December 29, 2013

KEBUDAYAAN NYENTANA, MERUPAKAN CIRI KHAS ATAU KEBUDAYAAN DARI DAERAH TABANAN(Artikel Bali)



KEBUDAYAAN NYENTANA, MERUPAKAN CIRI KHAS ATAU
KEBUDAYAAN DARI DAERAH TABANAN
Putu AyuWidhi Astrina Veronica
Program Studi Pendidikan KIMIA, Program S1
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia

Abstrak
Pemikiran ini bertujuan untuk memberi informasi kepada pembaca agar pembaca mengetahui adat atau kebudayaan nyentana di Kabupaten Tabanan. Nyentana" adalah istilah yang asing di telinga mereka. Sekedar buat nambah pengetahuan, nyentana adalah suatu istilah yang diberikan kepada sepasang suami istri dimana si suami dipinang (diminta) oleh keluarga si istri. Lazimnya dalam adat di Bali, keluarga si suami lah yang harus meminang si istri, karena di Bali masih menganut sistem patrilinier atau kebapakan. Lalu mengapa bisa justru keluarga mempelai wanita yang meminang si pria, hal ini dikarenakan keluarga dari pihak perempuan tidak memiliki keturunan laki-laki, jadi mereka harus meminang suami. Begitulah kira-kira secara ringkas mengenai nyentana, disini yang menjadi permasalahan tidak semua keluarga atau orang tua yang mau anak lelakinya keluar (dipinang oleh keluarga perempuan). Banyak keluarga dari pria tidak menginginkan anaknya untuk melakukan nyentana karena di Bali anak laki-laki sebagai purusa.   


Kata-kata kunci : status dan kedudukan perempuan dalam keluarga Nyentana, konsep pernikahan Nyentana dipandang dari adat atau agama, dan pergeseran konsep nyentana dengan adanya pade ngelahang/ngen, hukuman untu perkawinan pada gelahan (nyentana) dan syarat-syarat untuk melakukan perkawinan nyentana.


                                                               Abstrack

Thought is intended to provide information to the reader so that the reader knows nyentana custom or culture in Tabanan . Nyentana " is a term foreign to their ears . Created Just to add knowledge , nyentana is a term given to a married couple where the husband is spoken for ( requested ) by the family of the wife . Normally in customs in Bali , the husband's family who must woo wife , because in Bali still adopts patrilinier or fatherhood . then why can it woo the bride's family that the man, this is because the family of the woman has no male offspring , so they have to woo her husband . that's about it concise about nyentana , which is the case here , not all families or parents who want their son out ( the groom by the family of women ) . many families of men do not want their children to Key words : the status and position of women in the family Nyentana , the concept of marriage. To do in Bali nyentana for boys as purusa. Nyentana seen from custom or religion , and shifts pade concept nyentana with ngelahang / ngen , the marriage penalty untu gelahan ( nyentana ) and the requirements for mating nyentana


                                                                               
Pendahuluan
Istilah ini hanya ada di Bali, jadi untuk beberapa kalangan istilah "Nyentana" adalah istilah yang asing di telinga mereka.
Sekedar buat nambah pengetahuan, nyentana adalah suatu istilah yang diberikan kepada sepasang suami istri dimana si suami dipinang (diminta) oleh keluarga si istri. Lazimnya dalam adat di Bali, keluarga si suami lah yang harus meminang si istri, karena di Bali masih menganut sistem patrilinier atau kebapakan.
Lalu mengapa bisa justru keluarga mempelai wanita yang meminang si pria, hal ini dikarenakan keluarga dari pihak perempuan tidak memiliki keturunan laki-laki, jadi mereka harus meminang suami. Begitulah kira-kira secara ringkas mengenai nyentana.
Nah, disini yang menjadi permasalahan tidak semua keluarga atau orang tua yang mau anak lelakinya keluar (dipinang oleh keluarga perempuan).

Ada beragam alasan yang mereka utarakan, antara lain:
  • Khawatir dikutuk oleh leluhur mereka
  • Tidak ada adat di lingkungan mereka yang menganut atau mengambil jalan nyentana
  • Gengsi sebagai seorang lelaki dipinang ke keluarga perempuan
  • Malu sama masyarakat sekitar jika seorang lelaki dipinang seolah-olah tidak ada perempuan lain yang diajak nikah
Begitulah alasan-alasan yang sering terucap jika mereka tahu anak lelaki mereka bakal memilih nyentana. Lalu bagaimana jika sebuah keluarga tidak memiliki anak lelaki, seluruh anak mereka perempuan, apa mereka tega meninggalkan orang tua mereka untuk ikut keluarga suami mereka. Lalu siapa yang bakal meneruskan keturunan mereka, jika mereka ditinggal oleh semua anak mereka. Hal ini lah yang menjadi polemik di kalangan adat masyarakat Bali.
Ada yang menyebutkan pria yang mau nyentana adalah banci, pengecut, dan sebagainya. Ada pula yang menyebut mereka pahlawan, karena mereka mau membuang status "purusa" (status bagi lelaki jika sudah menikah) dan mengenakan status "pradana" (status bagi perempuan yang sudah menikah).
        



Pembahasan


1.1.Status Dan Kedudukan Perempuan Dalam Keluarga Nyentana
Perkawinan nyentana merupakan suatu perkawinan di mana sang suami ikut dengan istri dan tinggal bersama dirumah keluarga perempuan (istri). Dari hasil survey yang dilakukan pada karma – karma desa dan kelian adat didesa tersebut (Ratu aji) mempaparkan dalam proses perkawinan nyentana yang melakukan proses berpamitan di pemerajan adalah mempelai laki-laki. Karena calon mempelai laki-lakilah yang akan meninggalkan keluarga dan leluhurnya, untuk ikut kedalam garis keturunan kelurga perempuan. Semenjak proses berpamitan kepada leluhur itu mempelai laki-laki menjadi hak dan tangungjawab kelurga perempuan. Dalam hal ini, mempelai laki-laki statusnya tidak lagi sebagai purusa (laki-laki), namun sebagai pradana (perempuan), sehingga mempelai laki-laki mengikuti istrinya untuk tinggal pada kelurga perempuan.
Pada perkawinan nyentana status perempuan telah diubah menjadi laki-laki yang dilakukan melalui prosesi upacara putrika sebelum diadakan perkawinan. Putrika artinya proses perbahan status dan kedudukan perempuan menjadi laki-laki melalui prosesi upacara adat yang harus disaksikan oleh tri saksi (tiga saksi) yaitu Tuhan, Leluhur dan masyarakat dan disetujui oleh kelurga serta dilegitimasi oleh perangkat desa adat. Jika kelurga putrika tidak menyetujui terjadinya prosesi putrika, maka prosesi putrika tidak boleh dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan peralihan kekayaan baik yang berupa benda materiil mapun yang berupa non materiil seperti sanggah dan leluhur.
Perempuan yang telah diputrika memiliki status dan kedudukan sebagai laki-laki sesuai dengan legitimasi adat yang telah diberikan kepadanya. Sehingga semenjak prosesi putrika tersebut ia memiliki hak dan tangung jawab untuk menjadi ahli waris dan meneruskan garis keturunan kelurganya. Secara otomatis semenjak terjadinya putrika ia juga memiliki tangungjawab sebagai kepala keluarga dan sebagai kepala rumah tangga. Sebagai kepala keluarga putrika juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya, termasuk kebutuhan orangtuanya. Ia juga menjadi penentu setiap keputusan yang akan diambil oleh keluarga, berkaitan dengan permasalahan yang ada di keluarganya. Sedangkan laki-kaki yang nyentana mempunyai tangungjawab dan kewajiban sebagaimana layaknya perempuan dalam rumah tangga. Ia membantu istri untuk menjalankan roda perekonomian keluarga serta mengurus anak-anak. Dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga ia mesti meminta persetujuan dari istrinya terlebih dahulu. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya perubahan kewajiban dan tangungjawab yang sepenuhnya sudah ada pada pihak perempuan yang berstatus putrika. Sebagai ahli waris perempuan putrika mempunyai kewenangan “mutlak” berkaitan dengan harta kekayaan yang dimiliki oleh keluarga. Kewenangan ini dimiliki berkaitan dengan statusnya sebagai akhli waris dan penerus keturunan keluarga. Sehingga ia diberikan keleluasaan untuk melakukan tindakan yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi keluarga. Keluasan kewenangan inilah yang tidak jarang menimbulkan berbagai persoalan, khususnya dengan suami yang merasa tidak diberikan ruang dan kebebasan untuk ikut menentukan arah kebijakan keluarga.
Pada Desa adat Jegu perempuan yang telah melakukan perubahan status melalui putrika diberikan tangungjawab dan kedudukan yang sama sebagaimana layaknya laki-laki dalam menentukan ayahan desa dan tanah milik. Artinya ia diwajibkan untuk meneruskan orangtuanya untuk mewarisi tanah waris milik keluarganya.



1.2.Konsep Penikahaan Nyentana dipandang dari adat atau agama
Nyentana merupakan hukum adat bukan kaidah agama hindu. Mungkin ada   sedikit kaitannya dengan tradisi beragama hindu di bali yang dikenal dengan istilah pradana dan purusa. Seseorang yang nyentana hendakanya mendapat persetujuan dahulu dari segenap warga dadia (soroh) dari lelaki dan perempuan, karena yang lelaki akan melepaskan hak dan kewajibanya di sanggah lama(purusha) dan menjadi warga baru disanggah baru (pradana). Lelaki yang nyentana biasanya menyembah dua kawitan yaitu kawitan yang lama dan yang baru.
Dalam sejarah banyak sekali leluhur orang bali yang sejak zaman dahulu mengambil langkah nyentana, jadi tidak ada  yang salah dalam hal nyentana yang penting adalaha bagaiamana membina kehidupan yang harmonis, sesuai dengan ajaran weda. Perkawinan itu bisa saja berlangsung bahagia, tergantung dari bagaimana si suami – istri bisa menciptakan surga dalam kehidupan  rumah tangganya.

1.3.Pergeseran Konsep Nyentana dengan adanya konsep pernikahan pade       Ngelahan/Negen
       
Perubahan paradigma dalam bidang pewarisan dan penerusan keturunan yang dapat dilakukan dengan cara putrika dan perkawinan nyentana memiliki warna tersendiri bagi masyarakat desa adat Jegu, khususnya bagi kaum perempuan. Mereka merasakan keleluasaan dan sekaligus tangungjawab yang teramat berat untuk menjalankan roda pemerintahan dalam keluarga. Lingkungan yang semula memberikan perlakuan sebagaimana lanyaknya perempuan pada umumnya yang hanya menurut pada laki-laki, seketika memberikan tangungjawab sebagai layaknya laki-laki untuk memikul tangungjawab penuh, membuat perempuan putrika merasakan diri pada beban yang teramat berat yang terlalu sulit untuk dipikulnya. Perbedaan antara orang tua dengan suami seringkali menimbulkan persoalan yang menyulitkan perempuan putrika untuk mengambil keputusan. Hal ini berimplikasi pada kondisi psikologis perempuan putrika. Jika mereka bisa menempatkan diri sebagai mana layaknya kepala keluarga, maka keutuhan rumah tangganya akan tetap bisa terjaga dengan baik dan mengalami pematangan psikologis. Sebaliknya, bila perempuan putrika tidak mampu memikul tangungjawab dan persoalan yang dihadapi dalam keluarga ia akan mengalami kemunduran psikologis dan kehancuran keluarga. Sementara keluasaan yang teramat besar seringkali membuat perempuan putrika merasa menjadi orang yang mengatur, berkuasa, menentukan, dan bertindak arogan tanpa memikirkan kedudukan dan posisi suami. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap laki-laki yang nyentana, kebanyakan perempuan putrika yang ada di desa adat Jegu merasa berkuasa, mengatur dan cenderung bersifat otoriter terhadap suami. Hal ini dapat ditemukan ketika terjadi diskusi perempuan putrika lebih banyak mempertahankan ide atau gagasannya demikian juga ketika terjadi perselisihan perempuan putrika lebih dominan dibandingkan suaminya dan sering mengucapkan kata-kata yang tidak pantas (Sukadi, 2000).
Seiring berkembangnya zaman masyarakat desa jegu mulai tidak terlalu mempedulikan tentang konsep pernikahaan nyentana. Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan telah banyak generasi muda desa adat Jegu pada khususnya menerapkan system pernikahan negen atau yang sering disebut pade gelahan. Perkawinan Gelahang Bareng/Negen adalah salah satu sistem perkawinan di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak sebagai Purusa. Dari hasil wawancara factor yang menyebabkan adanya pernikaan pade gelahan ini adalah calon istri merupakan anak semata wayang sehingga tidak ingin kawitan di sanggahnya terputus begitu saja atau baik calon suami maupun istri merupakan anak semata wayang, Jika calon suami memiliki saudara laki-laki, namun di dalam desa , kala, patra keluarga suami tidak lazim mengadakan sistem Nyentana (hanya istri yang berperan senagai Purusa), sehingga dilaksanakan sistem Perkawinan Gelahang Bareng/Negen. Perkawinan Negen Dadua merupakan pergeseran budaya yang positif, yaitu dari Perkawinan Negen Dadua telah memunculkan anak-anak perempuan di Bali untuk mendapatkan hak waris dari orang tuanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem perkawinan ini merupakan persamaan derajat yang menjungjung tinggi HAM (Hak Azasi Manusia), khususnya terhadap anak-anak yang lahir perempuan karena Masyarakat Bali menganut sistem patrilinial. Sebagai syarat sahnya Perkawinan “Negen Dadua” dapat disimpulkan apabila telah melakukan beberapa prosesi secara Agama Hindu dan Adat Bali, yaitu : sudah dilangsungkan Upacara Pebyakaonan, dan tidak dilakukan Upacara Mepamit, serta sudah disepakati oleh Mempelai, Orang Tua (Ayah, Ibu kedua belah pihak) berguna untuk menyelamatkan keturunan bagi mereka yang tidak memiliki anak laki-laki, manakala mempelai pria juga tidak berkenan untuk nyentana( dalam winda, dkk).

1.4. Hukuman Perkawinan Pada Gelahang (Nyentana)
    Apabila kedua bentuk perkawinan tersebut di atas (perkawinan biasa dan nyeburin) tidak dapat dipilih karena masing-masing calon mempelai adalah anak tunggal dalam keluarganya, kebelakangan ini dalam masyarakat Bali mulai tumbuh dan berkembang satu bentuk perkawinan baru, yang disebut perkawinan pada gelahang. Eksistensi bentuk perkawinan  ini pun kini telah diakui oleh Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali melalui Keputusan Pasamuan Agung  III Majelis Utama Desa Pakraman tanggal 15 Oktober 2010.  Berdasarkan hasil penelitian yang saya lakukan dengan teman-teman dari Perhimpunan Dosen Hukum Adat (PERSHADA) Bali yang kini telah dibukukan dalam buku berjudul ”Perkawinan pada Gelahang di Bali” (Windia,dkk., 2009), faktor utama yang melatarbelakangi pasangan pengantin dan keluarganya melangsungkan perkawinan pada gelahang adalah kekhawatiran warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya –baik yang berwujud  material maupun immaterial, tidak ada yang mengurus dan meneruskannya. Dalam hukum adat Bali, warisan tidak hanya menyangkut hak (swadikara) terhadap harta, melainkan juga menyangkut kewajiban (swadharma), seperti kewajiban memelihara orang tua di masa tua; kewajiban meneruskan generasi; kewajiban melaksanakan penguburan atau upacara ngaben terhadap jenasah orang tua yang telah meninggal, kewajiban terhadap roh leluhur yang bersemayam di sanggah/merajan (tempat persembahyangan keluarga), dan kewajiban-kewajiban kemasyarakatan, seperti melaksanakan kewajiban kepada kesatuan masyarakat hukum adat (banjar/desa pakraman/subak) di mana keluarga itu menjadi anggotanya. Menurut hukum adat Bali, pengabaian terhadap swadharma tersebut dapat dijadikan alasan untuk menggugurkan status seseorang sebagai ahli waris.
Dari hasil penelitian tersebut terungkap pula bahwa pada dasarnya proses dilangsungkannya perkawinan pada gelahang hampir sama dengan perkawinan biasa atau nyeburin. Perbedaannya terletak pada adanya kesepakatan kedua mempelai dan keluarganya yang dibuat sebelum terjadinya perkawinan bahwa kedua pihak sepakat melaksanakan perkawinan pada gelahang, yang intinya menegaskan bahwa perkawinan dilangsungkan dengan maksud agar keluarga kedua belah pihak sama-sama memiliki keturunan yang nantinya diharapkan dapat mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, baik yang berupa kewajiban (swadharma)maupun yang berupa hak (swadikara).  Bentuk dan isi kesepakatan tersebut bervariasi, tetapi umumnya sudah dibicarakan dan disepakati ketika proses memadik (lamaran) dilakukan yang disaksikan perwakilan keluarga besar masing-masing dan prajuru adat (kepala adat).
Pada umumnya inti kesepakatan  yang dibuat tersebut menyangkut kedudukan suami-istri serta anak dalam keluarga setelah perkawinan dilangsungkan yang berimplikasi kepada tanggungjawab terhadap keluarga masing-masing serta terhadap keanggotaan banjar dan desa pakraman. Barkaitan dengan tanggung jawab masing-masing setelah perakawinan, sebagian pelaku perkawinan pada gelahang merumuskan bahwa suami dan istri bertanggungjawab dan mempunyai hak penuh di keluarga masing-masing, suami bertanggung jawab dan berhak penuh di keluarga pihak laki-laki, sedangkan istri bertanggung jawab dan berhak penuh di keluarga pihak perempuan. Sebagian pelaku lain tidak merumuskan mengenai hal itu secara ekplisit. Mengenai kedudukan anak, sebagian merumuskan  bahwa apabila dari perkawinan tersebut lahir lebih dari satu orang anak, maka kedudukan anak-anak ”dibagi” untuk meneruskan keturunan pada masing-masing pihak. Apabila hanya lahir seorang anak, status anak itu ditentukan  apakah ikut keluarga pihak laki-laki atau perempuan, sementara pada pihak lainnya diusahakan mengangkat anak. Ada juga pelaku perkawinan pada gelahang membuat kesepakatan bahwa dalam hal hanya lahir seorang anak, maka kedudukan hukumnya diserahkan kepada pilihan anak yang bersangkutan setelah anak tersebut dewasa.
Dalam kesepakatan tersebut juga ditentukan mengenai proses upacara perkawinan. Dari hasil penelitian tersebut di atas,  hampir semua perkawinan pada gelahang yang berhasil diteliti melakukan upacara byakaonan (salah satu upacara dalam rangkaian upacara perkawinan) di dua tempat pada hari yang sama, yaitu di rumah mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. Soal di rumah keluarga mana yang dilaksanakan lebih dahulu, tergantung isi kesepakatan yang telah dibuat.  Semua pasangan yang melaksanakan perkawinan pada gelahang yang diteliti tersebut tidak melanjutkan ketahapan upacara mepejati
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari seluruh pelaku perkawinan pada gelahang yang diteliti, hanya dua pasangan yang merumuskan kesepakatan yang mereka buat dalam bentuk perjanjian tertulis. Selebihnya hanya dirumuskan secara lisan saja (Windia, dkk., 2009). Bentuk perkawinan pada gelahang memang termasuk ranah hukum adat, sehingga bentuk kesepakatan (perjanjian) yang dibuat tetap sah walau hanya didasarkan atas dasar kesepakatan secara lisan. Tetapi untuk mengantisipasi keadaan yang tidak diinginkan, misalnya terjadi masalah dikemudian hari di mana para pelaku dan saksi-saksi sudah tiada (meninggal) atau daya ingatnya sudah tidak bagus lagi, sebaiknya kesepakatan-kesepakatan yang dicapai dalam perkawinan pada gelahang dirumuskan dalam bentuk perjanjian tertulis yang memenuhi standar surat perjanjian pada umumnya. Ditandatangani oleh para pelaku dan pihak-pihak yang berkepentingan (keluarga terdekat) dan saksi-saksi, terutama saksi dari prajuru adat (pemimpin adat) Dengan demikian, ada jaminan kepastian hukum mengenai status perkawinan tersebut beserta akibat-akibat yang mengikutinya.

1.5.Syarat-syarat Melakukan Perkawinan Nyentana
a.    Persetujuan kedua mempelai
Undang-undang Perkawinan menegaskan beberapa syarat agar perkawinan dapat dilangsungkan. Syarat pertama adalah perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Demikian bunyi Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Perkawinan. Menurut penjelasan resminya, disamping syarat ini sesuai dengan hak asasi manusia, ketentuan ini diadakan untuk mendukung agar tujuan pekawinan, yaitu untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia dapat dicapai.
Dengan ditegaskannya syarat bahwa perkawinan harus di dasarkan kepada persetujuan kedua calon mempelai, maka cara-cara pemaksaan dalam pelaksanaan perkawinan tidak dibenarkan lagi, seperti cara perkawinan melegandang (raksasa wiwaha) yang di masa lalu sering terjadi.

b.    Ijin orang tua
Syarat kedua adalah seperti disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2). Disebutkan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua. Selanjutnya disebutkan  dalam ayat (3) bahwa dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. Jika ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebutkan di atas, atau salah seorang diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka berdasarkan ayat (4) pasal ini, Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin, setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut di atas.
      Berkaitan dengan syarat kedua ini, timbul persoalan mengenai eksisensi perkawinan yang   














Simpulan
Perkawinan nyentana merupakan suatu perkawinan di mana sang suami ikut dengan istri dan tinggal bersama dirumah keluarga perempuan (istri). Dari hasil survey yang dilakukan pada karma – karma desa dan kelian adat didesa tersebut (Ratu aji) mempaparkan dalam proses perkawinan nyentana yang melakukan proses berpamitan di pemerajan adalah mempelai laki-laki. Karena calon mempelai laki-lakilah yang akan meninggalkan keluarga dan leluhurnya, untuk ikut kedalam garis keturunan kelurga perempuan. Semenjak proses berpamitan kepada leluhur itu mempelai laki-laki menjadi hak dan tangungjawab kelurga perempuan. Dalam hal ini, mempelai laki-laki statusnya tidak lagi sebagai purusa (laki-laki), namun sebagai pradana (perempuan), sehingga mempelai laki-laki mengikuti istrinya untuk tinggal pada kelurga perempuan. Pada perkawinan nyentana status perempuan telah diubah menjadi laki-laki yang dilakukan melalui prosesi upacara putrika sebelum diadakan perkawinan. Putrika artinya proses perbahan status dan kedudukan perempuan menjadi laki-laki melalui prosesi upacara adat yang harus disaksikan oleh tri saksi (tiga saksi) yaitu Tuhan, Leluhur dan masyarakat dan disetujui oleh kelurga serta dilegitimasi oleh perangkat desa adat. Jika kelurga putrika tidak menyetujui terjadinya prosesi putrika, maka prosesi putrika tidak boleh dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan peralihan kekayaan baik yang berupa benda materiil mapun yang berupa non materiil seperti sanggah dan leluhur.






















Daftar Pustaka
Artikel dalam Jurnal Online
 Utari.2012mencariilmu.nyentana.

Artikel Jurnal Online
Utari.2010.dotkeneketo.budaya nyentana

3 comments:

Cara Membuat Effect Hollogram dengan Photoshop

Om Swastiastu Kawand-kawand Youtuber... Oke kawand-kawand pada hari ini saya akan memberikan tutorial efek photoshop kali ini, mimin ...