GLOBALISASI, PENGARUH EKSISTENSI
TRUNA-TRUNI BALI DALAM PELESTARIAN BUDAYA BALI
Luh Dian Pradnyatika
Program Studi Pendidikan KIMIA,
Program S1
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja,
Indonesia
e-mail: Ikaaza55@yahoo.co.id
Abstrak
Pemikiran ini bertujuan untuk mengetahui globalisasi,
pengaruh eksistensi truna-truni bali dalaam pelestarian budaya bali. Adapun
isu-isu pokok yang terjadi di kehidupan remaja bali akibat adanya arus
globalisasi yaitu anak putri yang
dulunya senang ketika diminta mebanten atau membantu ibunya metanding, kini
justru sibuk mengurus dirinya dan asyik meniru penampilan-penampilan remaja
putri di luar Bali Sedangkan remaja Putra yang seharusnya mampu membantu sang
ayah ngelawar kini malah lebih senang membeli makanan di restaurant fast food,
dan enggan belajar membuat lawar, masakan tradisonal khas Bali.
Alternatif pemecahan masalah tersebut dapat dilakukan dengan Organisasi kepemudaan di desa atau di banjar ini secara
tidak langsung dibentuk hingga memiliki karakter yang bernafaskan budaya Bali
dan Agama Hindu. Setiap kegiatan yang dilakukan dalam organisasi kepemudaan
ini, menjadikan aspek-aspek kebudayaan dan agama sebagai pedoman mereka.
Melalui sekeha teruna-teruni ini juga remaja Bali bisa menumbuhkan rasa menyama braya yang
lebih kental di kalangan mereka. Melalui kegiatan itu pula, tindakan-tindakan
negatif seperti tawuran, pergaulan bebas, dan tindak kriminal lainnya dapat
terhindarkan secara efektif.
Abstract
Thought
aims to determine globalization , the effect of the existence of truna - truni
in carrying bali bali cultural preservation . The key issues that occur in the
lives of adolescents bali due to globalization is the daughter of former child
happy when prompted mebanten or helping her mother metanding , are now busy
taking care of himself and he's imitating appearances outside Bali teenage
daughter while a teenager son who should able to help his father ngelawar now
even more excited to buy food at a fast food restaurant , and reluctant to
learn to make lawar , traditional Balinese cuisine . Alternative solutions can
be carried out by youth organizations in the village or on the banjo indirectly
formed to have a character who breathe Balinese culture and Hinduism . Any
activities undertaken within youth organizations , making the aspects of
culture and religion as their guidelines . Through youth-teruni sekeha also can
foster a sense of Bali teen Braya behave more viscous among them . Through it
all, the negative actions such as fighting , promiscuity , and other criminal
activity can be effectively avoided .
Kata-kata
kunci: sekeha
teruna-teruni
PENDAHULUAN
Eksistensi remaja Bali dalam kaitanya kegiatan keagamaan
khususnya Hindu dewasa ini patut dipertanyakan. Di zaman yang serba global ini,
budaya Bali yang tercermin dalam berbagai kegiatan adatnya dalam pelaksanaan
agama mulai terkikis seiring arus globalisasi yang bisa dikatakan sudah
“menghempas” pola pikir dan kehidupan masyarakat Bali terutama remaja atau
yowana Bali. Kenapa lebih ke remaja Bali? Karena, remaja Bali lebih terbuka
dan bisa menerima pemikiran dan hal yang baru, termasuk globalisasi dalam
berbagai sektor.
Di zaman yang futuristik ini, para yowana Bali
dapat cepat “bersahabat” dengan
teknologi yang notabene adalah media penyebaran arus globalisasi. Hal
ini dapat kita lihat dari perilaku para remaja yang begitu “akrab” dengan
teknologi handphone, laptop, maupun
internet. Para yowana Bali ini sudah terbiasa untuk selalu
terhubung dengan internet dan dunia maya, bahkan sedikit-sedikit harus update
status di berbagai jejaring sosial. Itulah bukti bahwa arus globalisasi
benar-benar telah “menghempas” pola pikir dan kehidupan remaja Bali.
Walaupun modernisasi memiliki sejuta manfaat bagi
kehidupan kita, tetapi kerugian yang berdampak pada kehidupan pun tidak
sedikit. Jika diibaratkan, arus globalisasi bagaikan pisau bermata dua.
Salah-salah, bisa saja melukai diri kita sendiri terutama jika dikaitkan dengan
remaja. Pola pikir dan fisik remaja, masih dalam tahap berkembang, labil, mudah
penasaran dan mudah didominasi oleh satu sikap. Itu membuat remaja lebih mudah
terpengaruh oleh berbagai hal.
Kini, dampak dari globalisasi pun semakin terlihat pada
kehidupan para teruna-teruni ini. Anak putri yang dulunya senang ketika diminta
mebanten atau membantu ibunya metanding, kini justru sibuk mengurus dirinya dan
asyik meniru penampilan-penampilan remaja putri di luar Bali. Padahal,
penampilan mereka sesungguhnya sangat jauh dari kebudayaan Bali. Celana yang
pendek, baju ketat, atau rambut yang di bentuk semau mereka. Sama sekali tidak
sesuai dengan kebudayaan Bali. Sedangkan remaja Putra yang seharusnya mampu
membantu sang ayah ngelawar kini malah lebih senang membeli makanan di
restaurant fast food, dan enggan belajar membuat lawar, masakan tradisonal khas
Bali. Bukan hanya itu saja, kini para teruna-teruni ini lebih mengeksiskan
budaya luar yang mereka lihat dari internet ketimbang budaya leluhurnya
sendiri.
PEMBAHASAN
Kebudayaan
Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran
agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang
sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan
kondisi riil di lapangan ( patra ). Konsep desa, kala, dan patramenyebabkan
kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi
pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan
interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina,
dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam
seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan
seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya
Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses
akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan
adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak
kehilangan jati diri (Mantra 1996).
Kebudayaan Bali
sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi
mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan
manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga
penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang
dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Selain nilai-nilai
keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni
persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu ( athita ), masa
kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan
suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan
manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan
perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam
ajaran hukum karma phaladisebutkan tentang sebab-akibat dari
suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian
pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi
yang bersangkutan.
Kebudayaan Bali juga memiliki identitas yang jelas
yaitu budaya ekspresif yang termanifestasi secara konfiguratif yang emncakup
nilai-nilai dasar yang dominan sepert: nilai religius, nilai estetika, nilai
solidaritas, nilai harmoni, dan nilai keseimbangan (Geriya 2000: 129). Kelima
nilai dasar tersebut ditengarai mampu bertahan dan berlanjut menghadapi
berbagai tantangan.
Pelaksanaan kegiatan agama Hindu yang merupakan asal mula budaya di Bali
seakan hanya menjadi “selimut” bagi teruna-teruni. Pakaian adat yang seharusnya
menjadi sarana persembahyangan yang sarat akan religius dan tradisional kini
menjadi ajang fashion. Kini, bagi
sebagian remaja putri, pakaian kebaya pun digunakan untuk menonjolkan
keseksian, bukan untuk menutupi “bagian” yang akan memancing perhatian lawan
jenis. Pergaulan yang tidak berlandaskan satwika
pun mulai merambah pada pergaulan remaja Bali. Seks bebas, penggunaan narkoba,
serta berbagai tindak asusila lainnya pun sudah banyak “mencemari” pikiran
remaja yang seharusnya berpedoman pada ajaran Hindu sebagai pedoman
kehidupannya. Diabaikannya manacika, wacika, dan kayika, para truna
truni pun mulai melangkah ke jalan kehancuran sebagai dampak globalisasi yang
semakin merajalela
Memang
pikiran manusia apalagi para remaja tak suka diam, selalu gelisah berbuat,
selalu mempunyai keinginan maju ke depan, seperti disebutkan oleh penulis
Sarasamusccaya sebagai berikut :
Duragam bahudhagami prarthanasamsayatmakam, manah suniyatam
yasya sukhi pretya veha ca.
Nihan ta krama nikang manah, bhnanta lungha svabhawanya,
akweh mangen-angenya dadi prarthana, dadi sangsaya,pinakawaknya, hana pwa wwang
ikang wenang humeret manah, sira tika menggeh amanggih sukha, mangke ring
paraloka waneh.
(Sarasamuscaya 81)
Terjemahan:
Keadaan pikiran itu demikianlah tidak berketentuan jalannya,
banyak yang dicita-citakannya, terkadang penuh kesangsian, demikianlah
kenyataannya; Jika ada orang dapat mengendalikan pikirannya pasti orang itu
beroleh kebahagiaan, baik sekarang maupun di dunia yang lain.
Oleh
karena itu diperlukan
banyak usaha untuk menumbuhkan kembali rasa kepedulian para remaja Bali akan
berbagai kegiatan keagamaan dalam upaya melestarikan budaya yang luhur. Ajeg
Bali, seperti majejahitan dan sekaha teruna-teruni menjadi salah satu cara yang
efektif, walaupun diperlukan usaha untuk menyadarkan para remaja akan fungsinya,
baik untuk diri mereka maupun untuk masa depan Bali itu sendiri.
Ajeg Bali merupakan semua bentuk kegiatan yang
bercita-cita menjaga identitas ke-Balian orang Bali yang dibentuk dengan cara
mengartikulasikan Bali sebagai konsep kebudayaan yang dimaknai sebagai adat
agama leluhur. Oleh karena itu, agar kebudayaan Bali tetap kokoh, perlu
realisasi dari semua pihak. Salah satunya remaja Bali sebagai generasi penerus
yang akan menerima warisan kebudayaan berkewajiban mempertahankan, menjaga
serta mengembangkannya.
Sekeha teruna-teruni sebagai wadah para remaja untuk melestarikan budaya
leluhur memang sudah mulai berkurang
peminatnya. Namun demikian, bukan berarti tidak ada jalan lagi untuk
menghidupkan organisasi remaja itu. Kemauan yang keras dari remaja itu sendiri
dan didukung oleh berbagai pihak; keluarga, masyarakat, dan pemerintah akan
dapat menghidupkan kembali organisasi yang telah pudar itu. Organisasi
kepemudaan di desa atau di banjar ini secara tidak langsung dibentuk hingga
memiliki karakter yang bernafaskan budaya Bali dan Agama Hindu. Setiap kegiatan
yang dilakukan dalam organisasi kepemudaan ini, menjadikan aspek-aspek
kebudayaan dan agama sebagai pedoman mereka. Melalui sekeha teruna-teruni
ini juga remaja Bali bisa
menumbuhkan rasa menyama braya yang lebih kental di kalangan mereka.
Melalui kegiatan itu pula, tindakan-tindakan negatif seperti tawuran, pergaulan
bebas, dan tindak kriminal lainnya dapat terhindarkan secara efektif.
Diperlukan suatu langkah tepat yang digunakan sebagai
pedoman untuk menuntun remaja dalam menyikapi arus
globalisasi agar tidak tersesat dan terjerumus ke hal-hal yang dapat merusak
diri mereka sendiri. Tapi apa pedoman yang benar? Jawabannya adalah sikap satwika atau perilaku yang baik dan
sesuai dengan ajaran agama Hindu. Para remaja atau yowana Bali, terutama yang beragama
Hindu sudah sejak kecil dikenalkan dan diajarkan untuk selalu bersikap bersikap
yang baik sesuai ajaran agama Hindu. Nah, dengan adanya satwika yang sudah
menjadi fondasi mereka sejak kecil, itu dapat dikembangkan sebagai pedoman yang
berfungsi menuntun dan menjaga remaja atau yowana Bali dalam “hempasan” arus
globalisasi.
Dengan adanya satwika sebagai pedoman dalam arus
globalisasi, remaja atau yowana Bali, sudah terdoktrin untuk selalu bersikap
baik dan menjaga diri mereka dari hal-hal negatif yang nantinya akan merusak
diri mereka sendiri. Tentunya, diperlukan kesadaran yang kuat untuk taat dalam
pedoman satwika tersebut. Sudah saatnya pula remaja Bali kembali diberikan
wadah, dikumpulkan dan disatukan melalui organisasi kepemudaan. Semua ini perlu
dilakukan sejak dini agar tercipta romantika antara arus globalisasi dan diri
yowana Bali.
Selain
satwika, dengan penumbuhkembangan budhi pekerti kepada para teruna-teruni yang
baik oleh orang tua dan keluarganya di rumah, para guru di sekolah, dan
tokoh-tokoh agama, maka para teruna-teruni ini akan menjadi manusia yang
memiliki kepribadian yang mantap, tidak mudah terkena pengaruh lingkungan yang
buruk, dan segan untuk melakukan tindak kriminal.
Dengan pembentukan iman dan karakter yang kuat, remaja
Bali akan menjadi kokoh dan tahan terhadap berbagai gempuran arus globalisasi.
SIMPULAN
Berdasarkan
hasil pembahasan, dapat ditarik suatu simpulan sebagai berikut. (1) globalisasi
memberikan dampak yang besar bagi perkembangan para remaja bali(2) Kebudayaan
Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran
agama Hindu.(3) Ajeg Bali merupakan semua bentuk
kegiatan yang bercita-cita menjaga identitas ke-Balian orang Bali yang dibentuk
dengan cara mengartikulasikan Bali sebagai konsep kebudayaan yang dimaknai
sebagai adat agama leluhur.(4) Sekeha teruna-teruni sebagai wadah para remaja untuk melestarikan budaya
leluhur memang sudah mulai berkurang
peminatnya. Namun demikian, bukan berarti tidak ada jalan lagi untuk
menghidupkan organisasi remaja itu. Kemauan yang keras dari remaja itu sendiri
dan didukung oleh berbagai pihak; keluarga, masyarakat, dan pemerintah akan
dapat menghidupkan kembali organisasi yang telah pudar itu. Organisasi
kepemudaan di desa atau di banjar ini secara tidak langsung dibentuk hingga
memiliki karakter yang bernafaskan budaya Bali dan Agama Hindu.
Berdasarkan
dari simpulan yang dikemukakan, dapat diajukan saran sebagai berikut;1) Diperlukan suatu langkah
tepat yang digunakan sebagai pedoman
untuk menuntun remaja dalam
menyikapi arus globalisasi agar tidak tersesat dan terjerumus ke hal-hal yang
dapat merusak diri mereka sendiri.
DAFTAR
RUJUKAN
Sura, I Gede. 1991. Pengendalian Diri dan Etika dalam Ajaran Agama Hindu. Jakarta : Proyek Pembinaan Pendidikan Tinggi Agama Hindu
dan Budha
Sudana, I Nyoman.2000. Membangun Sumber Daya Manusia dari Perspektif Hindu. Denpasar: Panitia
Penyelenggara Utsawa Dharma Gita Nasional- ITelkom Tahun 2000
Titib, I Made dan Ni Ketut Saparianti. 2004. Keutamaan Manusia dan Pendidikan Budhi
Pekerti.
Surabaya: Paramitha
Prama, Gede. 2010. Bali Shanti: Percikan-Percikan Renungan dari Kedalaman
Keheningan . Surabaya: Paramitha
WS, Anna. 2008. Remaja Membangun Kepribadian. Jakarta Timur: Nobel Edumedia
No comments:
Post a Comment