi bersama. Namun dalam perkem­bangannya banyak mengalami integrasi atau penyimpangan, baik dari penyusunannya maupun pe­maknaanya. Seperti halnya tatanan pemberian nama masyarakat di Bali. Penulisan nama dalam masyarakat saat ini telah banyak mengalami pergeseran. Dimana dalam penulisan tatanama di Bali seharusnya sesuai dengan ‘Caturwangsa’ dan ‘Caturwarna’ yang telah diwarisi oleh masyarakat di Bali sejak zaman dahulu.
Dalam masyarakat perubahan nama dalam Caturwangsa sering terjadi karena berbagai faktor seperti, karena melukat atau mapinunas. Melukat atau mapinunas adalah upacara yang dilaksanakan karena ada suatu kejadian buruk terjadi pada seseorang, seperti sering sakit-sakitan, atau memiliki suatu kelainan. Akibatnya banyak terjadi perubahan tatanama di beberapa daerah di Bali. Penggo­longan masyarakat di Bali menurut kelahirannya telah memiliki nama tingkatan seperti, anak pertama memiliki jabatan Wayan, (Putu, atau Gede), yang kedua memiliki jabatan Made (Kadek), yang ketiga Nyoman (Komang) , dan yang terakhir Ketut.
Keragaman tatanama masyarakat di Bali dahulunya kebanyakan masya­rakatnya diberikan nama berdasarkan atas dasar memperingati kejadian tertentu yang datangnya bertepatan dengan kelahiran seorang tersebut, seperti misalnya, I Wayan Tilem dimana kelahirannya tepat pada hari dimana tiada Bulan (Tilem), I Nyoman Glebug diberikan saat ada sesuatu jatuh, dan lain sebagainya. Selain itu kelahiran jabatan nama seseorang juga bisa atas dasar golongan keturunan leluhurnya seperti Golongan Brahmana (kasta pendeta), Golongan Ksatria (kasta panglima perang), Golongan Wesia (kaum dagang), Golongan Sudra (rakyat biasa). Sistem tatanama orang Bali berdasar keturunan (caturwangsa) mencerminkan bentuk tradisi lisan yang sudah lampau tapi masih hidup dan berlaku dalam lingkup budaya masyarakat Bali pada saat ini, namun masih banyak masyarakat yang kurang memahami pemberian tatanama yang sesuai menurut aturan tulisan yang telah ada dari sejak dahulu, dan hanya menerapkan atas dasar pengetahuan lisan yang mereka ketahui. Rumusan masalah yang dapat diambil dari hal tersebut adalah, agar pembaca dapat mengetahui pengertian caturwarna dan caturwangsa masyarakat nindu di Bali. Tujuannya agar setiap masyarakat sadar dan paham akan pentingnya pelestarian kebudayaan tatanan nama berdasarkan kasta masyarakat Bali.

Pembahasan
Tatanama Masyarakat Hindu Di Bali
Pada dasarnya nama-nama orang Bali sangat khas karena di dalam penggunaanya mengacu pada identitasnya sebagai orang Bali, bukan sebagai suku bangsa lain. Tatanama ini bersifat tradisi yang khas karena dalam penggunaan tatanama dan tatagelar pada setiap orang Bali tidaklah sembarang, karena harus melewati berbagai upacara adat yang mengikatnya.
Masalah mulai muncul saat pemberian tatanama sudah tidak sesuai kaidah yang telah ada, melainkan berdasarkan keinginan orang tuanya yang meberikan berbagai variasi nama yang dilakukan secara bebas terhadap putra-putrinya yang sudah tidak sesuai dengan ciri khas budaya yang telah ada. Pemberian nana terhadap putra-putrinya sudah mulai bergeser dan tidak mencerminkan golongan masyarakat Hindu yang asli dari Bali. Hal ini terjadi akibat proses perkembangan globalisasi yang semakin memperparah sistem pemberian tatanama masyarakat di Bali. Masih sedikit masyarakat yang mengerti akan tradisi ini, karena kebanyakan masyarakat lebih memilih memberikan anaknya nama berdasarkan kemauan hati dari orang tuanya sendiri, tanpa memperhatikan tradisi dan budaya yang dimiliki.
Kurangnya pengetahuan dasar dari masyarakat menyebabkan semakin maraknya pengaruh globalisasi yang menyebabkan masyarakat semakin buta terhadap budayanya sendiri. Timbulnya rasamalu akan penggunaan tatanama tradisional menyebabkan nama yang khas berbau Hindu Bali mulai berkurang. Pengadopsian tatabahasa asing yang dimasukkan kedalam tatanama masyarakat di Bali sudah mulai biasa di kalangan masyarakat umum. Tata nama yang men­cerminkan budaya Hindu telah mulai beralih ke tatanan budaya Barat yang masuk dan diterima dengan mudah oleh masyarakat di Bali. Jika ini terus dibiarkan lambat-laun tata nama masyarakat di Bali akan hilang. Selain di pengaruhi oleh perkem­bangan teknologi dan arus global, tatanama masyarakat Hindu di Bali juga di pengaruhi oleh alkulturasi budaya dan agama yang berkembang di Bali.
Perkembangan budaya dan agama yang semakin beragam mempengaruhi berbagai sektor budaya yang ada. Kebebasan pemberian nama dalam masyarakat Bali pada putra-putrinya, antara lain dengan menghilangkan penanda gender I untuk anak laki-laki, dan Ni untuk anak perempuan. Hal ini menunjukan bahwa tatanama orang Bali telah mengalami erosi budaya yang cukup memprihatinkan (Antara,2012:15). Perbedaan kasta sering menimbulkan masalah dalam pergaulan di masyarakat, seperti adanya sekat pembatas dalam berinteraksi, bersosialisasi, dan bersosialisai dalam masyarakat. ini sering menjadi cemoh dan menimbulkan rasa egoisme dalam masyarakat karena merasa memiliki kedudukan lebih tinggi dan merasa lebih berkuasa. Masalah kasta yang menganggap adanya perasaan tinggi atau rendah dalam masyarakat. Hal ini sering dipakai untuk memojokkan agama Hindu dan mem­pengaruhi kepercayaan umatnya yang merasa diikat oleh suatu sekat pembatas, sehingga banyak agama Hindu di Bali berpindah agama ke non-Hindu.
Saat ini pernikahan beda kasta ini sudah sering terjadi di Bali. Pernikahan seorang wanita yang memiliki kasta lebih rendah dari kasta suaminya biasanya memberikan kebanggan tersendiri bagi keluarga perempuan, karena putri mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi. Dan secara otomatis kasta sang istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi, sang istri harus siap mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami. Saat upacara pernikahan, biasanya baten untuk mempelai wanita diletakan terpisah, atau dibawah. Bahkan dibeberapa daerah, sang istri harus rela melayani para ipar dan keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi. Walaupun jaman sekarang hal tersebut sudah jarang dilakukan, tapi masih ada beberapa orang yang masih kental kasta-nya menegakan prinsip tersebut demi menjaga kedudukan kasta-nya.
Namun jika kasta perempuan lebih tinggi dari kasta laki-lakinya, pernikahan beda kasta seperti ini sangat dihindari oleh penduduk Bali. Karena pihak perempuan biasanya tidak akan mengijinkan putri mereka menikah dengan lelaki yang memiliki kasta lebih rendah. Maka dari itu, biasanya pernikahan ini terjadi secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai "ngemaling" atau kawin lari sebagai alternatif­nya. Kemudian, perempuan yang menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah akan mengalami turun kasta mengikuti kasta suaminya, yang disebut sebagai "nyerod". Menurut kabar, sebagian besar penduduk Bali lebih menyukai dan lebih dapat menerima laki-laki yang bukan orang Bali sebagai menantu, dari pada menikah dengan laki-laki berkasta lebih rendah, dan mengalami penurunan kasta.
Perbedaan antara warna dan kasta.
Warna merupakan penggolongan masyarakat berdasarkan fungsi dan profesi. Dalam ajaran Agama Hindu dikenal adanya empat warna/Caturwarna yaitu sebagai berikut:
·         Brahmana orang-orang yang menekuni kehidupan spiritual dan ketuhanan, para cendikiawan serta intelektual yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual. Atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai rohaniawan.
·         Ksatria orang-orang yang bekerja/bergelut di bidang pertahanan dan keamanan/pemerintahan yang bertugas untuk mengatur negara dan peme­rintahan serta rakyatnya.  Atau seseorang yang memilih fungsi sosial men­jalankan kerajaan: raja, patih, dan staf - stafnya. Jika dipakai ukuran masa kini, mereka itu adalah kepala pemerintahan, para pegawai negeri, polisi, tentara dan sebagainya.
·         Waisya orang yang bergerak dibidang ekonomi, yang bertugas untuk me­ngatur perekonomian atau seseorang yang memilih fungsi sosial meng­gerakkan perekonomian. Dalam hal ini adalah pengusaha, pedagang, investor dan usahawan (Profesionalis) yang dimiliki Bisnis/usaha sendiri sehingga mampu mandiri dan mungkin memerlukan karyawan untuk membantunya dalam mengembangkan usaha/bisnisnya.
·         Sudra orang-orang yang bekerja mengandalkan tenaga/jasmani, yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan menjadi pelayan atau pembantu orang lain atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai pelayan, bekerja dengan mengandalkan tenaga. seperti: karyawan, para pegawai swasta dan semua orang yang bekerja kepada Waisya untuk menyambung hidupnya termasuk semua orang yang belum termasuk ke Tri Warna diatas.
Dalam golongan waisya, warna dan gelar serta namanya sama sekali tidak diturunkan atau diwariskan ke generasi berikutnya. Warna tidak bersifat statis, tetapi dinamis. Artinya, warna bisa berubah setiap saat sesuai dengan fungsi dan profesinya. penggolongan ini tidak diturunkan, Artinya kalau sang Ayah Brahmana tidak otomatis anaknya menjadi Brahmana. Hubungan di antara golongan pada warna hanya dibatasi oleh “dharma” kewajiban yang berbeda-beda tetapi menuju satu tujuan yakni kesempurnaan hidup. Jadi, Caturwarna sama sekali tidak membeda-bedakan harkat dan martabat manusia dan memberikan manusia untuk mencari jalan hidup dan bekerja sesuai dengan sifat, bakat, dan pembawaannya sejak lahir hingga akhir hayatnya.
Sedangkan kasta merupakan penggolongan status sosial masyarakat dengan mengadopsi konsep catur warna (brahmana, ksatria, wesyia, dan sudra) yang gelar dan atribut namanya diturunkan dan diwariskan ke generasi berikutnya. Artinya, walaupun keturunannya tidak lagi berprofesi sebagai pendeta atau pedanda tetapi masih menggunakan gelar dan nama yang dimiliki leluhurnya yang dulunya menjadi pendeta atau pedanda. Ini sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang yang belum tentu atau tidak memiliki sifat-sifat brahmana harus disebut sebagai brahmana, dan juga terjadi pada kasta yang lainnya. Terlebih lagi nama dan gelar warisan masing-masing leluhurnya sekarang ini semakin diagung-agungkan dan digunakan untuk mempertajam kesenjangan di antara golongan kasta yang ada. Tetapi, jika nama dan gelarnya yang dipakai keturunannya hanya dijadikan sebagai tanda penghormatan kepada leluhurnya, maka tindakan ini merupakan tindakan yang sangat mulia dan terhormat.
Tuhan telah menciptakan manusia di antaranya dalam bentuk dua jenis kelamin, yaitu laki-laki (purusa) dan perempuan (predana). Keberadaan dua kenis kelamin telah mengalami perdebatan di masyarakat, antara teori nurture dan teori nature (Murniati,1993:3). Dalam masyarakat Bali kedudukan perempuan lebih rendah dibandingkan kedudukan laki-laki. Dalam rumah tangga seorang perempuan Bali biasanya diberi atau dibebani tugas dan tanggung jawab dalam keluarga, mengatur rumah tangga dan keluarga.
Oleh karena itu perbedaan kasta di Bali masih menjadi masalah dalam pergaulan dimasyarakat. Perbedaan ini masih menimbulkan permasalahan dimana setiap masyarakat masih mempertimbangkan sosialisasi antar masyarakat. Penggunaan tata nama dan tatagelar berdasarkan silsilah dalam agama Hindu masih kurang penerapannya dalam masyarakat pergeseran pemberian tatanama dan tatagelar dalam masyarakat masih kurang terlihat dari banyaknya tatanama dan tatagelar yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan menurut masyarakat Hindu di Bali. Jika ini tetap dibiarkan lama-kelamaan tatanama dan tatagelar masyarakat Hindu di Bali yang benjadi ciri khas masyarakat di Bali akan hilang dan dilupakan. Ini merupakan tugas dari generasi muda agar sadar dan memahami tentang aturan dan susunan penulisan nama yang menjadi ciri khas masyarakat Hindu Bali.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan, dapat diambil suatu simpulan sebagai berikut: 1. Tatanama dan dan tatagelar yang berdasarkan Caturwarna dan Caturwangsa masih kurang di pahami oleh masyarakat di Bali.
2. Pemahaman masyarakat akan susunan nama masih kurang mengingat bnyaknya sesalahan dalam penulisan nama dalam masyarakat Hindu di Bali.
Sebagai masyarakat Hindu di Bali kita harus dapat meningkatkan menjaga dan melestarikan kebudayaan yang telah diwariskan turun temurun oleh pendahulu kita yang telah menjadi pedoman bermasyarakat di Bali. Kemauan yang keras dari remaja itu sendiri dan didukung oleh berbagai pihak akan dapat melestarikan kembali kebudayaan dang telah kita miliki tersebut.
Berdasarkan diperlukan suatu langkah tepat yang digunakan sebagai pedoman  untuk  menuntun masyarakat bali agar sadar akan kebudayaan yang telah di miliki sebagai warisan budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Hindu di Bali.

 
DAFTAR RUJUKAN
Putu Antara, I Gusti, 2012. “Tatanama orang Bali” Bali: Badan Perpustakaan Daerah Provinsi Bali.
Murniati, A.P. 1992. “Perempuan Indonesia dan Pola Ketergantungan” Yogyakarya: Lembaga Studi Realito.

No comments:

Post a Comment

Cara Membuat Effect Hollogram dengan Photoshop

Om Swastiastu Kawand-kawand Youtuber... Oke kawand-kawand pada hari ini saya akan memberikan tutorial efek photoshop kali ini, mimin ...