Akibat Budaya Berburu Kambing Hitam
Ahmad Abdullah
Program Studi
Pendidikan Kimia, Program S1
Universitas Pendidikan
Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: amatipa3@yahoo.com
Abstrak
Melihat
bagaimana kondisi masyarakat saat ini, kebudayaan turut terancam
kelestariannya. Semakin pesatnya perkembangan informasi dan komunikasi akan menekan
kebudayaan Indonesia jika tidak ditanggapi dengan benar. Permasalahan budaya
yang muncul sebagian besar menunjukkan bahwa budaya Indonesia mengalami
pengikisan di dalam negeri sendiri, mengingat globalisasi tidak bisa dibendung,
maka faktor-faktor dari dalam yang harus berperan menyelesaikan masalah yang
muncul. Tetapi hal tersebut menjadi lebih sulit, mengetahui bahwa tipe
penyelesaian masalah di Indonesia yang memiliki ciri khas tersendiri, yaitu masyarakat
yang memiliki kegemaran menyalahkan orang lain. Sikap menjadikan orang lain
sebagai ‘kambing hitam’ (istilah untuk menyatakan tersangka) tampak sudah
menjadi budaya sebagian besar masyarakat Indonesia yang bisa ditemukan dari
berbagai kelas sosial,yaitu kelas tinggi-kelas rendah, kaya-miskin, sampai
pemerintah-rakyat. Tanpa disadari, sebenarnya, budaya mencari ‘kambing hitam’
tersebut merupakan ancaman yang lebih berbahaya dari keberadaan globalisasi.
Perhatian terhadap hal-hal kecil dalam kebiasaan sehari-hari yang berpotensi
mencetak pemburu ‘kambing hitam’ baru dan memperbaikinya, adalah cara bijak
untuk menghilangkan budaya tersebut secara perlahan namun pasti.
Kata kunci:
eksistensi budaya, kambing hitam
Abstract
Seeing how about
the society now, existence of our culture now is in danger situation.
Increasing in development the information and comunication will push the
Indonesian’s culture down when it is responded with the wrong way. The
culture’s problems which appear to the society mostly shows that Indonesian’s
culture now are rubbed down inside the country it self, remind that
globalization is unstopable, so the internal factors should give some
contributions to solve the appeared problem. But, it seems like more difficult,
knowing that Indonesian problem solving type has it special characteristic that
is almost like to blaming for other people at first step. The attitude about
blaming for other people as ‘the black goat’( a term about victim of blaming/blamed
people) seem has become a culture of most of Indonesian society which can be
found in many social grades, that is high grade or low grade; rich people or
poor people; until the government or the citizen. We are not realized,
actually, culture about looking for ‘the black goat’ is more dangerous threat
than the existence of globalization. Attention to the little things in our
habituality that potentially produce the new hunters of ‘black goat’ than
repair the habit, that is a wise way to make the bad culture is disappeared
slowly but sure.
PENDAHULUAN
Perilaku
masyarakat Indonesia secara umum mengalami banyak perubahan dalam konteks
sosial-budaya, berbangsa-bernegara, serta ekonomi-politik. Sebagai akibat dari
perkembangan ilmu pengetahuan dengan sangat pesat, teknologi pun diciptakan
semakin canggih dan mutakhir untuk mempermudah segala bentuk aktivitas manusia.
Beberapa abad lamanya tanah Indonesia berbaur dengan banyak peradaban yang muncul sebagai wujud nyata terhadap
implementasi sifat dasar manusia yang terus mengejar berbagai kemajuan. Bentuk
upaya yang dilakukan untuk berburu kesempurnaan ini telah dilakukan oleh
generasi-generasi terdahulu hingga sekarang, generasi tanpa identitas. Namun,
sampai sekarang belum tampak hasil nyata setelah setengah abad lebih Indonesia
memproklamasikan jalan menuju perubahan dan kesejahteraan. Perbaikan telah
direncanakan secara matang dengan belajar dari sejarah yang tercipta oleh
generasi pendahulu, walaupun begitu, tetaplah Indonesia berada dalam keramaian
problematika bangsa, saat sebuah masalah belum padam pun memungkinkan untuk berkobarnya hal baru
yang menjadi masalah atau dipermasalahkan. Kesenjangan budaya dari generasi
yang berbeda sudah semakin fatal, warisan arif bangsa Indonesia secara perlahan
punah ditengah sumber daya manusia yang semakin ditingkatkan. Apakah ini yang
disebut ‘mati di lumbung padi?’, entah mengapa kualitas sumber daya manusia yang
kian membaik justru tidak memberikan jawaban terhadap ancaman kepunahan ciri
khas ke-Indoesiaan kita, budaya dan kearifan lokal masyarakat nusantara sudah banyak
yang digantikan dengan global culture,
budaya masyarakat dunia. Kemudian sering muncul sebuah pertanyaan, ‘siapakah
yang bertanggung jawab atas ancaman kepunahan budaya kita?’, ditujukan kepada
semua orang dan dipertanyakan pula oleh semua orang. Sehingga kita dapati semua
orang bertanya hal yang sama, mungkin
kita sedang mempertanyakan hal yang serupa. Demikianlah keadaan kita yang
berada di satu sisi bersama, sudut pandang searah, yaitu pihak yang sama-sama
menanyakan tentang budaya dan ancamannya.
PEMBAHASAN
Kebudayaan
adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, dan semua kemampuan kebiasaan lain yang diperoleh seseorang
sebagai anggota masyarakat (Sir Edward Tylor). Kebudayaan nasional adalah kebudayaan
kita bersama yakni kebudayaan yang mempunyai makna bagi kita bangsa Indonesia.
Sudah sewajarnya kita wajib untuk menjaga dan melestarikannya. Ketika memasuki
ranah globalisasi, masuknya budaya asing ke suatu negara sebenarnya merupakan
hal yang wajar, asalkan budaya tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa. Namun
pada kenyataannya budaya asing lebih mendominasi sehingga budaya lokal perlahan
dilupakan oleh penganutnya sendiri. Sebagai identitas bangsa, budaya lokal
harus terus dijaga keaslian maupun kepemilikannya agar tidak dapat diakui oleh
negara lain. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa budaya asing pun
boleh masuk asalkan sesuai dengan kepribadian negara karena suatu negara tidak
terlepas dari kebutuhan terhadap perbaikan dan kemajuan, salah satunya bisa
didapat dari negara lain. Berkenaan dengan eksistensi kebudayaan lokal sebagai
warisan bangsa Indonesia, terdapat beberapa hal yang sempat menjadi sorotan
banyak pihak, atau lebih tepatnya masyarakat Indonesia, yakni ketika kita baru
tersadar bahwa banyak budaya milik ‘orang Indonesia’ sudah terjamin
eksistensinya bahkan dikenalkan kepada dunia, ‘loh?, kok yang seperti ini
dipermasalahkan?’, mungkin demikianlah pertanyaan yang timbul, tapi bagaimana
jika bukan bangsa Indonesia sendiri yang menjamin eksistensinya dan mengenalkan
budaya kepada masyarakat global, melainkan dilakukan oleh negara lain?. Klaim
terhadap budaya bangsa Indonesia telah terjadi, kemudian seperti inilah
pertanyaan yang terucap, ‘Kenapa bisa terjadi?, di mana peran pemerintah
terhadap hal ini?, siapa yang salah?’, dan sebagainya. Secara sadar atau tidak,
sebenarnya kita sering mengulang tipe pertanyaan yang sama maknanya dalam tiap
permasalahan yang dihadapi. Sudah menjadi kebiasaan atau secara tersirat itu
adalah budaya masyarakat Indonesia yang langgeng hingga saat ini. Kelas sosial
masyarakat yang hobi berburu kambing hitam dalam menghadapi problematika berasal
dari berbagai kelas sosial, mulai dari yang rendah sampai kelas tinggi,
sehingga tidak mengherankan ketika rakyat dan pemerinah sulit untuk bekerja
sama dalam mengatasi persoalan bangsa, terlebih lagi terhadap nasib budaya
bangsa yang tertekan zaman. Budaya atau kebiasaan untuk mencari objek sebagai
tertuduh sebenarnya lebih berkaitan dengan pola sistem politik yang dilakukan
oleh politikus maupun masyarakat luas. Kemampuan politik jenis ini sudah lama
membudaya di Indonesia, bahkan menjadi tren tersendiri bagi masyarakat kita,
banyak orang berkompetisi untuk menemukan kambing hitam tetapi sedikit sekali
dari mereka yang mau bertindak langsung untuk memperbaiki keadaan. Membahas
kambing hitam sebenarnya lebih berkaitan dengan kondisi politik bangsa ini,
tetapi secara langsung atau tidak langsung budaya model ini tidak hanya
bercokol dalam dunia politik semata, tetapi kini banyak bermunculan di dalam
segala sendi kehidupan masyarakat berbangsa dan berbudaya. Hal seperti ini
tidak bisa dipandang hanya sebagai aksesoris politik, tetapi ketika sudah
memasuki ranah masyarakat, tinjauannya menjadi lebih luas dan memiliki pengaruh
langsung terhadap kondisi masyarakat sosial yang berbudaya. Sebagai akibatnya,
kebudayaan terancam tidak dilestarikan sebab masyarakat yang mengemban
kemampuan untuk melesarikannya turut menjadi pemburu kambing hitam. Dalam
kajiannya, kita mengenal adanya budaya politik suatu pemerintahan, masyarakat
maupun negara dalam lingkup yang luas. Budaya politik tersebut dapat
dijumpai pada masyarakat berskala besar maupun kecil, masyarakat modern atau tradisional.
Namun biasanya lebih tampak pada masyarakat modern karena masyarakat modern
sulit menghindar dari pengaruh politik dan proses politik.
Menurut
sikap yang ditunjukkan, budaya politik bisa digolongkan sebagai berikut:
1. Budaya Militan, yaitu budaya politik yang tidak
memandang perbedaan sebagai suatu usaha memecahkan masalah, tetapi melihatnya
sebagai usaha jahat dan menantang. Jika terjadi permasalahan selalu mencari
kambing hitam, bukan penyebab terjadinya permasalahan.
2. Budaya Toleran,
budaya politik yang lebih menekankan pada ide atau pemecahan masalah. Tipe ini
selalu membuka pintu untuk kerja sama, bukan curiga terhadap seseorang.
Berdasarkan paparan di atas, tampak
bahwa masyarakat Indonesia sebagian besar termasuk golongan penganut budaya
militan, dengan ciri khasnya yang senang melimpahkan beban kepada orang lain
hingga menjadikan orang lain sebagai objek tersalah atau kambing hitam. Kembali
kepada nasib kebudayaan kita, banyak hal dan faktor-faktor yang menyebabkan
terancamnya eksistensi budaya bangsa sebagai ciri khas dan prestise nasional.
Jika dilihat dari dalam, globalisasi adalah ancaman terbesar terhadap budaya
bangsa selain kepentingan oknum-oknum luar yang bertujuan mengambil hak
terhadap budaya bangsa. Namun, ditinjau dari luar, kondisi masyarakat kita
sendiri yang sebenarnya memungkinkan untuk terjadinya kecolongan dalam menjaga
eksistensi budaya tersebut, ditambah dengan penyelesaian masalah yang tidak
harmoni antara pihak penguasa dengan masyarakat menjadikan masalah tersebut
berlarut-larut tanpa tindakan yang jelas untuk mengatasinya.
Budaya masyarakat untuk menjadikan orang
lain sebagai kambing hitam ini berkembang lebih pesat dan menonjol di Inonesia dibandingkan
di negara-negara lain, terkhusus negara-negara maju. Lihat saja jepang, salah
satu negara bertaring di asia tersebut memiliki perbedaan yang kalah jauh dalam
industri kambing hitam dibandingkan negara kita, Indonesia. Apakah ini terjadi
akibat setumpuk masalah yang terjadi di Indonesia sehingga orang-orang tidak
akan ‘ambil pusing’ untuk mengulurkan tangan bersama tetapi mengikuti keinginan
pribadinya untuk mencari kambing hitam dari masalah tersebut. Jelas masalah
yang terlalu berat dan bertubi-tubi sebenarnya bukanlah alasan untuk segera
menjadikan orang lain sebagai tersangka atas kegagalan atau musibah yang
terjadi, melainkan hal ini hanyalah pelarian untuk menghindar dari tanggung
jawab, maka pantaslah kita melihat bahwa nyali untuk menerima kegagalan amatlah
rendah di kalangan masyarakat kita. Kebudayaan yang seharusnya menjadi tanggung
jawab bersama ketika posisinya terancam malah ditumpuk dengan berbagai dugaan
penyangkaan orang lain sebagai pelaku yang bersalah, tanpa perlu diduga maka akibat yang dikhawatirkan
benar-benar terjadi saat ini. Bukankah hal ini konyol jika melihat kebudayaan
bangsa terancam akibat salah satu budaya yang lestari sampai saat ini, sehingga
bangsa ini dihadapkan kepada dua pilihan, yaitu mempertahankan satu budaya agar
tetap exist atau membiarkan
budaya-budaya lain tertelan globalisasi akibat terlalu sibuk menikmati satu
budaya, yaitu kebiasaan mencari kambng hitam.
Bagaimana budaya kambing hitam ini mampu
bertahan tanpa banyak berubah dalam kurun waktu yang lama?. Sebaiknya kita meihat
beberapahal kecil yang menyebabkan tertanamnya naluri untuk mengkambinghitamkan
orang lain. Kebiasaan ini bisa terjadi akibat penanaman secara langsung maupun
tidak langsung oleh satu generasi kepada generasi baru yang muncul. Pewarisan
langsung dapat digambarkan ketika generasi baru tersebut melihat generasi
pendahulunya memiliki kesenangan mencari tersangka, atau mungkin, generasi yang
baru tersebut pernah mengalami langsung kondisi saat menjadi kambing hitam.
Sebagai contoh dalam ruang lingkup yang lebih kecil, misalnya, kegiatan
orientasi bagi mahasiswa yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat
merupakan contoh jelas bagaimana ladang beternak kambing hitam sangat hijau dan
tumbuh subur di lingkungan perguruan tinggi yang notabene mampu menjadi tolak
ukur bagi lembaga pendidikan yang lebih rendah. Di dalam pelaksanaan orientasi
tersebut sudah sangat lumrah apabila terdapat ‘gojlokan’ atau lebih tepatnya
‘uji mental’ yang dilakukan oleh para senior kepada calon mahasiswa, bahwa
calon mahasiswa dituntut untuk memenuhi berbagai persyaratan dan aturan selama
orientasi berlangsung. Jika terdapat suatu kesalahan yang dilakukan calon
mahasiswa, dengan segera calom mahasiswa tersebut menjadi tersangka, sedangkan
sering kali ditemukan kekeliruan yang dilakukan oleh pihak senior justru
dibebankan kepada calon mahasiswa, tentunya disertai setumpuk argumen yang
menurut para senior adalah benar. Dengan terjadinya hal tersebut, sebenarnya
sudah melatih kebiasaan para junior untuk menjadikan orang lain sebagai
tersangka, maka tak heran ketika mereka (junior) telah menjadi senior dan
berganti posisi sebagai penguji mental, hal seperti itu akan terulangi kembali.
Sebagai argumen mereka, dikatakan bahwa mereka pun dahulunya diperlakukan
seperti itu. Jika hal ini terus-menerus berlangsung tanpa ada salah satu
generasi yang memutus kebudayaan tersebut, tentu budaya kambing hitam akan
tetap ada hingga generasi mendatang.
Menjadi pengoreksi atas diri sendiri
memang tidak mudah, tetapi jika tidak dibiasakan, orang lain akan lebih
renponsif dan protektif terhadap koreksi yang kita berikan, apalagi koreksi
tersebut berupa tuduhan, tidak ada seorang pun senang mendapat kritik yang
mengorbankan harga dirinya. Seseorang yang diyakinkan untuk menentang
kehendaknya sendiri akan tetap memegang pendapatnya sendiri (Carnegie, 1996: 182).
Untuk meunjukkan bagaimana menyalahkan orang lain tidak akan berujung pada
penyelesaian masalah, ada baiknya kita mengutip perkataan Woodrow Wilson
seperti ini, “Kalau Anda datang kepada saya dengan tangan terkepal, saya pikir
saya bisa berjanji kepada Anda bahwa kepalan saya akan dua kali lebih cepat
dari kepalan Anda; tapi jika Anda datang kepada saya dan berkata, ‘Mari kita
duduk dan menyelesaikannya bersama, kalau kita saling berbeda pendapat, kita
coba mengerti mengapa hal tersebut membuat kita berbeda, apa sebenarnya
masalahnya,’ kita akhirnya akan menemuan kalau kita sebenarnya tidak terlalu
jauh terpisah, bahwa dimana hal kita berbeda hanyalah sedikit, padahal
titik-titik dimana kita setuju malah lebih banyak, dan kalau saja kita
mempunyai kesabaran dan berterus terang, serta hasrat untuk bersama, kita akan
mampu menyelesaikannya bersama.”(Carnegie, 1996: 220). Semua orang akan menentang
ajakan orang lain untuk menyalahkan diri sendiri, semakin keras tekanan atau
tuduhan kita terhadap seseorang, maka
akan semakin kuat orang tersebut menentang kita.
Sekarang tampak bagaimana budaya mencari
kambing hitam adalah masalah besar bagi kita, namun masih terdapat hal-hal
kecil dari kebiasaan masyarakat kita yang membentuk budaya kambing hitam ini,
salah satunya dalam pendidikan oleh orang tua di lingkungan keluarga.
Sebelumnya, kita lihat bagaimana orang-orang tua di jepang mendidik anak
mereka, dalam salah satu kasus, ketika anak-anak mereka menangis, mereka akan
mengatakan, “buat apa menangis?, kena batu saja kok menangis?”, setelah itu
mereka akan menanamkan nilai-nilai keksatriaan, nilai-nilai sportivitas yang
tinggi ( Adhim, 1996: 106). Berbeda jauh dengan penanaman ideologi di
Indonesia, sebagai contoh apabila dalam situasi yang sama seperti yang dialami
orang tua di jepang, dalam menghadapi anak-anak yang menangis, banyak pengasuh
anak malah mencontohkan budaya kambing hitam dengan menyalahkan Si batu yang
mengenai anak-anak mereka. Jika anak-anak mereka terjatuh kemudian menangis
orang tua di Indonesia menyikapinya dengan menyalahkan kodok. “Ouw, salahnya
kodok. Kodoknya nakal, ya? Anak Ibu nggak salah, dijatuhkan. Huh, nakal kamu
kodok.” (Adhim, 1996: 109). Hal yang cukup menggelitik dari kebiasaan orang tua
kita mengasuh anak-anak, sejak dini sudah mengajarkan untuk mencari pembenaran
dengan menyalahkan objek lain, bahkan berpikir tidak rasional dengan
menyalahkan binatang yang tidak terdapat sangkut-paut sama sekali dengan
peristiwa yang terjadi. Walaupun dengan maksud untuk menghindarkan dari
menyalahkan objek berupa manusia, namun secara tidak langsung akan mendidik
anak untuk terbiasa mencari objek untuk disalahkan. Sikap seperti ini disebut
dengan istilah argumentum ad hominem,
yakni perilaku yang suka menyalahkan sesuatu karena ia tidak mampu melakukan,
perilaku suka mencari-cari kesalahan di luar dirinya agar ia memiliki cukup
alasan untuk memaafkan dirinya sendiri (Adhim, 1996: 111) Kebiasan-kebiasaan kecil
tersebut sebenarnya sangat efektif dalam proses penanaman budaya bagi
seseorang, apalagi objek yang dididik adalah seorang anak yang sangat mudah
menyerap nilai-nilai di lingkungannya untuk kemudian bertahan dalam kepribadian
anak tersebut. Kebiasaan menemukan korban tersalah ternyata secara tidak
langsung pernah terjadi dalam kehidupan kita melalui hal-hal keci sebagaimana
paparan sebelumnya, akan lebih baik apabila kita menyadari kondisi yang terjadi
saat ini dan memiliki tekad untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan kecil yang
potensial untuk mencetak pemburu kambing hitam berikutnya.
Faktor penyebab dari semua hal yang
terjadi sebenarnya dapat kita golongkan menjadi dua yaitu faktor eksternal dan
internal. Faktor ekternal tentunya adalah hal-hal diluar diri dan kendali kita,
seperti kebijakan pemerintah, kebijakan perusahaan, instruksi atasan, kondisi
mental lingkungan, dll. Faktor internal adalah semua hal yang bersumber dari
diri kita sendiri dan ada dalam kendali kita. Untuk menekankan bagaimana kita
bisa berpikir lebih rasional, sebaiknya kita perhatikan fakta-fakta berikut:
1.
Semua orang memiliki kebutuhan
terhadap penghargaan seperti kebutuhan mereka untuk makan dan minum. Kebutuhan
tersebut sama besar dengan kebencian mereka untuk dijadikan kambing hitam;
2.
Mengakui kesalahan jauh lebih
efektif untuk menyelesaikan suatu masalah daripada melemparkan kesalahan kepada
orang lain;
3.
Memulai penyelesaian dengan mendebat
orang lain sebagai tersangka hanya akan memperpanjang waktu untuk menyelesaikan
masalah tersebut.
Sedangkan
bagaimana yang terjadi saat ini?, seperti ilustrasi ini,
“Ekonomi runyam yang jadi kambing hitam presiden, gagal bercinta yang jadi
kambing hitam orang tua yang kurang ganteng dan kaya, nilai jeblok guru yang
jadi sasaran, motor macet tukang bengkel dikira ngibul, ditipu dukun yg
disalahin Tuhan. Jarang dari kita mau menjadikan diri kita sendiri kambing
hitam untuk setiap kesialan yang menimpa kita.” Sekilas seperti inilah hal yang
sering kita temukan di dalam masyarakat, rakyat menyalahkan pemerintah,
kemudian pemerintah pun berdalih dan berbalik menuduh rakyat. Menyikapi sikap
masyarakat yang sering menyalahkan pemerintah, Presiden R.I., Susilo Bambang Yudhoyono,
berkata, “Sekecil apa pun karya
dan sumbangan yang dilakukan, pasti ada gunanya bagi Indonesia. Janganlah kita
mudah melecehkan mereka yang ingin berbuat untuk negerinya.”(Kompas, 18
Desember 2013).
Jelas bahwa tidak ada gunanya budaya mencari kambing
hitam dalam menyelesaikan masalah, terutama problematika bangsa yang rentan
meluas ke berbagai persoalan baru. Karenanya, dibutuhkan kehati-hatian yang
lebih untuk menghindari sikap argumentum
ad hominem dalam mewariskan suatu kebiasaan kepada generasi penerus.
SIMPULAN
Perubahan
kondisi sosial yang dinamis dan arus globalisasi yang tinggi menyebabkan budaya
asing mudah terserap diantara budaya-budaya lokal, akibatnya, keberadaan budaya
lokal pelan namun pasti akan tergeser dengan masuknya budaya masyarakat global.
Kesadaran seringkali muncul saat suatu masalah sudah terjadi, namun hal yang
mengkhawatirkan adalah penyelesaian masalah budaya yang memunculkan banyak isu
tersebut terancam tidak terselesaian. Salah satu sebabnya adalah akibat dari
budaya masyarakat untuk mencari kambing hitam jauh lebih besar daripada
tindakan untuk menyelesaikan masalah. Persoalan akan lebih kompleks dan
berujung pada kebuntuan dalam penyelesaiannya jika dimulai dengan mencai-cari
kambing hitam. Budaya mencari kambing hitam secara tidak langsung terselip di
dalam pola didikan yang keliru terhadap anak-anak di Indonesia. Upaya yang
harus dilakukan adalah memperhatikan hal-hal kecil dalam pola didikan kepada
generasi baru yang akan datang, sehingga pewarisan nilai-budaya bisa sesuai
dengan arah yang diharapkan. Sudah saatnya mengubah kebiasaan harus ada yang bersalah
disetiap kejadian. Saatnya mengubah pertanyaan siapa penyebabnya menjadi
bagaimana mengatasinya ?. Adalah sebuah keberanian untuk melihat kedalam diri
dan bertanya bagaimana ini bisa terjadi, apa yang terlewat, apa yang harus
diperbaiki dari diri ini?.
Daftar Rujukan
Adhim, M. F. 1996. Salahnya Kodok,
Bahagia Mendidik Anak Bagi Ummahat. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Carnegie, Dale. 1996. Bagaimana
Mencari Teman dan Mempengaruhi Orang Lain. Jakarta: Binarupa Aksara.
Djuroto, T. dan Bambang Suprijadi. 2005. Menulis Artikel & Karya Ilmiah. Yogyakarta: Rosda
Gatra S. “Presiden: Jangan Hanya Salahkan dan Ganggu Pemerintah”. Dalam Kompas, 18 Desember 2013. Jakarta.
Susanto, M. W. 2011. “Budaya Kambing Hitam”. Diakses
dari http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/blog/42-budaya-dan-kita/148-budaya-kambing-hitam#sthash.lXcjBe6L.dpuf
pada tanggal 27 Desember 2013.
No comments:
Post a Comment