December 28, 2013

Akibat Budaya Berburu Kambing Hitam(Artikel)



Akibat Budaya Berburu Kambing Hitam
Ahmad Abdullah
Program Studi Pendidikan Kimia, Program S1
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: amatipa3@yahoo.com


Abstrak
Melihat bagaimana kondisi masyarakat saat ini, kebudayaan turut terancam kelestariannya. Semakin pesatnya perkembangan informasi dan komunikasi akan menekan kebudayaan Indonesia jika tidak ditanggapi dengan benar. Permasalahan budaya yang muncul sebagian besar menunjukkan bahwa budaya Indonesia mengalami pengikisan di dalam negeri sendiri, mengingat globalisasi tidak bisa dibendung, maka faktor-faktor dari dalam yang harus berperan menyelesaikan masalah yang muncul. Tetapi hal tersebut menjadi lebih sulit, mengetahui bahwa tipe penyelesaian masalah di Indonesia yang memiliki ciri khas tersendiri, yaitu masyarakat yang memiliki kegemaran menyalahkan orang lain. Sikap menjadikan orang lain sebagai ‘kambing hitam’ (istilah untuk menyatakan tersangka) tampak sudah menjadi budaya sebagian besar masyarakat Indonesia yang bisa ditemukan dari berbagai kelas sosial,yaitu kelas tinggi-kelas rendah, kaya-miskin, sampai pemerintah-rakyat. Tanpa disadari, sebenarnya, budaya mencari ‘kambing hitam’ tersebut merupakan ancaman yang lebih berbahaya dari keberadaan globalisasi. Perhatian terhadap hal-hal kecil dalam kebiasaan sehari-hari yang berpotensi mencetak pemburu ‘kambing hitam’ baru dan memperbaikinya, adalah cara bijak untuk menghilangkan budaya tersebut secara perlahan namun pasti.
Kata kunci: eksistensi budaya, kambing hitam

Abstract
Seeing how about the society now, existence of our culture now is in danger situation. Increasing in development the information and comunication will push the Indonesian’s culture down when it is responded with the wrong way. The culture’s problems which appear to the society mostly shows that Indonesian’s culture now are rubbed down inside the country it self, remind that globalization is unstopable, so the internal factors should give some contributions to solve the appeared problem. But, it seems like more difficult, knowing that Indonesian problem solving type has it special characteristic that is almost like to blaming for other people at first step. The attitude about blaming for other people as ‘the black goat’( a term about victim of blaming/blamed people) seem has become a culture of most of Indonesian society which can be found in many social grades, that is high grade or low grade; rich people or poor people; until the government or the citizen. We are not realized, actually, culture about looking for ‘the black goat’ is more dangerous threat than the existence of globalization. Attention to the little things in our habituality that potentially produce the new hunters of ‘black goat’ than repair the habit, that is a wise way to make the bad culture is disappeared slowly but sure.

PENDAHULUAN
Perilaku masyarakat Indonesia secara umum mengalami banyak perubahan dalam konteks sosial-budaya, berbangsa-bernegara, serta ekonomi-politik. Sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dengan sangat pesat, teknologi pun diciptakan semakin canggih dan mutakhir untuk mempermudah segala bentuk aktivitas manusia. Beberapa abad lamanya tanah Indonesia berbaur dengan banyak peradaban yang  muncul sebagai wujud nyata terhadap implementasi sifat dasar manusia yang terus mengejar berbagai kemajuan. Bentuk upaya yang dilakukan untuk berburu kesempurnaan ini telah dilakukan oleh generasi-generasi terdahulu hingga sekarang, generasi tanpa identitas. Namun, sampai sekarang belum tampak hasil nyata setelah setengah abad lebih Indonesia memproklamasikan jalan menuju perubahan dan kesejahteraan. Perbaikan telah direncanakan secara matang dengan belajar dari sejarah yang tercipta oleh generasi pendahulu, walaupun begitu, tetaplah Indonesia berada dalam keramaian problematika bangsa, saat sebuah masalah belum padam  pun memungkinkan untuk berkobarnya hal baru yang menjadi masalah atau dipermasalahkan. Kesenjangan budaya dari generasi yang berbeda sudah semakin fatal, warisan arif bangsa Indonesia secara perlahan punah ditengah sumber daya manusia yang semakin ditingkatkan. Apakah ini yang disebut ‘mati di lumbung padi?’, entah mengapa kualitas sumber daya manusia yang kian membaik justru tidak memberikan jawaban terhadap ancaman kepunahan ciri khas ke-Indoesiaan kita, budaya dan kearifan lokal masyarakat nusantara sudah banyak yang digantikan dengan global culture, budaya masyarakat dunia. Kemudian sering muncul sebuah pertanyaan, ‘siapakah yang bertanggung jawab atas ancaman kepunahan budaya kita?’, ditujukan kepada semua orang dan dipertanyakan pula oleh semua orang. Sehingga kita dapati semua orang bertanya hal yang sama,  mungkin kita sedang mempertanyakan hal yang serupa. Demikianlah keadaan kita yang berada di satu sisi bersama, sudut pandang searah, yaitu pihak yang sama-sama menanyakan tentang budaya dan ancamannya.

PEMBAHASAN
Kebudayaan adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan semua kemampuan kebiasaan lain yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat (Sir Edward Tylor). Kebudayaan nasional adalah kebudayaan kita bersama yakni kebudayaan yang mempunyai makna bagi kita bangsa Indonesia. Sudah sewajarnya kita wajib untuk menjaga dan melestarikannya. Ketika memasuki ranah globalisasi, masuknya budaya asing ke suatu negara sebenarnya merupakan hal yang wajar, asalkan budaya tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa. Namun pada kenyataannya budaya asing lebih mendominasi sehingga budaya lokal perlahan dilupakan oleh penganutnya sendiri. Sebagai identitas bangsa, budaya lokal harus terus dijaga keaslian maupun kepemilikannya agar tidak dapat diakui oleh negara lain. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa budaya asing pun boleh masuk asalkan sesuai dengan kepribadian negara karena suatu negara tidak terlepas dari kebutuhan terhadap perbaikan dan kemajuan, salah satunya bisa didapat dari negara lain. Berkenaan dengan eksistensi kebudayaan lokal sebagai warisan bangsa Indonesia, terdapat beberapa hal yang sempat menjadi sorotan banyak pihak, atau lebih tepatnya masyarakat Indonesia, yakni ketika kita baru tersadar bahwa banyak budaya milik ‘orang Indonesia’ sudah terjamin eksistensinya bahkan dikenalkan kepada dunia, ‘loh?, kok yang seperti ini dipermasalahkan?’, mungkin demikianlah pertanyaan yang timbul, tapi bagaimana jika bukan bangsa Indonesia sendiri yang menjamin eksistensinya dan mengenalkan budaya kepada masyarakat global, melainkan dilakukan oleh negara lain?. Klaim terhadap budaya bangsa Indonesia telah terjadi, kemudian seperti inilah pertanyaan yang terucap, ‘Kenapa bisa terjadi?, di mana peran pemerintah terhadap hal ini?, siapa yang salah?’, dan sebagainya. Secara sadar atau tidak, sebenarnya kita sering mengulang tipe pertanyaan yang sama maknanya dalam tiap permasalahan yang dihadapi. Sudah menjadi kebiasaan atau secara tersirat itu adalah budaya masyarakat Indonesia yang langgeng hingga saat ini. Kelas sosial masyarakat yang hobi berburu kambing hitam dalam menghadapi problematika berasal dari berbagai kelas sosial, mulai dari yang rendah sampai kelas tinggi, sehingga tidak mengherankan ketika rakyat dan pemerinah sulit untuk bekerja sama dalam mengatasi persoalan bangsa, terlebih lagi terhadap nasib budaya bangsa yang tertekan zaman. Budaya atau kebiasaan untuk mencari objek sebagai tertuduh sebenarnya lebih berkaitan dengan pola sistem politik yang dilakukan oleh politikus maupun masyarakat luas. Kemampuan politik jenis ini sudah lama membudaya di Indonesia, bahkan menjadi tren tersendiri bagi masyarakat kita, banyak orang berkompetisi untuk menemukan kambing hitam tetapi sedikit sekali dari mereka yang mau bertindak langsung untuk memperbaiki keadaan. Membahas kambing hitam sebenarnya lebih berkaitan dengan kondisi politik bangsa ini, tetapi secara langsung atau tidak langsung budaya model ini tidak hanya bercokol dalam dunia politik semata, tetapi kini banyak bermunculan di dalam segala sendi kehidupan masyarakat berbangsa dan berbudaya. Hal seperti ini tidak bisa dipandang hanya sebagai aksesoris politik, tetapi ketika sudah memasuki ranah masyarakat, tinjauannya menjadi lebih luas dan memiliki pengaruh langsung terhadap kondisi masyarakat sosial yang berbudaya. Sebagai akibatnya, kebudayaan terancam tidak dilestarikan sebab masyarakat yang mengemban kemampuan untuk melesarikannya turut menjadi pemburu kambing hitam. Dalam kajiannya, kita mengenal adanya budaya politik suatu pemerintahan, masyarakat maupun negara dalam lingkup  yang luas. Budaya politik tersebut dapat dijumpai pada masyarakat berskala besar maupun kecil, masyarakat modern atau tradisional. Namun biasanya lebih tampak pada masyarakat modern karena masyarakat modern sulit menghindar dari pengaruh politik dan proses politik.
Menurut sikap yang ditunjukkan, budaya politik bisa digolongkan sebagai berikut:
1.   Budaya Militan, yaitu budaya politik yang tidak memandang perbedaan sebagai suatu usaha memecahkan masalah, tetapi melihatnya sebagai usaha jahat dan menantang. Jika terjadi permasalahan selalu mencari kambing hitam, bukan penyebab terjadinya permasalahan.
2.  Budaya Toleran, budaya politik yang lebih menekankan pada ide atau pemecahan masalah. Tipe ini selalu membuka pintu untuk kerja sama, bukan curiga terhadap seseorang.
Berdasarkan paparan di atas, tampak bahwa masyarakat Indonesia sebagian besar termasuk golongan penganut budaya militan, dengan ciri khasnya yang senang melimpahkan beban kepada orang lain hingga menjadikan orang lain sebagai objek tersalah atau kambing hitam. Kembali kepada nasib kebudayaan kita, banyak hal dan faktor-faktor yang menyebabkan terancamnya eksistensi budaya bangsa sebagai ciri khas dan prestise nasional. Jika dilihat dari dalam, globalisasi adalah ancaman terbesar terhadap budaya bangsa selain kepentingan oknum-oknum luar yang bertujuan mengambil hak terhadap budaya bangsa. Namun, ditinjau dari luar, kondisi masyarakat kita sendiri yang sebenarnya memungkinkan untuk terjadinya kecolongan dalam menjaga eksistensi budaya tersebut, ditambah dengan penyelesaian masalah yang tidak harmoni antara pihak penguasa dengan masyarakat menjadikan masalah tersebut berlarut-larut tanpa tindakan yang jelas untuk mengatasinya.
Budaya masyarakat untuk menjadikan orang lain sebagai kambing hitam ini berkembang lebih pesat dan menonjol di Inonesia dibandingkan di negara-negara lain, terkhusus negara-negara maju. Lihat saja jepang, salah satu negara bertaring di asia tersebut memiliki perbedaan yang kalah jauh dalam industri kambing hitam dibandingkan negara kita, Indonesia. Apakah ini terjadi akibat setumpuk masalah yang terjadi di Indonesia sehingga orang-orang tidak akan ‘ambil pusing’ untuk mengulurkan tangan bersama tetapi mengikuti keinginan pribadinya untuk mencari kambing hitam dari masalah tersebut. Jelas masalah yang terlalu berat dan bertubi-tubi sebenarnya bukanlah alasan untuk segera menjadikan orang lain sebagai tersangka atas kegagalan atau musibah yang terjadi, melainkan hal ini hanyalah pelarian untuk menghindar dari tanggung jawab, maka pantaslah kita melihat bahwa nyali untuk menerima kegagalan amatlah rendah di kalangan masyarakat kita. Kebudayaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama ketika posisinya terancam malah ditumpuk dengan berbagai dugaan penyangkaan orang lain sebagai pelaku yang bersalah,  tanpa perlu diduga maka akibat yang dikhawatirkan benar-benar terjadi saat ini. Bukankah hal ini konyol jika melihat kebudayaan bangsa terancam akibat salah satu budaya yang lestari sampai saat ini, sehingga bangsa ini dihadapkan kepada dua pilihan, yaitu mempertahankan satu budaya agar tetap exist atau membiarkan budaya-budaya lain tertelan globalisasi akibat terlalu sibuk menikmati satu budaya, yaitu kebiasaan mencari kambng hitam.
Bagaimana budaya kambing hitam ini mampu bertahan tanpa banyak berubah dalam kurun waktu yang lama?. Sebaiknya kita meihat beberapahal kecil yang menyebabkan tertanamnya naluri untuk mengkambinghitamkan orang lain. Kebiasaan ini bisa terjadi akibat penanaman secara langsung maupun tidak langsung oleh satu generasi kepada generasi baru yang muncul. Pewarisan langsung dapat digambarkan ketika generasi baru tersebut melihat generasi pendahulunya memiliki kesenangan mencari tersangka, atau mungkin, generasi yang baru tersebut pernah mengalami langsung kondisi saat menjadi kambing hitam. Sebagai contoh dalam ruang lingkup yang lebih kecil, misalnya, kegiatan orientasi bagi mahasiswa yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat merupakan contoh jelas bagaimana ladang beternak kambing hitam sangat hijau dan tumbuh subur di lingkungan perguruan tinggi yang notabene mampu menjadi tolak ukur bagi lembaga pendidikan yang lebih rendah. Di dalam pelaksanaan orientasi tersebut sudah sangat lumrah apabila terdapat ‘gojlokan’ atau lebih tepatnya ‘uji mental’ yang dilakukan oleh para senior kepada calon mahasiswa, bahwa calon mahasiswa dituntut untuk memenuhi berbagai persyaratan dan aturan selama orientasi berlangsung. Jika terdapat suatu kesalahan yang dilakukan calon mahasiswa, dengan segera calom mahasiswa tersebut menjadi tersangka, sedangkan sering kali ditemukan kekeliruan yang dilakukan oleh pihak senior justru dibebankan kepada calon mahasiswa, tentunya disertai setumpuk argumen yang menurut para senior adalah benar. Dengan terjadinya hal tersebut, sebenarnya sudah melatih kebiasaan para junior untuk menjadikan orang lain sebagai tersangka, maka tak heran ketika mereka (junior) telah menjadi senior dan berganti posisi sebagai penguji mental, hal seperti itu akan terulangi kembali. Sebagai argumen mereka, dikatakan bahwa mereka pun dahulunya diperlakukan seperti itu. Jika hal ini terus-menerus berlangsung tanpa ada salah satu generasi yang memutus kebudayaan tersebut, tentu budaya kambing hitam akan tetap ada hingga generasi mendatang.
Menjadi pengoreksi atas diri sendiri memang tidak mudah, tetapi jika tidak dibiasakan, orang lain akan lebih renponsif dan protektif terhadap koreksi yang kita berikan, apalagi koreksi tersebut berupa tuduhan, tidak ada seorang pun senang mendapat kritik yang mengorbankan harga dirinya. Seseorang yang diyakinkan untuk menentang kehendaknya sendiri akan tetap memegang pendapatnya sendiri (Carnegie, 1996: 182). Untuk meunjukkan bagaimana menyalahkan orang lain tidak akan berujung pada penyelesaian masalah, ada baiknya kita mengutip perkataan Woodrow Wilson seperti ini, “Kalau Anda datang kepada saya dengan tangan terkepal, saya pikir saya bisa berjanji kepada Anda bahwa kepalan saya akan dua kali lebih cepat dari kepalan Anda; tapi jika Anda datang kepada saya dan berkata, ‘Mari kita duduk dan menyelesaikannya bersama, kalau kita saling berbeda pendapat, kita coba mengerti mengapa hal tersebut membuat kita berbeda, apa sebenarnya masalahnya,’ kita akhirnya akan menemuan kalau kita sebenarnya tidak terlalu jauh terpisah, bahwa dimana hal kita berbeda hanyalah sedikit, padahal titik-titik dimana kita setuju malah lebih banyak, dan kalau saja kita mempunyai kesabaran dan berterus terang, serta hasrat untuk bersama, kita akan mampu menyelesaikannya bersama.”(Carnegie, 1996: 220). Semua orang akan me­nen­tang ajakan orang lain untuk menyalahkan diri sendiri, semakin keras tekanan atau tuduhan kita terhadap seseorang, maka  akan semakin kuat orang tersebut menentang kita.
Sekarang tampak bagaimana budaya mencari kambing hitam adalah masalah besar bagi kita, namun masih terdapat hal-hal kecil dari kebiasaan masyarakat kita yang membentuk budaya kambing hitam ini, salah satunya dalam pendidikan oleh orang tua di lingkungan keluarga. Sebelumnya, kita lihat bagaimana orang-orang tua di jepang mendidik anak mereka, dalam salah satu kasus, ketika anak-anak mereka menangis, mereka akan mengatakan, “buat apa menangis?, kena batu saja kok menangis?”, setelah itu mereka akan menanamkan nilai-nilai keksatriaan, nilai-nilai sportivitas yang tinggi ( Adhim, 1996: 106). Berbeda jauh dengan penanaman ideologi di Indonesia, sebagai contoh apabila dalam situasi yang sama seperti yang dialami orang tua di jepang, dalam menghadapi anak-anak yang menangis, banyak pengasuh anak malah mencontohkan budaya kambing hitam dengan menyalahkan Si batu yang mengenai anak-anak mereka. Jika anak-anak mereka terjatuh kemudian menangis orang tua di Indonesia menyikapinya dengan menyalahkan kodok. “Ouw, salahnya kodok. Kodoknya nakal, ya? Anak Ibu nggak salah, dijatuhkan. Huh, nakal kamu kodok.” (Adhim, 1996: 109). Hal yang cukup menggelitik dari kebiasaan orang tua kita mengasuh anak-anak, sejak dini sudah mengajarkan untuk mencari pembenaran dengan menyalahkan objek lain, bahkan berpikir tidak rasional dengan menyalahkan binatang yang tidak terdapat sangkut-paut sama sekali dengan peristiwa yang terjadi. Walaupun dengan maksud untuk menghindarkan dari menyalahkan objek berupa manusia, namun secara tidak langsung akan mendidik anak untuk terbiasa mencari objek untuk disalahkan. Sikap seperti ini disebut dengan istilah argumentum ad hominem, yakni perilaku yang suka menyalahkan sesuatu karena ia tidak mampu melakukan, perilaku suka mencari-cari kesalahan di luar dirinya agar ia memiliki cukup alasan untuk memaafkan dirinya sendiri (Adhim, 1996: 111)  Kebiasan-kebiasaan kecil tersebut sebenarnya sangat efektif dalam proses penanaman budaya bagi seseorang, apalagi objek yang dididik adalah seorang anak yang sangat mudah menyerap nilai-nilai di lingkungannya untuk kemudian bertahan dalam kepribadian anak tersebut. Kebiasaan menemukan korban tersalah ternyata secara tidak langsung pernah terjadi dalam kehidupan kita melalui hal-hal keci sebagaimana paparan sebelumnya, akan lebih baik apabila kita menyadari kondisi yang terjadi saat ini dan memiliki tekad untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan kecil yang potensial untuk mencetak pemburu kambing hitam berikutnya.
Faktor penyebab dari semua hal yang terjadi sebenarnya dapat kita golongkan menjadi dua yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor ekternal tentunya adalah hal-hal diluar diri dan kendali kita, seperti kebijakan pemerintah, kebijakan perusahaan, instruksi atasan, kondisi mental lingkungan, dll. Faktor internal adalah semua hal yang bersumber dari diri kita sendiri dan ada dalam kendali kita. Untuk menekankan bagaimana kita bisa berpikir lebih rasional, sebaiknya kita perhatikan fakta-fakta berikut:
1.      Semua orang memiliki kebutuhan terhadap penghargaan seperti kebutuhan mereka untuk makan dan minum. Kebutuhan tersebut sama besar dengan kebencian mereka untuk dijadikan kambing hitam;
2.      Mengakui kesalahan jauh lebih efektif untuk menyelesaikan suatu masalah daripada melemparkan kesalahan kepada orang lain;
3.      Memulai penyelesaian dengan mendebat orang lain sebagai tersangka hanya akan memperpanjang waktu untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Sedangkan bagaimana yang terjadi saat ini?, seperti ilustrasi ini, “Ekonomi runyam yang jadi kambing hitam presiden, gagal bercinta yang jadi kambing hitam orang tua yang kurang ganteng dan kaya, nilai jeblok guru yang jadi sasaran, motor macet tukang bengkel dikira ngibul, ditipu dukun yg disalahin Tuhan. Jarang dari kita mau menjadikan diri kita sendiri kambing hitam untuk setiap kesialan yang menimpa kita.” Sekilas seperti inilah hal yang sering kita temukan di dalam masyarakat, rakyat menyalahkan pemerintah, kemudian pemerintah pun berdalih dan berbalik menuduh rakyat. Menyikapi sikap masyarakat yang sering menyalahkan pemerintah, Presiden R.I., Susilo Bambang Yudhoyono, berkata, “Sekecil apa pun karya dan sumbangan yang dilakukan, pasti ada gunanya bagi Indonesia. Janganlah kita mudah melecehkan mereka yang ingin berbuat untuk negerinya.”(Kompas, 18 Desember 2013).
Jelas bahwa tidak ada gunanya budaya mencari kambing hitam dalam menyelesaikan masalah, terutama problematika bangsa yang rentan meluas ke berbagai persoalan baru. Karenanya, dibutuhkan kehati-hatian yang lebih untuk menghindari sikap argumentum ad hominem dalam mewariskan suatu kebiasaan kepada generasi penerus.

SIMPULAN

Perubahan kondisi sosial yang dinamis dan arus globalisasi yang tinggi menyebabkan budaya asing mudah terserap diantara budaya-budaya lokal, akibatnya, keberadaan budaya lokal pelan namun pasti akan tergeser dengan masuknya budaya masyarakat global. Kesadaran seringkali muncul saat suatu masalah sudah terjadi, namun hal yang mengkhawatirkan adalah penyelesaian masalah budaya yang memunculkan banyak isu tersebut terancam tidak terselesaian. Salah satu sebabnya adalah akibat dari budaya masyarakat untuk mencari kambing hitam jauh lebih besar daripada tindakan untuk menyelesaikan masalah. Persoalan akan lebih kompleks dan berujung pada kebuntuan dalam penyelesaiannya jika dimulai dengan mencai-cari kambing hitam. Budaya mencari kambing hitam secara tidak langsung terselip di dalam pola didikan yang keliru terhadap anak-anak di Indonesia. Upaya yang harus dilakukan adalah memperhatikan hal-hal kecil dalam pola didikan kepada generasi baru yang akan datang, sehingga pewarisan nilai-budaya bisa sesuai dengan arah yang diharapkan. Sudah saatnya mengubah kebiasaan harus ada yang bersalah disetiap kejadian. Saatnya mengubah pertanyaan siapa penyebabnya menjadi bagaimana mengatasinya ?. Adalah sebuah keberanian untuk melihat kedalam diri dan bertanya bagaimana ini bisa terjadi, apa yang terlewat, apa yang harus diperbaiki dari diri ini?.


Daftar Rujukan
Adhim, M. F. 1996. Salahnya Kodok, Bahagia Mendidik Anak Bagi Ummahat. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Carnegie, Dale. 1996. Bagaimana Mencari Teman dan Mempengaruhi Orang Lain. Jakarta: Binarupa Aksara.
Djuroto, T. dan Bambang Suprijadi. 2005. Menulis Artikel & Karya Ilmiah. Yogyakarta: Rosda
Gatra S. “Presiden: Jangan Hanya Salahkan dan Ganggu Pemerintah”. Dalam Kompas, 18 Desember 2013. Jakarta.
Susanto, M. W. 2011. “Budaya Kambing Hitam”. Diakses dari http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/blog/42-budaya-dan-kita/148-budaya-kambing-hitam#sthash.lXcjBe6L.dpuf pada tanggal 27 Desember 2013.

No comments:

Post a Comment

Cara Membuat Effect Hollogram dengan Photoshop

Om Swastiastu Kawand-kawand Youtuber... Oke kawand-kawand pada hari ini saya akan memberikan tutorial efek photoshop kali ini, mimin ...