December 28, 2013

GLOBALISASI, PENGARUH EKSISTENSI TRUNA-TRUNI BALI DALAM PELESTARIAN BUDAYA BALI(Artikel Bali)



GLOBALISASI, PENGARUH EKSISTENSI TRUNA-TRUNI BALI DALAM PELESTARIAN BUDAYA BALI
Luh Dian Pradnyatika
Program Studi Pendidikan KIMIA, Program S1
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: Ikaaza55@yahoo.co.id


Abstrak
Pemikiran ini bertujuan untuk mengetahui globalisasi, pengaruh eksistensi truna-truni bali dalaam pelestarian budaya bali. Adapun isu-isu pokok yang terjadi di kehidupan remaja bali akibat adanya arus globalisasi yaitu anak putri yang dulunya senang ketika diminta mebanten atau membantu ibunya metanding, kini justru sibuk mengurus dirinya dan asyik meniru penampilan-penampilan remaja putri di luar Bali Sedangkan remaja Putra yang seharusnya mampu membantu sang ayah ngelawar kini malah lebih senang membeli makanan di restaurant fast food, dan enggan belajar membuat lawar, masakan tradisonal khas Bali. Alternatif pemecahan masalah tersebut dapat dilakukan dengan Organisasi kepemudaan di desa atau di banjar ini secara tidak langsung dibentuk hingga memiliki karakter yang bernafaskan budaya Bali dan Agama Hindu. Setiap kegiatan yang dilakukan dalam organisasi kepemudaan ini, menjadikan aspek-aspek kebudayaan dan agama sebagai pedoman mereka. Melalui sekeha teruna-teruni ini juga remaja Bali bisa menumbuhkan rasa menyama braya yang lebih kental di kalangan mereka. Melalui kegiatan itu pula, tindakan-tindakan negatif seperti tawuran, pergaulan bebas, dan tindak kriminal lainnya dapat terhindarkan secara efektif.


Abstract

Thought aims to determine globalization , the effect of the existence of truna - truni in carrying bali bali cultural preservation . The key issues that occur in the lives of adolescents bali due to globalization is the daughter of former child happy when prompted mebanten or helping her mother metanding , are now busy taking care of himself and he's imitating appearances outside Bali teenage daughter while a teenager son who should able to help his father ngelawar now even more excited to buy food at a fast food restaurant , and reluctant to learn to make lawar , traditional Balinese cuisine . Alternative solutions can be carried out by youth organizations in the village or on the banjo indirectly formed to have a character who breathe Balinese culture and Hinduism . Any activities undertaken within youth organizations , making the aspects of culture and religion as their guidelines . Through youth-teruni sekeha also can foster a sense of Bali teen Braya behave more viscous among them . Through it all, the negative actions such as fighting , promiscuity , and other criminal activity can be effectively avoided .

Kata-kata kunci:  sekeha teruna-teruni



PENDAHULUAN
Eksistensi remaja Bali dalam kaitanya kegiatan keagamaan khususnya Hindu dewasa ini patut dipertanyakan. Di zaman yang serba global ini, budaya Bali yang tercermin dalam berbagai kegiatan adatnya dalam pelaksanaan agama mulai terkikis seiring arus globalisasi yang bisa dikatakan sudah “menghempas” pola pikir dan kehidupan masyarakat Bali terutama remaja atau yowana Bali. Kenapa lebih ke remaja Bali? Karena, remaja Bali lebih terbuka dan bisa menerima pemikiran dan hal yang baru, termasuk globalisasi dalam berbagai sektor.
Di zaman yang futuristik ini, para yowana Bali dapat cepat “bersahabat” dengan  teknologi yang notabene adalah media penyebaran arus globalisasi. Hal ini dapat kita lihat dari perilaku para remaja yang begitu “akrab” dengan teknologi handphone, laptop, maupun  internet. Para yowana Bali ini sudah terbiasa untuk selalu terhubung dengan internet dan dunia maya, bahkan sedikit-sedikit harus update status di berbagai jejaring sosial. Itulah bukti bahwa arus globalisasi benar-benar telah “menghempas” pola pikir dan kehidupan remaja Bali.
Walaupun modernisasi memiliki sejuta manfaat bagi kehidupan kita, tetapi kerugian yang berdampak pada kehidupan pun tidak sedikit. Jika diibaratkan, arus globalisasi bagaikan pisau bermata dua. Salah-salah, bisa saja melukai diri kita sendiri terutama jika dikaitkan dengan remaja. Pola pikir dan fisik remaja, masih dalam tahap berkembang, labil, mudah penasaran dan mudah didominasi oleh satu sikap. Itu membuat remaja lebih mudah terpengaruh oleh berbagai hal.
Kini, dampak dari globalisasi pun semakin terlihat pada kehidupan para teruna-teruni ini. Anak putri yang dulunya senang ketika diminta mebanten atau membantu ibunya metanding, kini justru sibuk mengurus dirinya dan asyik meniru penampilan-penampilan remaja putri di luar Bali. Padahal, penampilan mereka sesungguhnya sangat jauh dari kebudayaan Bali. Celana yang pendek, baju ketat, atau rambut yang di bentuk semau mereka. Sama sekali tidak sesuai dengan kebudayaan Bali. Sedangkan remaja Putra yang seharusnya mampu membantu sang ayah ngelawar kini malah lebih senang membeli makanan di restaurant fast food, dan enggan belajar membuat lawar, masakan tradisonal khas Bali. Bukan hanya itu saja, kini para teruna-teruni ini lebih mengeksiskan budaya luar yang mereka lihat dari internet ketimbang budaya leluhurnya sendiri.


 PEMBAHASAN
            Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan ( patra ). Konsep desa, kala, dan patramenyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri (Mantra 1996).
Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu ( athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phaladisebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
Kebudayaan Bali juga memiliki identitas yang jelas yaitu budaya ekspresif yang termanifestasi secara konfiguratif yang emncakup nilai-nilai dasar yang dominan sepert: nilai religius, nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmoni, dan nilai keseimbangan (Geriya 2000: 129). Kelima nilai dasar tersebut ditengarai mampu bertahan dan berlanjut menghadapi berbagai tantangan.
Pelaksanaan kegiatan agama Hindu yang merupakan asal mula budaya di Bali seakan hanya menjadi “selimut” bagi teruna-teruni. Pakaian adat yang seharusnya menjadi sarana persembahyangan yang sarat akan religius dan tradisional kini menjadi ajang  fashion. Kini, bagi sebagian remaja putri, pakaian kebaya pun digunakan untuk menonjolkan keseksian, bukan untuk menutupi “bagian” yang akan memancing perhatian lawan jenis. Pergaulan yang tidak berlandaskan satwika pun mulai merambah pada pergaulan remaja Bali. Seks bebas, penggunaan narkoba, serta berbagai tindak asusila lainnya pun sudah banyak “mencemari” pikiran remaja yang seharusnya berpedoman pada ajaran Hindu sebagai pedoman kehidupannya.  Diabaikannya manacika, wacika, dan kayika, para truna truni pun mulai melangkah ke jalan kehancuran sebagai dampak globalisasi yang semakin merajalela
Memang pikiran manusia apalagi para remaja tak suka diam, selalu gelisah berbuat, selalu mempunyai keinginan maju ke depan, seperti disebutkan oleh penulis Sarasamusccaya sebagai berikut :
Duragam bahudhagami prarthanasamsayatmakam, manah suniyatam yasya sukhi pretya veha ca.
Nihan ta krama nikang manah, bhnanta lungha svabhawanya, akweh mangen-angenya dadi prarthana, dadi sangsaya,pinakawaknya, hana pwa wwang ikang wenang humeret manah, sira tika menggeh amanggih sukha, mangke ring paraloka waneh.
(Sarasamuscaya 81)
Terjemahan:
Keadaan pikiran itu demikianlah tidak berketentuan jalannya, banyak yang dicita-citakannya, terkadang penuh kesangsian, demikianlah kenyataannya; Jika ada orang dapat mengendalikan pikirannya pasti orang itu beroleh kebahagiaan, baik sekarang maupun di dunia yang lain.

Oleh karena itu diperlukan banyak usaha untuk menumbuhkan kembali rasa kepedulian para remaja Bali akan berbagai kegiatan keagamaan dalam upaya melestarikan budaya yang luhur. Ajeg Bali, seperti majejahitan dan sekaha teruna-teruni menjadi salah satu cara yang efektif, walaupun diperlukan usaha untuk menyadarkan para remaja akan fungsinya, baik untuk diri mereka maupun untuk masa depan Bali itu sendiri.
Ajeg Bali merupakan semua bentuk kegiatan yang bercita-cita menjaga identitas ke-Balian orang Bali yang dibentuk dengan cara mengartikulasikan Bali sebagai konsep kebudayaan yang dimaknai sebagai adat agama leluhur. Oleh karena itu, agar kebudayaan Bali tetap kokoh, perlu realisasi dari semua pihak. Salah satunya remaja Bali sebagai generasi penerus yang akan menerima warisan kebudayaan berkewajiban mempertahankan, menjaga serta mengembangkannya.
Sekeha teruna-teruni sebagai wadah para remaja untuk melestarikan budaya leluhur memang  sudah mulai berkurang peminatnya. Namun demikian, bukan berarti tidak ada jalan lagi untuk menghidupkan organisasi remaja itu. Kemauan yang keras dari remaja itu sendiri dan didukung oleh berbagai pihak; keluarga, masyarakat, dan pemerintah akan dapat menghidupkan kembali organisasi yang telah pudar itu. Organisasi kepemudaan di desa atau di banjar ini secara tidak langsung dibentuk hingga memiliki karakter yang bernafaskan budaya Bali dan Agama Hindu. Setiap kegiatan yang dilakukan dalam organisasi kepemudaan ini, menjadikan aspek-aspek kebudayaan dan agama sebagai pedoman mereka. Melalui sekeha teruna-teruni ini juga remaja Bali bisa menumbuhkan rasa menyama braya yang lebih kental di kalangan mereka. Melalui kegiatan itu pula, tindakan-tindakan negatif seperti tawuran, pergaulan bebas, dan tindak kriminal lainnya dapat terhindarkan secara efektif.
Diperlukan suatu langkah tepat yang digunakan sebagai pedoman  untuk  menuntun remaja dalam menyikapi arus globalisasi agar tidak tersesat dan terjerumus ke hal-hal yang dapat merusak diri mereka sendiri. Tapi apa pedoman yang benar? Jawabannya adalah sikap satwika atau perilaku yang baik dan sesuai dengan ajaran agama Hindu. Para remaja atau yowana Bali, terutama yang beragama Hindu sudah sejak kecil dikenalkan dan diajarkan untuk selalu bersikap bersikap yang baik sesuai ajaran agama Hindu. Nah, dengan adanya satwika yang sudah menjadi fondasi mereka sejak kecil, itu dapat dikembangkan sebagai pedoman yang berfungsi menuntun dan menjaga remaja atau yowana Bali dalam “hempasan” arus globalisasi.
Dengan adanya satwika sebagai pedoman dalam arus globalisasi, remaja atau yowana Bali, sudah terdoktrin untuk selalu bersikap baik dan menjaga diri mereka dari hal-hal negatif yang nantinya akan merusak diri mereka sendiri. Tentunya, diperlukan kesadaran yang kuat untuk taat dalam pedoman satwika tersebut. Sudah saatnya pula remaja Bali kembali diberikan wadah, dikumpulkan dan disatukan melalui organisasi kepemudaan. Semua ini perlu dilakukan sejak dini agar tercipta romantika antara arus globalisasi dan diri yowana Bali.
Selain satwika, dengan penumbuhkembangan budhi pekerti kepada para teruna-teruni yang baik oleh orang tua dan keluarganya di rumah, para guru di sekolah, dan tokoh-tokoh agama, maka para teruna-teruni ini akan menjadi manusia yang memiliki kepribadian yang mantap, tidak mudah terkena pengaruh lingkungan yang buruk, dan segan untuk melakukan tindak kriminal.
Dengan pembentukan iman dan karakter yang kuat, remaja Bali akan menjadi kokoh dan tahan terhadap berbagai gempuran arus globalisasi.

 SIMPULAN
            Berdasarkan hasil pembahasan, dapat ditarik suatu simpulan sebagai berikut. (1) globalisasi memberikan dampak yang besar bagi perkembangan para remaja bali(2) Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu.(3) Ajeg Bali merupakan semua bentuk kegiatan yang bercita-cita menjaga identitas ke-Balian orang Bali yang dibentuk dengan cara mengartikulasikan Bali sebagai konsep kebudayaan yang dimaknai sebagai adat agama leluhur.(4) Sekeha teruna-teruni sebagai wadah para remaja untuk melestarikan budaya leluhur memang  sudah mulai berkurang peminatnya. Namun demikian, bukan berarti tidak ada jalan lagi untuk menghidupkan organisasi remaja itu. Kemauan yang keras dari remaja itu sendiri dan didukung oleh berbagai pihak; keluarga, masyarakat, dan pemerintah akan dapat menghidupkan kembali organisasi yang telah pudar itu. Organisasi kepemudaan di desa atau di banjar ini secara tidak langsung dibentuk hingga memiliki karakter yang bernafaskan budaya Bali dan Agama Hindu.
Berdasarkan dari simpulan yang dikemukakan, dapat diajukan saran sebagai berikut;1) Diperlukan suatu langkah tepat yang digunakan sebagai pedoman  untuk  menuntun remaja dalam menyikapi arus globalisasi agar tidak tersesat dan terjerumus ke hal-hal yang dapat merusak diri mereka sendiri.

 DAFTAR RUJUKAN
Sura, I Gede. 1991. Pengendalian Diri dan Etika dalam Ajaran Agama Hindu. Jakarta : Proyek     Pembinaan Pendidikan Tinggi Agama Hindu dan Budha
Sudana, I Nyoman.2000. Membangun Sumber Daya Manusia dari Perspektif Hindu. Denpasar: Panitia Penyelenggara Utsawa Dharma Gita Nasional- ITelkom Tahun 2000
Titib, I Made dan Ni Ketut Saparianti. 2004. Keutamaan Manusia dan Pendidikan Budhi Pekerti.
Surabaya: Paramitha
Prama, Gede. 2010. Bali Shanti: Percikan-Percikan Renungan dari Kedalaman Keheningan . Surabaya: Paramitha
WS, Anna. 2008. Remaja Membangun Kepribadian. Jakarta Timur: Nobel Edumedia



No comments:

Post a Comment

Cara Membuat Effect Hollogram dengan Photoshop

Om Swastiastu Kawand-kawand Youtuber... Oke kawand-kawand pada hari ini saya akan memberikan tutorial efek photoshop kali ini, mimin ...