December 28, 2013

MENYOROTI ETIKA UMAT HINDU “KE PURA BERPENAMPILAN SELEBRITIS”(Artikel Bali)



MENYOROTI ETIKA UMAT HINDU
“KE PURA BERPENAMPILAN SELEBRITIS
Ni Made Rai Artini
Universitas Pendidikan Ganesha, Jalan Udayana Nomor 11
e-mail: rai.artini@ymail.com

Abstrak
            Penulisan artikel ini bertujuan untuk (1) mengkaji permasalahan yang sedang marak terjadi di masyarakat Hindu di Bali yaitu berpenampilan selebritis ke pura, dan (2) memberi informasi pada kalangan generasi muda Hindu di Bali mengenai sikap yang salah saat melakukan persembahyangan di Pura. Semangat hidup beragama mulai diwarnai dengan gairah kapitalis dan konsumeris. Tanda-tandanya dapat diamati secara fisikal-material antara lain dalam bentuk munculnya selebritisasi agama. Bentuk penampilan saat mengikuti upacara yadnya seperti nangkil ke pura, umat hadir dengan penampilan yang bagaikan seorang artis selebritis. Ciri-cirinya; dandanan orientalis, busana trendis dan modis dengan kebaya tipis, lalu balutan kain yang meninggi (kamben gantut macincingan), ditambah tata rias plus ornamen aneka aksesoris dan propertis penghias tubuh. Hal ini menjadikan umat Hindu benar-benar tampil fashionable seperti layaknya artis selebritis. Untuk semua bentuk performance tersebut tentunya diperoleh dengan cara membeli dengan harga yang tidak murah. Namun, sebagai umat agama sebaiknya umat dapat memposisikan diri dalam berpenampilan agar tidak terjadi pergeseran tujuan, yaitu dari spiritual menjadi material.
Kata-kata kunci: Umat Hindu, busana, penampilan selebritis

Abstract
Writing this article aims to (1) examine the problems being rife in the Hindu community in Bali which celebrities dressed to the temple, and (2) provide information to younger generation of Hindu in Bali about the wrong attitude when performing prayers in the temple . The spirit of religious life began tinged with passion capitalist and consumerist. The signs can be observed in the physical - material, among others, in the form of the rise of celebrity of religious. Their appearance when following the yadnya ceremony like nangkil to the temple, the people look like a celebrity artist. Characteristics; makeup orientalis, trendis and fashionable dress with transparent kebaya, and bandage cloth elevated (kamben gantut macincingan), makeup plus a variety of accessories and ornaments to decorate the body properties. It makes Hindus really look like fashionable celebrity. For all of these forms of performance must be obtained by buying at a price that is not cheap. However, as the religious people should be able to position themselves in appearance to avoid shifting the goal, that is from the spiritual into the material.
PENDAHULUAN

            Tidak ada sesuatu yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. Sebagaimana bola bumi berotasi, zaman terus berputar menghadirkan perubahan. Perubahan tidak pernah berhenti bergerak, seiring kemajuan peradaban manusia dengan kebudayaannya yang selalu tumbuh berkembang. Perkembangan dipicu dan dipacu oleh tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong lahirnya era modernisasi dengan globalisasi yang menyertainya. Selanjutnya, Piliang (2003: 151) memberi penegasan bahwa setelah abad ke-20 akan ditandai oleh semakin menguatnya proses globalisasi, selain ekonomi, juga informasi dan budaya. Ketika perkembangan modernitas itu terjadi, sudah pasti akan membawa implikasi berupa perubahan, tidak saja secara sosial, yang di dalamnya menyangkut unsur individual, tetapi juga dalam konteks kultural dan kebudayaan. Perubahan kebudayaan ialah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh para warga atau sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan, antara lain aturan-aturan, norma-norma yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan, juga teknologi, selera, rasa keindahan (kesenian) dan bahasa (Soelaeman, 2007: 46). Perubahan tersebut lebih disebabkan oleh cara berpikir dan sikap yang lahir dari modernitas Barat. Di Bali sangat dirasakan pengaruh globalisasi tersebut, karena keberadaan pulau Bali sebagai pusat pengembangan kepariwisataan di tanah air, perlahan tapi pasti akan mengerus tatanan apapun di Bali. Dalam hal penampilan misalnya, bagaimana umat Hindu tatkala melaksanakan kegiatan upacara persembahyangan khususnya di pura-pura bisa dengan harmonis mensinergikan tampilannya tang trendis, modis seperti kalangan selebritis, dalam aktivitas religius yang sebenarnya lebih mengedepankan tuntutan etis (normatif) yang dijiwai ajaran Hindu. Permasalahannya sekarang, di balik fenomena penampilan selebritis umat Hindu tersebut, akan membawa implikasi berupa terjadinya pergeseran orientasi nilai yang semestinya menekankan pada substansi dan essensi, tetapi yang terjadi dan berkembang justru lebih mengutamakan tampilan materi.
            Dalam artikel ini ada beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas diantaranya: (1) ritual religius campur baur perayaan konsumerisme; (2) mode, estetika dan busana; (3) faktor eksternal yang mempengaruhi penampilan selebritis umat hindu; (4) faktor internal yang mempengaruhi penampilan selebritis umat hindu; (5) bentuk-bentuk penampilan selebritis umat hindu; (6) sikap/etika perilaku saat berada di dalam pura.
            Penulisan artikel ini bertujuan: (1) mengkaji permasalahan yang sedang marak terjadi di masyarakat Hindu di Bali yaitu berpenampilan selebritis ke pura, dan (2) memberi informasi pada kalangan generasi muda Hindu di Bali mengenai sikap yang salah saat melakukan persembahyangan di Pura.
           
PEMBAHASAN
Ritual Religius Campur Baur Perayaan Konsumerisme
            Konsumerisme merupakan bagian dari kapitalisme yang menonjolkan pemanfaatan materi misalnya uang sebagai “pengendali” kehidupan. Bahkan Cliff feigenbaum dari Green Money Journal, dengan lantang menyatakan: “Uang adalah suara di dunia ini. Saya ingin uang saya itu menyuarakan nilai-nilai yang saya miliki” (dalam Aburdene, 2006: 126). Rendra (dalam Adlin, 2006: 300) mensinyalir bahwa, agama, nilai-nilai subkultur dan tradisi turut dirusak oleh kapitalisme global, tentunya dengan filosofi uang. Pengrusakan ini melahirkan hedonisme dan narsisisme. Perubahan basis ekonomi yang tumbuh menular pada gaya hidup masyarakat yang terbius oleh pola konsumerisme yang dikembangkan kapitalisme. Dari busana bermerk, pemutih tubuh, pamancung hidung, rekayasa alat vital, pelbagai produk elektronik hingga mobil yang nyaris setiap bulan berganti tipe, kesemuanya menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat modern, yang memang didefinisikan sebagai masyarakat konsumsi (Ritzer, 2007: 108). Tak terkecuali masyarakat Bali, lebih-lebih karena keberadaan pulau Bali sebagai wilayah huniannya yang sekaligus menjadi/dijadikan sebagai pusat pengembangan kepariwisataan di tanah air, sudah pasti akan membuat alselerasi modernisasi dalam era globalisasi ini menjadi demikian deras masuk dan menyentuh, bahkan perlahan tapi pasti akan mengerus tatanan apapun di Bali yang selama ini sudah mapan keberadaannya tanpa banyak mengalami perubahan apalagi perombakan. Dalam hal penampilan misalnya, tatkala umat Hindu melaksanakan kegiatan upacara persembahyangan, khususnya di pura-pura bisa dengan harmonis mensinergikan tampilannya yang trendis, modis seperti kalangan selebritis, dalam aktivitas religis yang sebenarnya lebih mengedepankan tuntutan etis (normatif) yang dijiwai ajaran Hindu. Di balik fenomena penampilan selebritis umat Hindu tersebut, akan membawa inplikasi berupa terjadinya pergeseran orientasi nilai yang semestinya menekankan pada substansi dan essensi, tetapi yang terjadi dan berkembang justru lebih mengutamakan tampilan materi (kemasan). Situasi inilah yang disebut modern, dimana paradigm utamanya adalah tubuh/materi dan pikiran. Pengutamaan tubuh dan materi menghasilkan budaya konsumerisme. Sedangkan pengutamaan pikiran menghasilkan iptek. Yang dikedepankan adalah bagaimana bisa “memiliki” lebih banyak (to have), bukan bagaimana bisa “menjadi” orang yang lebih berkualitas dan bermakna (to be).
Fenomena ini telah menunjukan bahwa dalam hal penampilan, ketika umat Hindu mengikuti atau melaksanakan upacara persembahyangan, tampak sekali tubuh biologis telah dieksplorasi atau malah dieksploitasi menjadi tubuh estetis, yang tidak saja untuk tujuan memperindah, tetapi juga mempermewah tubuh dengan “kemasan” materi sebagai layaknya tubuh postmodern. Tubuh postmodern adalah tubuh yang tidak punya teritorial yang pasti, sebuah tubuh yang “mengalir” tanpa henti dari satu tanda ke tanda berikutnya, dari satu gaya ke gaya berikutnya, dari satu identitas ke identitas berikutnya. Sejalan dengan pandangan Piliang, Synnott (2003 : 11-14), juga mengemukakan, bahwa, tubuh kita, dengan bagian-bagiannya, dimuati oleh simbolisme kultural, publik dan privat, positif dan negatif, politik dan ekonomi, seksual, moral dan seringkali kontroversial; begitu pula dengan atribut-atribut, fungsi tubuh, kondisi tubuh dan indera-inderanya. Sebagian besar tindakan manusia, dalam hal mengeksploitasi tubuh melalui penampilan, melibatkan dua jenis perilaku, yaitu perilaku lahiriah (yang sebenarnya) dan perilaku tersembunyi (simbol dan arti). Persoalan tubuh dapat dilihat dari dua dimensi yaitu interior tubuh dan eksterior tubuh. Persoalan interior tubuh sangat berkaitan dengan fisiologi dan sisiologi. Sementara itu, segi eksterior tubuh bisa dipandang sebagai media untuk mengekspresikan perasaan dan emosi, akan tetapi ekspresi ini harus diandaikan dapat diterima secara sosial dan tidak menyalahi aliran normal interaksi-interaksi antar personal. Apapun bentuk tampilan luar seperti halnya berbusana fashionable dengan kelengkapan aksesoris tubuh lainnya, apalagi dalam konteks melaksanakan upacara persembahyangan yang lebih mengutamakan etika keagamaan, maka panduan pokoknya adalah norma etis religis, bukan semata-mata tampilan estetis dengan kecenderungan berkiblat pada trend mode seperti halnya fashion show yang lumrah diperagakan oleh kalangan selebritis.

Mode, Estetika dan Busana
            Mode menurut Thorne (2008 : xi) adalah hal-hal yang berlangsung sebentar saja. Bentuk perkembangan trend mode atau trend dan mode akan selalu menampakkan pada ‘permainan’ kreativitas pada sentuhan estetisasi dengan berbagai varian; versi, bentuk dan isi. Dengan mengacu pada fenomena penampilan selebritis umat Hindu, maka estetisasi yang dimaksud adalah sebagian bagian dari aktivitas dan kreativitas umat, melalui medium badan atau tubuhnya untuk ditampilkan menjadi lebih indah guna memperoleh kesenangan, baik untuk dirinya maupun orang lain selaku “penikmat” keindahan. Elemen-elemen yang terkait dengan pertunjukan atau penampilan (performance) estetis yaitu : rupa, bentuk, gerak dan ruang. Keempat elemen ini sangat dipentingkan dalam konteks penampilan estetis. Rupa menyangkut wajah sebagai bagian fokus dari pengamatan indera penglihatan, yang dalam hubungannya dengan penampilan selebritis menjadi titik pusat estetisasi (tata rias: wajah dan rambut) sehingga dapat membuatnya menjadi lebih indah (cantik atau tampan).
            Kemudian elemen bentuk, berhubungan dengan tampilan tubuh anatomis yang meliputi seluruh anggota badan yang bisa diperindah dengan penyertaan kelengkapan lainnya seperti aksesoris atau perhiasan menurut tempat; kalung di leher, anting-anting di telinga, gelang dan arloji di tangan, cincin di jari, bros/pin di bagian kancing teratas dari busana, atau menggunakan kacamata dan lain-lain. Setelah itu elemen gerak, tidak lain dari tingkah laku yang secara linier cenderung mengikuti atau menyesuaikan diri dengan busana yang dikenakan. Terakhir elemen ruang, sebagai elemen tempat yang menjadi penyelaras (anut dan adung) dari penampilan seseorang. Satu contoh dapat dikemukakan, apabila seseorang hendak pergi sembahyang ke Pura, maka keempat elemen dasar dalam penampilan di atas (rupa, bentuk, gerak dan ruang) setidak-tidaknya akan menjadi pusat perhatian untuk dikondisikan sedemikian rupa agar selaras (anut dan adung) melalui estetisasi rupa (wajah) dan bentuk (badan) yang seterusnya akan diikuti oleh penyesuaian gerak (tingkah laku) menurut ruang (tempat) yang sedang dimasuki, dimana akan berlangsung suatu kegiatan.
            Konkretnya jika umat hendak pedek tangkil ke Pura, maka estetisasi rupa (tata rias wajah dan rambut), bentuk (penyertaan perhiasan atau aksesoris) dan gerak (perilaku) disesuaikan dengan ruang dimana pada saat itu umat sedang berada di tempat suci untuk menyembah Ida sang Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya dan Ida Bhatara Bhatari, bukan seperti memasuki tempat umum (public area), apalagi merasa seakan-akan berada di tempat rekreasi (hiburan).
            Pakaian atau busana dikatakan sebagai suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia. Sedangkan perhiasan adalah melengkapi (perlengkapan) pakaian yang dikenakan manusia dan dibuat dari banyak bahan seperti: emas, perak, tembaga, mutiara, batu alam, dan lain-lain. Kemudian mengenai jenis pakaian yang lazim disebut busana adat Bali, dapat dibagi menjadi dua menurut fungsinya yaitu Payas Agung dan Payas Alit. Payas Agung merupakan pakaian yang paling lengkap dan biasanya dipakai segolongan orang yaitu Tri Wangsa (Brahmana, Ksatria, Wesia) dan pemakaiannyapun terbatas pada saat dilangsungkan upacara-upacara tertentu, seperti : upacara potong gigi (metatah), perkawinan (pawiwahan) atau akil balik (menek kelih). Sedangkan Payas Alit adalah pakaian yang biasanya dipakai dalam upacara-upacara dan sifat pemakainnya tidak terbatas pada status sosial. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990 : 140), secara harfiah mengulas perkataan busana yang diartikan sebagai pakaian lengkap (yang indah-indah) dan mulia; busana yang tidak perlu mewah.

Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Penampilan Selebritis Umat Hindu
            Setiap perubahan, apapun bentuknya pasti tidak bisa lepas dari adanya perubahan. Tak terkecuali dengan terjadinya perubahan sosial dan individual yang dialami masyarakat Bali, khususnya umat Hindu, terutama dalam hal berpenampilan pada kesempatan melaksanakan upacara persembahyangan. Hal tersebut didorong oleh faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal adalah unsur-unsur yang berasal dari luar lingkungan umat Hindu itu sendiri terutama dalam hal penampilan umat Hindu yang kini semakin berkiblat pada kalangan selebritis selaku trendsetter, pecandu dan penentu mode yang selalu bergaya hidup trendis atau modis, meskipun dari sudut tuntunan normatif dapat dikategorikan sebagai bentuk penampilan yang cenderung tidak etis. Dikatakan tidak etis karena terjadi perubahan umat Hindu, yang semula berpegang pada kaidah etis-filosofis (etika-tattwa), namun kemudian berkembang menjadi lebih menekankan pada penampilan estetis (keindahan) bahkan menjelma ke dalam bentuk-bentuk penampilan seperti halnya kalangan selebritis yang lebih menonjolkan unsur materialis-kapitalis-konsumeris. Adapun unsur-unsur  yang dapat dimasukkan sebagai faktor eksternal atas terjadinya perkembangan, tepatnya perubahan umat Hindu sehingga berpenampilan selebritis adalah sebagai berikut:
1.      Globalisasi
Mantra (1996 : 1-2) mengemukakan, Globalisasi merupakan gejala yang tak dapat dihindarkan, tetapi sekaligus juga membuka kesempatan yang luas. Globalisasi telah membawa kemajuan besar dan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat Bali, khususnya umat Hindu yaitu terjadinya benturan kultur. Dalam konteks fenomena berpenampilan, Fenomenologi Husserl memandangnya sebagai sesuatu (objek) sebagaimana kita alami dan menghadirkan diri dalam kesadaran kita yang dapat dideskripsikan dari apa yang tertangkap oleh intuisi dan muncul melalui analisis. Bahwa umat Hindu melalui penampilan selebritisnya telah menunjukan adanya percampuran kultur Barat (modern) dan lokal (tradisi) yang tampak sekali bentuk-bentuknya ketika dalam kesempatan mengikuti atau melaksanakan upacara persembahyangan, performance umat Hindu cenderung bergaya fashionable (sadar mode). Media tubuh umat dalam balutan fashionable yang sebenarnya lebih tepat dikenakan pada kesempatan non-religion (di luar kegiatan agama) akhirnya ditampilkan juga dalam kesempatan religion seperti halnya di Pura. Penampilan umat dengan membaurkan, tepatnya mencampur adukan gaya berbusana antara tradisi lokal dengan tradisi global (modern) yang trendis dan modis yang telah mengikuti trend mode atau gaya hidup (lifestyle) global.
2.      Konsumerisme
Konsumerisme adalah satu ciri modernitas, dimana seluruh aspek kehidupan sosial didominasi oleh aktivitas ekonomi, tujuan ekonomi, kriteria ekonomi dan prestasi ekonomi. Fenomena konsumerisme tak dapat dipungkiri telah merusak gaya hidup umat Hindu. Faktanya, sekarang ini, untuk sebuah kegiatan meyajna, khususnya dalam penyediaan upakara bebanten, seperti banten saiban atau canang, sodan, pejati sampai ke tingkatan banten utama, umat dengan mudah dan sepertinya sudah lumrah mendapatkannya dengan membeli banten “siap saji”. Semangat hidup beragama mulai diwarnai dengan gairah kapitalis dan konsumeris. Tanda-tandanya : paling tidak dapat diamati secara fisikal-material antara lain, dalam bentuk munculnya selebritis agama. Suatu bentuk penampilan yang dalam suatu kesempatan mengikuti upacara yajna seperti nangkil ke pura, umat hadir dengan penampilan yang bagaikan seorang artis selebritis. Tampil fashionable untuk semua  bentuk performance tersebut tentunya didapat dengan membeli dan pastinya dengan harga tidak murah (mahal). Akhirnya Pura sebagai tempat suci dengan sekejap berubah menjadi ajang peragaan busana panggung cat walk.
3.      Media Massa
Yang dimaksud dengan media disini adalah media massa yang merupakan alat atau saluran yang menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu. Melalui media massa dengan segala bentuk tayangannya (berita, hiburan, dan iklan), hasrat atau keinginan manusia untuk memenuhi segala kebutuhan setidaknya terakomodasi, tinggal kemudian membeli, mengkonsumsi dan mengaktualisasikannya ke dalam bentuk tampilan, baik yang terkait dengan konteks ritual (yajna) maupun dalam wujud berpenampilan. Kondisi ini terjadi juga pada bentuk-bentuk penampilan umat ketika mengikuti atau melaksanakan upacara yajna seperti halnya persembahyangan di Pura. Pura adalah tempat suci tak terhindarkan pula dimanfaatkan sebagai ruang dan waktu untuk hasrat narsisme, menghadirkan diri dengan fashionable, trendis sebagaimana lazimnya tampilan publik figur semacam artis selebritis yang dijadikan sebagai model, ikon atau idola publik.

Faktor Internal yang Mempengaruhi Penampilan Selebritis Umat Hindu
            Penampilan umat Hindu tatkala melakukan persembahyangan atau upacara keagamaan lainnya juga dipengaruhi oleh faktor internal. Faktor internal yang memengaruhi umat Hindu sehingga berpenampilan selebritis adalah sebagai berikut:
1.      Transformasi dan Transisi Budaya
Apapun dan dari mana pun penyebabnya, masyarakat Indonesia, termasuk Bali tentunya, tak luput juga dari transformasi budaya, yaitu proses perubahan budaya yang gerak lajunya dipercepat oleh arus globalisasi. Bagi masyarakat Bali dengan kebudayaannya yang adiluhung dan adiluhur, meskipun secara terbuka terkomunikasi dengan beragam kebudayaan dalam kerangka terkomunikasi dengan beragam kebudayaan dalam kerangka globalisasi, dan tidak lepas juga dari peristiwa-peristiwa perubahan kebudayaan, sebagaimana terurai di atas, orang Bali nampaknya masih tetap memiliki sikap budaya yang sangat aspiratif terhadap kebudayaannya. Akan tetapi di sisi lain, jika diperhatikan perkembangan masyarakat (Bali) dewasa ini, harus diakui, di balik peristiwa akulturasi, adopsi, imitasi terhadap unsur-unsur budaya luar yang masuk dan kemudian diterima sebagai bagian dari kebudayaan Bali, tampaknya tak terelakkan juga terjadinya pergeseran-pergeseran yang menyangkut persoalan: orientasi nilai, persepsi, pola dan sikap serta gaya hidup yang tidak lagi ajeg. Terkait dengan kajian tentang fenomena penampilan selebritis umat Hindu dalam kesempatan mengikuti atau melaksanakan upacara persembahyangan di pura menunjukkan fakta bahwa memang telah terjadi penyimpangan etika, dimana umat Hindu tanpa memandang levelitas atau stratifikasi sosial, seakan berlomba memperagakan tampilan tubuhnya dengan balutan fashionable : trendis, modis dengan lebih menonjolkan gaya estetis (keindahan), memamerkan elemen-elemen materialis-kapitalis-konsumeris (benda/barang, nilai uang dan konsumtif) dengan glamour (kemewahan), bahkan diantaranya unsur-unsur erotis (sensualitas), meski harus mengesampingkan kaidah etis-filosofis (etika) yang sebenarnya menjadi substansi dari sradha dan bhakti umat.
2.      Pergeseran Orientasi Nilai dan Ciri Masyarakat Bali
Khusus berkaitan dengan transformasi kultural (budaya) dapat mengantarkan masyarakat itu sendiri berada pada situasi transisi yang pada gilirannya akan menggeser atau bahkan merubah pula orientasi nilai dan kehidupan. Arus kehidupan manusia di zaman global ini, terasa sulit atau berat sekali untuk merekonstruksi orientasi hidup yang sudah terlanjur larut mengikuti arus zaman. Zaman yang secara evolutif berkembang membawa perubahan, tidak saja berjalan pelan tetapi benar-benar membawa kepastian bahwa orientasi nilai-nilai kehidupan umat Hindu kini telah masuk jauh ke dalam pola dan gaya hidup materialisme yang kemudian diperilakukan secara individualistik, dengan hanya mementingkan, memperjuangkan dan bermotif mendapatkan materi untuk kesenangan atau kepentingan diri sendiri (ahamkara), dalam rangka memenuhi hasrat hedonismenya. Orientasi hidup model ini, kata Synnott (1995 : 25) hanya akan melahirkan anggapan bahwa “kesenangan tubuh (materi) jauh lebih baik dari pada kesenangan jiwa dengan praktek hidup dalam kemewahan”.
3.      Tingkatan Bhakti
Sesungguhnya di hadapan Tuhan, setiap manusia, terutama umat beragama adalah sama keberadaannya sebagai sesama makhluk ciptaan-Nya. Meskipun sama dalam kedudukan, tetapi ada satu hal yang bisa membedakannya, yaitu dari sisi Sradha dan Bhaktinya. Umat Hindu tidak mau ketinggalan dalam menampilkan dirinya melalui proses “mengkreasi diri” agar dapat tampil sebagaimana trend mode yang sedang berkembang dan digandrungi masyarakat kebanyakan yang fashionable (sadar mode). Sehingga, umat Hindu dalam kesempatan persembahyangan sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Sanghyang Widhi, tidak saja menampilkan dirinya melalui media “haturan bebanten” yang kebanyakan sudah berlabel “impor”, tetapi juga mengkonstruksi tubuhnya sebagai ekspresi melalui tampilan yang semiotik, mulai dari pemakaian busana yang trendis dan modis, ditambah polesan tata rias (wajah, rambut), aksesoris dan kelengkapan properties atau barang modern lainnya sebagai simbol komunikasi simbolik untuk sebuah makna dalam pencitraan dan pengakuan atas status dan identitas diri secara sosial-ekonomi sebagai orang berpunya (the have).
Selain itu, dengan bhakti umat yang dilandasi atau didorong oleh keinginan (kama) yaitu hanya untuk suatu kepentingan yang hanya bersifat fisikal-material, seperti misalnya bekerja atau mempersembahkan sesuatu dengan penuh pengharapan atau permohonan. Termasuk juga dalam penampilan selebritis umat yang bermuatan indrawi; seperti ingin mendapat perhatian, pujian, sanjungan, kesenangan atau kebanggaan diri, demi sebuah pencitraan (image), yang kesemua itu sesungguhnya berasal dan masih tergolong bhakti yang bersifat rajasik atau lebih buruk lagi masuk kategori tamasik. Padahal konsep ajaran dalam merealisasi sradha melalui bhakti, umat hendaknya dapat melaksanakannya dengan hati yang tulus, jiwa yang ikhlas dan tanpa pamrih.

Bentuk-bentuk Penampilan Selebritis Umat Hindu
Berbicara tentang bentuk, pada dasarnya bersifat evolutif, selalu mencair mengikuti perubahan yang tidak akan pernah bisa berhenti berubah. Sepeti halnya bentuk-bentuk penampilan selebritis umat Hindu saat mengikuti upacara yadnya, seperti acara persembahyangan di Pura. Yang terjadi adalah kecenderungan perubahan bentuk dalam penampilan yang tidak lagi berpegang pada format etika, tetapi lebih kepada kepentingan estetika (keindahan) dan bahkan penonjolan unsur-unsur kemewahan (glamour) dan erotisme (sensualitas).
Adapun bentuk-bentuk penampilan yang dapat dikategorikan sebagai berpenampilan selebritis adalah sebagai berikut:
1.      Busana 
Pengertian busana (pakaian) dalam arti luas adalah suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia.  Berkaitan dengan busana adat ke Pura dalam rangka mengikuti upacara persembahyangan yang masuk kategori sebagai pakaian “tradisi-religi”, tentunya dimaksudkan untuk digunakan pada ruang dan waktu saat melakukan hubungan bhakti dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa atau Ida Bhatara-Bhatari. Dan untuk kepentingan itu jelas memerlukan persyaratan mendasar yaitu Asuci laksana, dimana umat ketika datang pedek tangkil ke Pura sepatutnya terlebih dahulu membersihkan diri secara fisik, disertai juga penyucian pikiran serta penampilan dalam balutan busana/pakaian yang bersih, rapi, dan sopan. Apabila umat hendak melakukan persembahyangan maka sesungguhnya persyaratan yang penting sesuai dengan kaidah etika (Hindu). Soal segi estetika (keindahan) dalam penampilan memang tidak dapat dihalangi, tetapi ketika  sudah mengarah pada eksplorasi dan eksploitasi diri umat dengan berpenampilan yang menunjukan unsur-unsur pamer kemewahan seperti halnya kalangan selebritis yang selalu tampil trendis dan modis, dalam konteks ke Pura yang merupakan tempat suci (sakral) jelas tidak dapat dibenarkan.
2.      Tata rias
Pada zaman sekarang ini kurangnya minat generasi muda (yowana) khususnya dari kalangan dehe (gadis) untuk memakai tata rias rambut model sanggul, termasuk menatanya dengan model pepusungan, juga amat jarang ditemukan. Umumnya kalangan wanitanya, lebih banyak menata rambutnya dengan cara membiarkan rambutnya terurai (megambahan), baik dengan potongan rambut pendek ataupun rambut panjang. Mereka juga biasanya menggunakan berbagai jenis ikatan di bagian belakang seperti gelang karet, ada juga yang menggunakan pita pengikat atau bando dengan variasi hiasan warna-warni. Sedangkan untuk kalangan prianya, dalam tata rias rambut, mereka cenderung tampil apa adanya tanpa sentuhan penataan salon kecantikan. Hanya saja karena terpengaruh model punk, cukup banyak anak-anak muda yang menyisir rambutnya dengan model acak-acakan.
3.      Aksesoris (perhiasan)
Sebagai unsur pelengkap yang sekaligus menunjang penampilan, penggunaan aksesoris, dalam hal ini perhiasan, menjadi begitu penting, dan tidak pernah diabaikan. Aksesoris yang dimaksud adalah berupa bros atau pin yang biasanya dilekatkan pada bagian belahan dada kebaya wanita, lalu anting-anting (subeng) atau tindik yang biasa dipakai kaum pria, termasuk pemakaian kalung, cincin, gelang, dan lain-lain.
4.      Kelengkapan Lain
Yang dimaksud dengan kelengkapan lain dalam konteks ini adalah sejumlah barang (propertis) yang umumnya dipakai atau dibawa saat mengikuti upacara persembahyangan di Pura, seperti:
a.       Handphone (telepon seluler)
Ruang dan waktu kesempatan bersembahyang di Purapun sepertinya tidak dapat membatasi atau menghalangi umat untuk dalam keadaan “menghadap” Tuhan sekalipun tetap membawa atau menggunakan HP-nya, terutama untuk mengirim/menerima panggilan telepon guna berkomunikasi langsung. Sama sekali tidak ada rasa malu terhadap umat sedharma lainnya yang sedang melakukan persembahyangan. Selain itu ada pula yang sengaja membawa HP hanya untuk sekedar bermain game. Di Pura bukannya berusaha menciptakan suasana khusuk dengan menenangkan diri, atau mencoba berkonsentrasi untuk mempersiapkan diri mengikuti acara persembahyangan.
b.      Tas dengan berbagai model dan fungsinya
Tas genggam atau dompet, biasanya dibawa dengan digenggam dan berfungsi untuk tempat menyimpan kartu identitas pribadi, hal ini akan dapat mengganggu kita saat melakukan ngayah di Pura.


Sikap/etika Perilaku saat Berada di dalam Pura
            Sering kita lihat bahwa perilaku atau sikap para yowana saat memasuki atau berada dalam areal Pura dapat dikatakan kurang etis atau kurang sopan. Seperti misalnya:
a.       Ketika sudah mulai memasuki area bagian dalam Pura, mereka tetap bergerombol tidak beraturan atau tidak tertib. Mereka selalu mencari tempat yang nyaman menurut mereka, meski tidak jarang harus menerobos, melintas bahkan membelakangi atau melangkahi umat lain beserta kelengkapan sembahyang yang bahkan saat itu sedang melakukan persembahyangan.
b.      Selama menunggu upacara persembahyangan dimulai, umumnya mereka mengisinya dengan ngobrol satu sama lain, sebagian lagi memainkan HP-nya dengan main game. Bahkan saat upacara persembahyangan sudah dimulaipun, beberapa di antaranya tetap mengaktifkan HP-nya dan melakukan hubungan komunikasi.
c.       Pada waktu melakukan persembahyangan, sikap atau posisi badan (asanas) seperti Padmasana/Silasana yang semestinya dilakukan para pria dan Bajrasana (metimpuh) yang sepatutnya dilakukan para wanita, cukup banyak yang tidak dapat melakukan. Banyak kaum wanita yang duduk mesila seperti kebanyakan kaum laki-lakinya. Bahkan ada wanita yang bersikap duduk asal-asalan dengan cara memposisikan kedua lutut terangkat sejajar dengan dada dan dijadikan sebagai tumpuan tangan saat ngaturang sembah.
d.      Ketika nunas tirtha, umumnya menerima percikan tirtha dengan posisi kepala menunduk, apalagi yang wanita, seakan-akan menghindari percikan tirtha dengan melindungi bagian wajah/muka yang sebelumnya telah di make-up, dengan maksud agar tidak luntur gara-gara terkena cipratan air tirtha.
e.       Pada waktu hendak keluar dari area Pura, umumnya tidak mematuhi ketentuan untuk menggunakan pintu masuk (ngranjing) dan keluar (medal). Adapun pintu masuk dan pintu keluar, dalam waktu bersamaan digunakan serentak untuk umat memasuki dan keluar area Pura.

SIMPULAN
Etika umat Hindu khususnya ketika sembahyang di pura, kini dipermasalahkan. Mereka dinilai mengikuti gaya selebritis. Akibat pengaruh modernisasi dan globalisasi, orang Bali yang beragama Hindu tidak bisa menghindar dari pengaruh konsumerisme, idiologi pasar dan pengaruh lainnya. Umat Hindu ketika sembahyang ke pura mengalami pergeseran tujuan, yakni dari yang spriritual menuju material. Tampaknya harus diakui, seiring dengan tingkat pertumbuhan dan kemajuan ekonomi, fenomena konsumerisme tidak dapat dipungkiri telah merasuk pada gaya hidup umat Hindu. Bentuk penampilan saat mengikuti upacara yadnya seperti nangkil ke pura, umat hadir dengan penampilan yang bagaikan seorang artis selebritis. Ciri-cirinya; dandanan orientalis, busana trendis dan modis dengan kebaya tipis, lalu balutan kain yang meninggi (kamben gantut macincingan), ditambah tata rias plus ornamen aneka aksesoris dan propertis penghias tubuh. Akibat dari semua itu, Pura yang semula merupakan tempat suci, dalam sekejap berubah menjadi panggung cat walk, lengkap dengan nuansa keramaian atau kemeriahan sebagaimana layaknya area pasar. Sebagai umat beragama, seharusnya kita dapat memilah penampilan diri saat berpenampilan ke Pura, karena tujuan utama kita ke Pura adalah untuk memuja Tuhan dan mendekatkan diri pada-Nya dan bukan sebaliknya dengan memamerkan kepunyaan atau bergaya bagaikan seorang selebritis. Seharusnya kita dapat memposisikan diri yaitu dapat memilah  anatar pakaian ke Pura dengan pakaian dirumah atau bepergian agar tidak terjadi pergeseran nilai-nilai etika saat ke Pura.

DAFTAR RUJUKAN
Widana, I Gusti Ketut. 2011. Menyoroti Etika Umat Hindu : Ke Pura Berpenampilan Selebritis. Denpasar: Pustaka Bali Post.
Widana, Supartha. 2011. Berubah Menjadi Panggung Cat Walk.   http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=28&id=56760. Diakses pada tanggal 5 Desember 2013.

No comments:

Post a Comment

Cara Membuat Effect Hollogram dengan Photoshop

Om Swastiastu Kawand-kawand Youtuber... Oke kawand-kawand pada hari ini saya akan memberikan tutorial efek photoshop kali ini, mimin ...