Resensi BUKU III :D
Sumber: Nikelodian
By: Agoez Yudhi
Sumber: Nikelodian
By: Agoez Yudhi
HEROIK ANAK-ANAK LANGIT
Judul : Anak-Anak
Langit; Mereka yang Kehilangan Dunia Indah Bermain Masa Kecilnya
Penulis : Zhaenal
Fanani
Editor : Nisrina
Lubis
Penerbit : Laksana,
Yogyakarta
Cetakan : Pertama,
Juni 2011
Tebal : 423
Halaman
ISBN : 978-602-978-595-1
Kota
metropolitan tidak hanya menjadi magnet untuk ladang mencari uang, tetapi juga
menjadi lahan tumbuhnya permasalahan baru, terutama masalah sosial. Kompleksnya
permasalahan kota metropolitan, sehingga sampai saat ini belum teratasi secara
maksimal.
Salah
satu social problems kota metropolitan adalah anak jalanan. Anak
jalanan menjadi social problem yang begitu mengakar di Indonesia.
Mereka menggantungkan hidupnya dijalanan, yang sekaligus mengancam
kehidupan mereka kapan pun. Membicarakan mereka juga berkaitan erat dengan problem
ekonomi, politik, danpendidikan yang secara struktural tidak
berpihak kepada mereka. Zhaenal Fanani melalu novel ini mengungkap
keprihatinannya atas fenomena sosial tersebut, dengan mengulas
realitas perjalanan anak-anak di bawah bayang-bayang metropolis yang
diwakili oleh Ziza.
Ziza merupakan anak semata wayang dari pasangan Hamdani dan Malaikah.
Mereka salah satu penduduk desa Tagiri, yakni sebuah desa yang berdekatan
dengan sungai Brantas dan gunung Mahameru. Saat Ziza masih dalam kandungan
ibunya, Hamdani meninggalkan kampung Tagiri, termasuk istri dan ananknya yang
masih di dalam rahim. Hamdani ingin mengubah perekonomian keluarga sebelum
anaknya lahir dengan pergi ke Jakarta. Dengan berat hati, Malaikah pun
merelakan kepergian suaminya untuk mencari keberuntungan di kota metropolitan.
Sekian lama
Hamdani melangkahkan kaki dari keluarga, salama itu pula tak ada sepucuk kabar
pun darinya. Malaikah yang sekian lama sabar menunggu kabar dan kedatangan dari
suami tercinta, hari itu mulai putus asa atas harapannya. Bayinya yang
dikandungnya pun sudah ingin keluar untuk melihat indahnya dunia. Bayi
perempuan Malaikah pun terus tumbuh dan bertambah usia. Ziza kecil sering
sekali menanyakan, mana ayah Ziza? Keinginan untuk merasakan bangku sekolah pun
ikut nista dalam angan-angan agar ayahnya kembali ke Tagiri.
Di dalam
kesedihan yang belum terobati itu, Ziza harus menerima ibunya yang sangat ia
sayangi harus meninggalkannya untuk selama-lamanya. Setelah kejadian itu,
Ziza memutuskan untuk berjuang di tengah ganasnya Jakarta. Ziza pun
pergi ke Jakarta atas perintah dan petunjuk salah satu tetangganya di
Tegiri.
Di
Jakarta, Ziza tinggal bersama saudara tetangganya yang sudah
lama menetap di Ibukota, dengan
harapan mereka dapat membantu menemukan ayahnya
di sana.Perjalanannya di Jakarta, tidak semulus seperti yang ia
bayangkan, tidak seindah hidup di kampungnya, hidup di Jakarta tidak semudah
hidup di kampungnya yang jauh dari keramaian.
Perlakuan
mereka yang tidak menyenangkan bagi Ziza, menyebabkan ia harus meninggalkan
keluarga yang dikenalkan tetangga kampungnya itu. Di tengah hiruk-pikuk
masyarakat Jakarta, Ziza berkenalan dengan sosok Pak Daming. Pak
Daming adalah sosok laki-laki yang kemudian ia anggap sebagai
ayahnya sendiri. Tak terasa Ziza sudah hampir 15 tahun hidup di Jakarta. Tidak
hanya itu, Pak Daming juga menjadi pelabuhannya dalam segala kegelisahannya.
Ziza
mendapatkan kembali sosok ayah di kehidupannya dengan kehadiran Pak Daming.
Setelah beberapa tahun tak merasakan kasih sayang dari seorang ayah yang
membimbingnya. Walaupun Ziza baru mengenal Pak Daming di Jakarta, ia
merasa hidupnya penuh dengan keberkahan. Berkat ayah angkatnya itu keinginan
yang Ziza impikan sejak kecil akhirnya dapat tercapai. Ziza dapat merasakan
bersekolah seperti anak-anak yang lainnya, bahkan sampai belajar di Perguruan
Tinggi. Di saat kegembiraannya dalam menempuh pendidikan, ia
selalu risih melihat anak-anak jalanan setiap
berangkat ke sekolah.
Dengan
historis kehidupannya, ia mendekati anak-anak jalanan yang sedang
beristirahat melepas lelah setelah mengamen. Bermodal
cinta ditambah ketegaran jiwa, ia dapat berlalu lalang dengan
bebas dan bersahabat dengan mereka. Setiap sore, terdengar suara
celoteh mereka yang bertanya tentang banyak hal, terdengar nyanyian Indonesia
Raya, dan terkadang suara anak-anak mengaji (8). Dengsan demikian,
seluruh hidupnya ia curahkan untuk berbagi kebahagiaan dengan anak-anak
jalanan.
Anak-anak
jalanan yang berusaha mempertahankan hidup sebagai pengamen, penjual koran,
joki, penjual makanan kecil, pengumpul barang bekas, atau pelaku
tindakan-tindakan kriminal. Bagi mereka, hidup adalah hari ini. Besok adalah
hidup yang berbeda dan tak perlu dipikirkan. Menurut mereka, orang lain hanya
dapat melihat tanpa ingin mengetahui kegelisahan dan perasaan mereka. Orang
lain tak pernah tahu bagaimana mereka sering dilanda kebosanan dengan
takdir-takdir mereka (65).
Area tanah
kosong yang berada di bawah tugu Pancoran itu pun menjadi
kediamananak-anak jalanan untuk menebar pengalaman, pesona,
menanam cinta, dan menyerap energi yang bersilangan di sekitarnya. Namun,
di saat anak-anak menikmati pelajaran dan pengjian yang diajarkan Ziza, banyak
yang menolak kegiatan itu. Pertama, adalah ‘bos’ dari anak-anak jalanan.
Penghasilan dari mereka menurun diakibatkan kegiatan yang dilakukan bersama
Ziza. Kedua, tragedi demo mahasiswa yang mengkibatkan penculikan beberapa
warga, sehingga anak-anak jalanan beserta Ziza pun menghentikan sementara
kegiatan itu. Ketiga, status tanah yang digunakan untuk kegiatan belajar
tidak jelas, sehingga memunculkan banyak kalangan ingin mengusir kegiatan itu
dengan alasan akan dibangun pusat perbelanjaan
.
Kritik Teks
Perjuangan
anak-anak jalanan terpotret secara apik dalam novel berjudul “Anak-Anak
Langit”. Judul novel ini saya temukan dalam salah satu karya Tan
Malaka, “Dari Penjera ke Penjara”.Entah dari
mana Zhaenal mendapatkanistilah tersebut, terinspirasi setelah
membaca karya Tan Malaka juga atau mendapatkannya dari inspirasi
lain. Namun, kisah Ziza yang memiliki harapan dan cita-cita yang
tinggi memang sesuai dengan judulnya.
Alur cerita
dalam novel ini kurang begitu menyenangkan. Banyak alur cerita yang tidak
sistematis dan terputus. Bahkan, yang begitu mencolok adalah alur di akhir
cerita yang dimunculkan justru perjuangan Ziza dalam meyakini Jangkaru dan
orangtuanya, dan keberhasilan bujukan atas orangtua Jangkaru. Nasib Ziza dan
bapaknya justru menghilang tanpa disinggung sedikitpun. Kelanjutan kisah Ziza
seolah terpotong, karena Fanani tidak menjelaskan apakah Ziza menemukan ayahnya
atau tidak?
Kendati
demikian, Fanani hanya ingin memunculkaan aspek heroik seorang perempuan
sebatang kara yang ingin memperjuangkan hak-hak anak jalanan. Sepertinya
penulis novel ini menitik beratkan pada nilai atau pesan yang terkandung di
dalam karnya, dibanding alur sastra yang sistematis. Banyak hal yang dapat kita
renungkan setelah membaca novel ini terkait dengan permasalahan Bangsa. Di
bagian lain, novel ini merupakan salah satu buku yang memotret permasalahan
sosial anak jalanan.
Fakta sosial
ikut memperkaya novel ini dalam menggambarkan kehidupan nyata masyarakat
Indonesia, yang diulas secara komprehensif. Misalnya, permasalahan susahnya
akses kesehatan bagi masyarakat miskin dan memandang sebelah mata terhadap anak
jalanan. Novel ini juga kiranya dapat menjadi motivasi oleh banyak orang dalam
menempuh kehidupan yang penuh lika-liku. Selain itu, Fanani ingin mencoba
merekonstruksi sudut pandang kita mengenai ruang lingkup anak jalanan.
No comments:
Post a Comment