NGEREH RITUAL MAGIS DI
BALI
Oleh
Ni
Luh Nyoman Niti Kurniasari
Universitas
Pendidikan Ganesha Singaraja
Email
: niti.clan@gmail.com
ABSTRAK
Ngereh
merupakan suatu prosesi ritual mistik yang
dilakukan di kuburan pada tengah malam dan merupakan tahapan akhir dari proses
sakralisasi petapakan Ida Bhatara Rangda atau Barong Landung.
Beberapa lontar yang memuat isi tentng ngereh diantarannya adalah Lontar
Canting Mas (Informasi dari Ida Pedanda Bang Buruan pada majalah taksu, 196 th
2007), Widhi Sastra dan Ganapati Tatwa dan lontar pengerehan. Upacara ini
biasanya dilakukan pada dua tempat yaitu di pura dan di kuburan. Apabila
dilakukan di kuburan yang dianggap tenget (angker), maka diperlukan tiga
tengkorak manusia yang berfungsi sebagai alas duduk bagi yang memundut
(mengusung). Begitu pula bila dilakukan di pura maka tengkorak manusia dapat
diganti dengan kelapa gading muda. Untuk menjadi Pengereh diperlukan kesiapan
mental, keberanian dan kebersihan pikiran dan badan serta yang paling penting
adalah lascarya (pasrah, tulus, ikhlas). Gegodan (gangguan niskala) mulai
mengetes keteguhan hati pengereh, apakah dia akan bisa bertahan dan berhasil
atau malah kabur yang berarti gagal. maka keberhasilannnya adalah ditandai
dengan adanya gulungan api, atau tiga bola api
yang datang menghampiri kemudian masuk ke petapakan Ida Betara Rangda.
Kata kunci:
Ngereh, spiritual, kuburan
ABSTRACT
Ngereh
is a mystical ritual procession carried out in the graveyard at midnight and is
the final stage of the process of sacralization petapakan Ida Bhatara Rangda or
Barong Landung . Some content about papyrus containing ngereh is Papyrus Canting Mas ( Information from Ida Pedanda
Bang Buruan on taksu magazine , 196 th , 2007) , Widhi Sastra and Ganapati
Widhi Tatwa and ejection pengerehan . This ceremony is usually performed in two
places, namely in the temple and in graves . If done in a cemetery that is
considered tenget ( armature ) , then three human skulls that serves as a
cushion for the memundut ( carries ) . Similarly, if done in the human skull
temples can be replaced with ivory young coconut . To be Pengereh needed mental
readiness , courage and cleanliness of mind and body as well as the most important
is lascarya ( resigned , sincerely, honestly ) . Gegodan ( noetic disorder )
began to test the courage pengereh , whether he would be able to survive and
succeed , or even run away , which means failure . then keberhasilannnya is
characterized by the presence of fire rolls , or three balls of fire that came
up then go into Ida Betara Rangda .
Keywords: Ngereh, spiritual, grave
PENDAHULUAN
Bali
merupakan sebuah pulau eksotis yang mempunyai keindahan alam yang menawan. Bali
terkenal tidak hanya karena keindahan alamnya tetapi juga karena kebudayaan
penduduk di Bali. Mayoritas penduduk di Bali menganut agama Hindu. Dalam Agama
Hindu banyak upacara agama yang dilakukan untuk menjaga keharmonisan antara
alam dan lingkungan manusia sekitarnya. Bali memang tidak bisa lepas dari
upacara keagamaan yang dilakukan masyarakatnya, sehingga menambah kemagisan
pulau ini.
Banyak
upacara agama yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali. Salah satu upacara agama
yang dilaksanakan adalah upacara ngereh atau pengerehan yang lazim dilakukan
oleh masyarakat dalam rangka menghidupkan sesuatu yang ada hubungannya dengan
wahana atau petapakan Ida Betara Rangda di Pura. Dalam ajaran Agama Hindu di
Bali sarat dengan lokal genius yang berdasarkan sastra-sastra Agama, termasuk
diantaranya ngereh. Upacara ngereh ini tidak dapat dinikmati dalam setiap
waktunya, namun upacara ini hanya diadakan apabila dilakukan perbaikan terhadap
tapel (topeng) ataupun mengganti tapel (topeng) dengan yang baru.
Banyak
orang yang tidak memahami arti dari upacara ngereh yang dilaksanakan. Tidak
jarang umat yang berasal dari agama lain akan mengnggap upacara ngereh yang
dilakukan adalah upacara yang seram. Banyaknya salah presepsi terhadap upacara
ngereh ini, terkadang membuat banyak umat lain yang mencemooh. Ngereh
sebenarnya bukanlah hal yang aneh ataupun seram. Ngereh dilaksanakan jika ada
hubungannya dengan membuat ataupun memperbaiki tapel (topeng) Ida Bhatara
Rangda, Barong, ataupun Ratu Gede.
NGEREH DAN PELAKSANAANNYA
Bali
memang tidak bisa lepas dari upacara keagamaan yang dilakukan masyarakatnya,
sehingga menambah kemagisan pulau ini, begitu halnya dengan upacara ngereh atau
pengerehan yang lazim dilakukan oleh masyarakat dalam rangka menghidupkan
sesuatu yang ada hubungannya dengan wahana atau petapakan Ida Betara Rangda di
Pura. Dalam ajaran Agama Hindu di Bali sarat dengan lokal genius yang
berdasarkan sastra-sastra Agama, termasuk diantaranya ngereh. Dalam lontar
Kanda Pat, ngereh atau pengerehan erat kaitannya dengan Petapakan Ida Betara
Rangda yang berupa benda yakni tapel rangda (topeng rangda).
Sedangkan
ngerehan rangda sesuai dengan Lontar Pengerehan, Kanda Pat, bahwa ngerehang
rangda mempunyai kekhususan sendiri. Sebab ini berhubungan dengan sifat magis
yang dimiliki oleh rangda itu sendiri, karena rangda merupakan simbol rajas
(emosi) yang penuh dengan nafsu untuk menguasai. Dalam lontar Calonarang,
rangda artinya janda yang memiliki nafsu tak terbendung atau kemarahan yang tak
tertahankan karena dendam. Rangda sendiri merupakan sifat manusia yang tidak
pernah puas dengan apa yang dimilikinya sehingga menyebabkan gejolak dalam diri
kita sebagai manusia.
Ngereh
merupakan suatu prosesi ritual mistik yang
dilakukan di kuburan pada tengah malam dan merupakan tahapan akhir dari proses
sakralisasi petapakan Ida Bhatara Rangda atau Barong Landung.
Atau tahapan akhir dari proses sakralisasi setelah memperbaiki petapakan yang lama atau rusak. Beberapa lontar yang memuat isi
tentng ngereh diantarannya adalah Lontar Canting Mas (Informasi dari Ida
Pedanda Bang Buruan pada majalah taksu, 196 th 2007), Widhi Sastra dan Ganapati
Tatwa dan lontar pengerehan. Lontar-lontar tersebut ternyata memberikan
penjelasan mengenai ngereh atau kerauhan dalam perspektif yang luas, sehingga
menimbulkan kesan bahwa ngereh hanyalah prosesi mistik yang sangat rahasia.
Disebut
rahasia sebab dilakukan di kuburan tengah malam, hal ini merupakan pengertian
ngereh yang sempit yang hidup dan berkembang dalam benak masyarakat Hindu Bali.
Ngereh biasanya berhubungan dengan Upacara Sakral berupa : Pasupati, Ngatep dan
Mintonin. Ngereh artinya memusatkan pikiran, dengan mengucapkan mantra dalam
hati, sesuai dengan tujuan yang bersangkutan. Pasupati artinya kekuatan dari
Dewa Siwa. Ngatep artinya mempertemukan dan Mintonin adalah bahasa Jawa Kuna yang
artinya menampakkan diri. Dipilihnay setra atau kuburan karena kuburan
merupakan tempat pemujaan terhadap Dewi Durga Bhirawi (Dewanya kuburan sesuai
dengan Lontar Bhairawi Tatwa), yang merupakan perwujudan dari Dewi Durga. Dalam
mitologinya, Dewa Siwa berubah wujud untuk menemui saktinya Dewi Durga (berupa
rangda), sehingga memunculkan beberapa kekuatan yang menyeramkan untuk
menguasai dunia. Inilah alasannya kenapa setra dipakai sebagai tempat ngerehang
Barong Landung atau Rangda. Karena penuh dengan kekuatan gaib atau Black
Magic, sehingga dalam ngerehang ini jika sudah mencapai puncaknya maka ia
akan hidup, setelah hidup, rangda akan memanggil anak-anak buahnya berupa leak
atau makhluk lainnya.Tengetnya setra seperti yang tercantum pada Lontar Kala
Maya Tattwa.
UPAKARA NGEREH
Dalam
prosesi Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda diperlukan tiga tingkatan upakara
seperti ;
1. Prayascita
dan Mlaspas
Tujuan dari upacara ini adalah untuk
menghapuskan noda, baik yang bersifat sekala maupun niskala yang ada pada kayu
dan benda lain yang digunakan untuk pembuatan Petapakan Betara Rangda. Noda ini
dapat saja ditimbulkan oleh sangging (seni ukir) ataupun bahan itu sendiri.
Dengan Upacara Prayascitta diharapkan kayu atau bahan itu menjadi bersih dan
suci serta siap untuk diberikan kekuatan. Upakara tersebut dihaturkan kehadapan
Sang Hyang Surya, Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Sapujagat.
2. Ngatep
dan Pasupati,
Ngatep dan Pasupati
dapat dilakukan oleh Pemangku (orang suci) dan Sangging (seni ukir). Dengan
upacara ini terjadilah proses Utpeti (kelahiran) terhadap Petapakan Betara
Rangda. Mulai saat itu dapat difungsikan sebagai personifikasi dari roh atau
kekuatan gaib yang diharapkan oleh penyungsungnya (Pemujanya).
3. Masuci
dan Ngerehin.
Tingkat Masuci dan
Ngrehin, merupakan tingkat upacara yang terakhir dengan maksud Betara Rangda
menjadi suci, keramat dan tidak ada yang ngeletehin (menodai). Tujuan upacara
adalah untuk memasukkan kekuatan gaib dari Tuhan.
Dengan demikian diharapkan Petapakan Betara
Rangda mampu menjadi pelindung yang aktif. Upacara ini biasanya dilakukan pada
dua tempat yaitu di pura dan di kuburan. Apabila dilakukan di kuburan yang
dianggap tenget (angker), maka diperlukan tiga tengkorak manusia yang berfungsi
sebagai alas duduk bagi yang memundut (mengusung). Begitu pula bila dilakukan
di pura maka tengkorak manusia dapat diganti dengan kelapa gading muda. Upacara
ini biasanya dilakukan pada tengah malam terutama pada hari-hari keramat
seperti hari kajeng kliwon menurut kalender Bali.
“Pada
hari pengerehan tersebut, juru pundut yang kasudi (ditugaskan) atau ditunjuk
dilakukan upacara sakral di Pura Dalem. Setelah itu ngiderang (mengelilingi)
gedong Pura Dalem sebanyak tiga kali. Kemudian juru pundut tersebut
menghaturkan sembah kepada Ratu Gede Penyarikan, Mrajapati. Proses ini
berlangsung sekitar jam dua puluh dua tiga puluh menit (jam 20.30 ) malam.
Pada
tengah malam sekitar jam dua puluh tiga, tiga puluh menit (jam 23.30) malam,
barulah Petapakan Ida Betara Rangda diikuti oleh para damuh (masyarakat
penyungsung) menuju ke setra (kuburan) untuk upacara ngereh. Di sana telah
disediakan banten (sesajen). Semua banten (sesajen) tersebut diastawa (dipuja)
oleh jero mangku (orang suci). Di tempat tersebut ditancapkan sebuah sanggah
cucuk (tempat sesajen dari pohon bambu) yang berisi sesajen sakral. Sedang Ida
Betara Rangda diletakkan diatas gegumuk (gundukan tanah).
Pemundut
kemudian duduk bersimpuh di hadapan banten (sesajen) dan prerai (muka topeng) Petapakan
Ida Betara Rangda. Duduk bersimpuh dimana kedua lututnya beralaskan pala walung
(tengkorak manusia), dan satu lagi di bagian pantatnya. Mencakupkan tangan
memegang kuangen (sarana bunga), ngulengang kayun (konsentrasi) kehadapan Ida
Betara Durga. Dihadapannya diletakkan sebuah pengasepan (tempat api). Setelah
itu areal tempat ngerehan dikosongkan dari orang termasuk pemangku (orang
suci).
Untuk
menjadi Pengereh diperlukan kesiapan mental, keberanian dan kebersihan pikiran
dan badan serta yang paling penting adalah lascarya (pasrah, tulus, ikhlas).
Tidak boleh sesumbar atau menambah serta melengkapi diri dengan
kekuatan-kekuatan lainnya seperti : sesabukan (Jimat kesaktian). Adanya
benda-benda asing di luar kekuatan asli yang berada di badan akan mengganggu
masuknya kekuatan Ida Bhatara.
Orang
yang ditugaskan ngereh duduk berhadapan dengan Petapakan Ida Betara Randa.
Lidah Petapakan Ida Betara Rangda dilipat ke atas kepalanya. Diantara orang
yang ngereh dengan Petapakan Ida Betara Rangda itu ditempatkan upakara, yang
pokok adalah getih temelung (darah dari babi jantan) yang ditaruh pada takir
(daun pisang). Pengereh bersemedi, sedangkan rekan-rekannya yang lain
berjaga-jaga di sekitar setra (kuburan). Malampun bertambah larut ditambah
dengan semua lampu harus dimatikan sehingga suasana magis mulai terasa.
Gegodan (gangguan niskala) mulai mengetes keteguhan hati pengereh, apakah dia akan bisa bertahan dan berhasil atau malah kabur yang berarti gagal. Beberapa jenis gegodan, antara lain :
1)
Semut yang mengerubuti
sekujur tubuh pengereh dan semut ini besar-besar, jika tidak tahan maka
pengereh akan menggaruk-garuk seluruh tubuhnya maka gagallah dia.
2) Nyamuk
yang menggigit serta menyengat muka sampai terasa sakit, rasa-rasanya muka akan
hancur, jika tidak tahan pengereh akan mengusap atau menepuk-menepuk mukanya
dan gagallah dia.
3) Ular
besar yang melintasi paha pengereh bergerak perlahan yang terasa geli, dingin
dan mengerikan. Jika pengereh geli, ketakutan maka gagallah dia.
4) Celeng
(babi) yang datang menguntit pantat pengereh yang sedang khusuknya bersemedi
jika takut dan merasa terusik, gagallah si pengereh itu.
5) Angin
semilir yang membawa Aji sesirep, jika tidak waspada akhirnya ketiduran,
gagallah dia.
6) Kokok
ayam dan galang kangin (bahasa bali) artinya suasana hari mendekati pagi
diiringi dengan ayam berkokok, jika Pengereh terpengaruh dan menghentikan
semedi karena merasa hari sudah pagi, maka gagallah dia.
7) “Bikul
nyuling” (tikus meniup seruling) menggoda, sehingga membuat si pengereh tertawa
karena lucu melihat tikus meniup seruling, maka gagallah dia.
8) “Talenan
(alas untuk memotong daging) bersama blakas (pisau besar)” yang datang dengan
bunyi….tek….tek….tek….dan akan melumat si pengereh, langsung dicincang. Kalau
sudah seperti ini si pengereh harus kabur menyelematkan diri, karena kehadiran
talenan bersama blakas ini adalah ciri kegagalan.
9) Kedengaran
bunyi gemerincing…..cring…….cring, cring,cring,cring, kalau sudah begini
berarti sudah gagallah prosesi ngereh ini, dan si pengereh tidak perlu lagi
melanjutkan dan harus secepatnya angkat kaki menyelematkan diri. Hal ini
menandakan akan hadir Banaspati Raja (Raja hantu) ancangan (anak buah) Ida
Betara Bairawi yang berkuasa di Setra (kuburan).
Mengenai
9 jenis gegodan (gangguan) itu tidak terjadi sekaligus kesembilannya pada saat
ritual ngereh. Gangguan (gegodan) yang terjadi bisa 1 atau 2 atau 3 atau 4 dan
seterusnya tergantung situasi dan kondisi serta keberadaan si pengereh,
kelengkapan upacara dan kemungkinan penyebab lainnya.
Menurut
Drs. I Made Karda, M.Si yang juga sebagai tukang menarikan rangda pada
tulisannya di majalah Taksu 169 Thun 2007
menjelaskan bahwa Ngereh lebih dekat dengan kata kerauhan atau kesurupan, yang
artinya kemasukan roh manifestasi Tuhan. Mereka akan menggeraklan tubuhnya
sesuai dengan kekuatan yang menempatinya.
Kalau
yang disampaikan diatas adalah kegagalan ngereh, maka keberhasilannnya adalah
ditandai dengan adanya gulungan api, atau tiga
bola api yang datang menghampiri kemudian masuk ke petapakan Ida Betara Rangda.
Jika sudah masuk ke Petapakan Ida Betara Rangda, ditandai dengan menjulurnya
lidah Petapakan Ida Betara Rangda yang semula diatas kepalanya kemudian turun
berjuntai mengarah ke takir (daun pisang ) yang berisi getih temelung (darah
babi jantan) dan menyedotnya sampai habis, selanjutnya si pengereh akan
kerauhan (trance) kemudian masuk ke Petapakan Ida Betara Rangda dan ngelur
(berteriak) menggelegar; akhirnya tangkil (datang) ke Pura Dalem.
SIMPULAN
Jadi
pengertian ngereh pada intinya adalah Petapakan Ida Betara Rangda mesuci
(membersihkan diri) di setra (kuburan) serta membuktikan bahwa “topeng” yang
diupacarai sudah memiliki kekuatan gaib untuk keselamatan masyarakat
penyungsungnya (Pemujanya). Salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan
kesidian (kesaktian) beliau. Petapakan
Ida Betara Rangda di Bali diyakini mampu mengusir gerubug (wabah penyakit) dan
dapat mengayomi masyarakat sehingga merasa tenang, aman dan tentram dalam irama
kehidupan umat Hindu di Bali.
DAFTAR RUJUKAN
Adang
Suprapto.Petapakan Ida Batara Rangda
Ngereh
Ciptaadikusuma.2012.Ngereh.
Diunduh
dari http://blog.isi-dps.ac.id/ciptaadikusuma/resensi-buku-ngereh
pada tanggal 17 Desember 2013
Jro
Mangku Oka Swadiana.2008.Ngereh: Ritual,
Supernatural, Tradisoinal.Paramita
No comments:
Post a Comment