MENYOROTI
ETIKA UMAT HINDU
“KE
PURA BERPENAMPILAN SELEBRITIS”
Ni Made Rai Artini
Universitas Pendidikan Ganesha,
Jalan Udayana Nomor 11
e-mail: rai.artini@ymail.com
Abstrak
Penulisan artikel ini bertujuan
untuk (1) mengkaji permasalahan yang
sedang marak terjadi di masyarakat Hindu di Bali yaitu berpenampilan selebritis ke pura, dan (2) memberi
informasi pada kalangan generasi muda Hindu di Bali mengenai sikap yang salah
saat melakukan persembahyangan di Pura. Semangat hidup beragama mulai diwarnai
dengan gairah kapitalis dan konsumeris. Tanda-tandanya dapat diamati secara
fisikal-material antara lain dalam bentuk munculnya selebritisasi agama. Bentuk
penampilan saat mengikuti upacara yadnya seperti nangkil ke pura, umat hadir
dengan penampilan yang bagaikan seorang artis selebritis. Ciri-cirinya; dandanan orientalis, busana trendis dan modis dengan kebaya tipis, lalu balutan kain yang meninggi (kamben gantut macincingan), ditambah
tata rias plus ornamen aneka aksesoris
dan propertis penghias tubuh. Hal ini menjadikan umat Hindu benar-benar tampil fashionable seperti layaknya artis selebritis. Untuk semua bentuk performance tersebut tentunya diperoleh
dengan cara membeli dengan harga yang tidak murah. Namun, sebagai umat agama
sebaiknya umat dapat memposisikan diri dalam berpenampilan agar tidak terjadi
pergeseran tujuan, yaitu dari spiritual menjadi material.
Kata-kata
kunci: Umat Hindu, busana, penampilan selebritis
Abstract
Writing this
article aims to (1) examine the problems being rife in the Hindu community in
Bali which celebrities dressed to the temple, and (2) provide information to
younger generation of Hindu in Bali about the wrong attitude when performing
prayers in the temple . The spirit of religious life began tinged with passion
capitalist and consumerist. The signs can be observed in the physical -
material, among others, in the form of the rise of celebrity of religious.
Their appearance when following the yadnya
ceremony like nangkil to the temple,
the people look like a celebrity artist. Characteristics; makeup orientalis,
trendis and fashionable dress with transparent kebaya, and bandage cloth elevated (kamben gantut macincingan), makeup plus a variety of accessories
and ornaments to decorate the body properties. It makes Hindus really look like
fashionable celebrity. For all of these forms of performance must be obtained
by buying at a price that is not cheap. However, as the religious people
should be able to position themselves in appearance to avoid shifting the
goal, that is from the spiritual
into the material.
PENDAHULUAN
Tidak ada sesuatu yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan
itu sendiri. Sebagaimana bola bumi berotasi, zaman terus berputar menghadirkan
perubahan. Perubahan tidak pernah berhenti bergerak, seiring kemajuan peradaban
manusia dengan kebudayaannya yang selalu tumbuh berkembang. Perkembangan dipicu
dan dipacu oleh tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong
lahirnya era modernisasi dengan globalisasi yang menyertainya. Selanjutnya,
Piliang (2003: 151) memberi penegasan bahwa setelah abad ke-20 akan ditandai
oleh semakin menguatnya proses globalisasi, selain ekonomi, juga informasi dan
budaya. Ketika perkembangan modernitas itu terjadi, sudah pasti akan membawa
implikasi berupa perubahan, tidak saja secara sosial, yang di dalamnya menyangkut
unsur individual, tetapi juga dalam konteks kultural dan kebudayaan. Perubahan
kebudayaan ialah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama
oleh para warga atau sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan, antara lain
aturan-aturan, norma-norma yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan,
juga teknologi, selera, rasa keindahan (kesenian) dan bahasa (Soelaeman, 2007: 46).
Perubahan tersebut lebih disebabkan oleh cara berpikir dan sikap yang lahir
dari modernitas Barat. Di Bali sangat dirasakan pengaruh globalisasi tersebut,
karena keberadaan pulau Bali sebagai pusat pengembangan kepariwisataan di tanah
air, perlahan tapi pasti akan mengerus tatanan apapun di Bali. Dalam hal
penampilan misalnya, bagaimana umat Hindu tatkala melaksanakan kegiatan upacara
persembahyangan khususnya di pura-pura bisa dengan harmonis mensinergikan
tampilannya tang trendis, modis seperti
kalangan selebritis, dalam aktivitas
religius yang sebenarnya lebih mengedepankan tuntutan etis (normatif) yang dijiwai ajaran Hindu. Permasalahannya sekarang,
di balik fenomena penampilan selebritis umat
Hindu tersebut, akan membawa implikasi berupa terjadinya pergeseran orientasi
nilai yang semestinya menekankan pada substansi dan essensi, tetapi yang
terjadi dan berkembang justru lebih mengutamakan tampilan materi.
Dalam
artikel ini ada beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas diantaranya: (1)
ritual religius campur baur perayaan konsumerisme; (2) mode, estetika dan
busana; (3) faktor eksternal yang mempengaruhi penampilan selebritis umat hindu; (4) faktor internal yang mempengaruhi
penampilan selebritis umat hindu; (5)
bentuk-bentuk penampilan selebritis
umat hindu; (6) sikap/etika perilaku saat berada di dalam pura.
Penulisan
artikel ini bertujuan: (1) mengkaji permasalahan yang sedang marak terjadi di
masyarakat Hindu di Bali yaitu berpenampilan selebritis ke pura, dan (2) memberi informasi pada kalangan
generasi muda Hindu di Bali mengenai sikap yang salah saat melakukan
persembahyangan di Pura.
PEMBAHASAN
Ritual
Religius Campur Baur Perayaan Konsumerisme
Konsumerisme merupakan bagian dari kapitalisme yang
menonjolkan pemanfaatan materi misalnya uang sebagai “pengendali” kehidupan.
Bahkan Cliff feigenbaum dari Green Money
Journal, dengan lantang menyatakan: “Uang adalah suara di dunia ini. Saya
ingin uang saya itu menyuarakan nilai-nilai yang saya miliki” (dalam Aburdene,
2006: 126). Rendra (dalam Adlin, 2006: 300) mensinyalir bahwa, agama,
nilai-nilai subkultur dan tradisi turut dirusak oleh kapitalisme global,
tentunya dengan filosofi uang. Pengrusakan ini melahirkan hedonisme dan narsisisme.
Perubahan basis ekonomi yang tumbuh menular pada gaya hidup masyarakat yang
terbius oleh pola konsumerisme yang dikembangkan kapitalisme. Dari busana
bermerk, pemutih tubuh, pamancung hidung, rekayasa alat vital, pelbagai produk
elektronik hingga mobil yang nyaris setiap bulan berganti tipe, kesemuanya
menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat modern, yang memang didefinisikan
sebagai masyarakat konsumsi (Ritzer, 2007: 108). Tak terkecuali masyarakat
Bali, lebih-lebih karena keberadaan pulau Bali sebagai wilayah huniannya yang
sekaligus menjadi/dijadikan sebagai pusat pengembangan kepariwisataan di tanah
air, sudah pasti akan membuat alselerasi modernisasi dalam era globalisasi ini
menjadi demikian deras masuk dan menyentuh, bahkan perlahan tapi pasti akan
mengerus tatanan apapun di Bali yang selama ini sudah mapan keberadaannya tanpa
banyak mengalami perubahan apalagi perombakan. Dalam hal penampilan misalnya,
tatkala umat Hindu melaksanakan kegiatan upacara persembahyangan, khususnya di
pura-pura bisa dengan harmonis mensinergikan tampilannya yang trendis, modis seperti kalangan selebritis, dalam aktivitas religis yang
sebenarnya lebih mengedepankan tuntutan etis
(normatif) yang dijiwai ajaran Hindu. Di balik fenomena penampilan selebritis umat Hindu tersebut, akan
membawa inplikasi berupa terjadinya pergeseran orientasi nilai yang semestinya
menekankan pada substansi dan essensi, tetapi yang terjadi dan berkembang
justru lebih mengutamakan tampilan materi (kemasan). Situasi inilah yang
disebut modern, dimana paradigm
utamanya adalah tubuh/materi dan pikiran. Pengutamaan tubuh dan materi
menghasilkan budaya konsumerisme. Sedangkan pengutamaan pikiran menghasilkan
iptek. Yang dikedepankan adalah bagaimana bisa “memiliki” lebih banyak (to have), bukan bagaimana bisa “menjadi”
orang yang lebih berkualitas dan bermakna (to
be).
Fenomena
ini telah menunjukan bahwa dalam hal penampilan, ketika umat Hindu mengikuti
atau melaksanakan upacara persembahyangan, tampak sekali tubuh biologis telah
dieksplorasi atau malah dieksploitasi menjadi tubuh estetis, yang tidak saja
untuk tujuan memperindah, tetapi juga mempermewah tubuh dengan “kemasan” materi
sebagai layaknya tubuh postmodern. Tubuh postmodern adalah tubuh yang tidak punya
teritorial yang pasti, sebuah tubuh yang “mengalir” tanpa henti dari satu tanda
ke tanda berikutnya, dari satu gaya ke gaya berikutnya, dari satu identitas ke
identitas berikutnya. Sejalan dengan pandangan Piliang, Synnott (2003 : 11-14),
juga mengemukakan, bahwa, tubuh kita, dengan bagian-bagiannya, dimuati oleh
simbolisme kultural, publik dan privat, positif dan negatif, politik dan
ekonomi, seksual, moral dan seringkali kontroversial; begitu pula dengan
atribut-atribut, fungsi tubuh, kondisi tubuh dan indera-inderanya. Sebagian
besar tindakan manusia, dalam hal mengeksploitasi tubuh melalui penampilan,
melibatkan dua jenis perilaku, yaitu perilaku
lahiriah (yang sebenarnya) dan perilaku
tersembunyi (simbol dan arti). Persoalan tubuh dapat dilihat dari dua
dimensi yaitu interior tubuh dan eksterior tubuh. Persoalan interior tubuh
sangat berkaitan dengan fisiologi dan sisiologi. Sementara itu, segi eksterior
tubuh bisa dipandang sebagai media untuk mengekspresikan perasaan dan emosi,
akan tetapi ekspresi ini harus diandaikan dapat diterima secara sosial dan
tidak menyalahi aliran normal interaksi-interaksi antar personal. Apapun bentuk
tampilan luar seperti halnya berbusana fashionable
dengan kelengkapan aksesoris
tubuh lainnya, apalagi dalam konteks melaksanakan upacara persembahyangan yang
lebih mengutamakan etika keagamaan, maka panduan pokoknya adalah norma etis religis, bukan semata-mata tampilan
estetis dengan kecenderungan
berkiblat pada trend mode seperti
halnya fashion show yang lumrah
diperagakan oleh kalangan selebritis.
Mode,
Estetika dan Busana
Mode menurut Thorne (2008 : xi) adalah hal-hal yang
berlangsung sebentar saja. Bentuk perkembangan trend mode atau trend dan
mode akan selalu menampakkan pada
‘permainan’ kreativitas pada sentuhan estetisasi dengan berbagai varian; versi, bentuk dan isi. Dengan
mengacu pada fenomena penampilan selebritis
umat Hindu, maka estetisasi yang dimaksud adalah sebagian bagian dari
aktivitas dan kreativitas umat, melalui medium badan atau tubuhnya untuk
ditampilkan menjadi lebih indah guna memperoleh kesenangan, baik untuk dirinya
maupun orang lain selaku “penikmat” keindahan. Elemen-elemen yang terkait
dengan pertunjukan atau penampilan (performance)
estetis yaitu : rupa, bentuk, gerak dan ruang. Keempat elemen ini sangat
dipentingkan dalam konteks penampilan estetis. Rupa menyangkut wajah sebagai bagian fokus dari pengamatan indera
penglihatan, yang dalam hubungannya dengan penampilan selebritis menjadi titik
pusat estetisasi (tata rias: wajah dan rambut) sehingga dapat membuatnya
menjadi lebih indah (cantik atau tampan).
Kemudian
elemen bentuk, berhubungan dengan
tampilan tubuh anatomis yang meliputi seluruh anggota badan yang bisa
diperindah dengan penyertaan kelengkapan lainnya seperti aksesoris atau
perhiasan menurut tempat; kalung di leher, anting-anting di telinga, gelang dan
arloji di tangan, cincin di jari, bros/pin di bagian kancing teratas dari
busana, atau menggunakan kacamata dan lain-lain. Setelah itu elemen gerak, tidak lain dari tingkah laku yang
secara linier cenderung mengikuti atau menyesuaikan diri dengan busana yang
dikenakan. Terakhir elemen ruang, sebagai
elemen tempat yang menjadi penyelaras (anut
dan adung) dari penampilan
seseorang. Satu contoh dapat dikemukakan, apabila seseorang hendak pergi
sembahyang ke Pura, maka keempat elemen dasar dalam penampilan di atas (rupa,
bentuk, gerak dan ruang) setidak-tidaknya akan menjadi pusat perhatian untuk
dikondisikan sedemikian rupa agar selaras (anut
dan adung) melalui estetisasi
rupa (wajah) dan bentuk (badan) yang seterusnya akan diikuti oleh penyesuaian
gerak (tingkah laku) menurut ruang (tempat) yang sedang dimasuki, dimana akan
berlangsung suatu kegiatan.
Konkretnya
jika umat hendak pedek tangkil ke
Pura, maka estetisasi rupa (tata rias
wajah dan rambut), bentuk (penyertaan
perhiasan atau aksesoris) dan gerak (perilaku)
disesuaikan dengan ruang dimana pada
saat itu umat sedang berada di tempat suci untuk menyembah Ida sang Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya dan Ida Bhatara Bhatari, bukan seperti
memasuki tempat umum (public area),
apalagi merasa seakan-akan berada di tempat rekreasi (hiburan).
Pakaian atau busana dikatakan sebagai suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia. Sedangkan perhiasan adalah melengkapi (perlengkapan) pakaian yang dikenakan manusia dan dibuat dari banyak bahan seperti: emas, perak, tembaga, mutiara, batu alam, dan lain-lain. Kemudian mengenai jenis pakaian yang lazim disebut busana adat Bali, dapat dibagi menjadi dua menurut fungsinya yaitu Payas Agung dan Payas Alit. Payas Agung merupakan pakaian yang paling lengkap dan biasanya dipakai segolongan orang yaitu Tri Wangsa (Brahmana, Ksatria, Wesia) dan pemakaiannyapun terbatas pada saat dilangsungkan upacara-upacara tertentu, seperti : upacara potong gigi (metatah), perkawinan (pawiwahan) atau akil balik (menek kelih). Sedangkan Payas Alit adalah pakaian yang biasanya dipakai dalam upacara-upacara dan sifat pemakainnya tidak terbatas pada status sosial. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990 : 140), secara harfiah mengulas perkataan busana yang diartikan sebagai pakaian lengkap (yang indah-indah) dan mulia; busana yang tidak perlu mewah.
Pakaian atau busana dikatakan sebagai suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia. Sedangkan perhiasan adalah melengkapi (perlengkapan) pakaian yang dikenakan manusia dan dibuat dari banyak bahan seperti: emas, perak, tembaga, mutiara, batu alam, dan lain-lain. Kemudian mengenai jenis pakaian yang lazim disebut busana adat Bali, dapat dibagi menjadi dua menurut fungsinya yaitu Payas Agung dan Payas Alit. Payas Agung merupakan pakaian yang paling lengkap dan biasanya dipakai segolongan orang yaitu Tri Wangsa (Brahmana, Ksatria, Wesia) dan pemakaiannyapun terbatas pada saat dilangsungkan upacara-upacara tertentu, seperti : upacara potong gigi (metatah), perkawinan (pawiwahan) atau akil balik (menek kelih). Sedangkan Payas Alit adalah pakaian yang biasanya dipakai dalam upacara-upacara dan sifat pemakainnya tidak terbatas pada status sosial. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990 : 140), secara harfiah mengulas perkataan busana yang diartikan sebagai pakaian lengkap (yang indah-indah) dan mulia; busana yang tidak perlu mewah.
Faktor
Eksternal yang Mempengaruhi Penampilan Selebritis
Umat Hindu
Setiap
perubahan, apapun bentuknya pasti tidak bisa lepas dari adanya perubahan. Tak
terkecuali dengan terjadinya perubahan sosial dan individual yang dialami
masyarakat Bali, khususnya umat Hindu, terutama dalam hal berpenampilan pada
kesempatan melaksanakan upacara persembahyangan. Hal tersebut didorong oleh
faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal adalah unsur-unsur yang
berasal dari luar lingkungan umat Hindu itu sendiri terutama dalam hal
penampilan umat Hindu yang kini semakin berkiblat pada kalangan selebritis selaku trendsetter, pecandu dan penentu mode yang selalu bergaya hidup trendis atau modis, meskipun dari sudut tuntunan normatif dapat dikategorikan
sebagai bentuk penampilan yang cenderung tidak etis. Dikatakan tidak etis
karena terjadi perubahan umat Hindu, yang semula berpegang pada kaidah etis-filosofis (etika-tattwa), namun
kemudian berkembang menjadi lebih menekankan pada penampilan estetis (keindahan) bahkan menjelma ke
dalam bentuk-bentuk penampilan seperti halnya kalangan selebritis yang lebih menonjolkan unsur
materialis-kapitalis-konsumeris. Adapun unsur-unsur yang dapat dimasukkan sebagai faktor
eksternal atas terjadinya perkembangan, tepatnya perubahan umat Hindu sehingga
berpenampilan selebritis adalah sebagai berikut:
1.
Globalisasi
Mantra
(1996 : 1-2) mengemukakan, Globalisasi merupakan gejala yang tak dapat
dihindarkan, tetapi sekaligus juga membuka kesempatan yang luas. Globalisasi
telah membawa kemajuan besar dan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan
masyarakat Bali, khususnya umat Hindu yaitu terjadinya benturan kultur. Dalam
konteks fenomena berpenampilan, Fenomenologi Husserl memandangnya sebagai
sesuatu (objek) sebagaimana kita alami dan menghadirkan diri dalam kesadaran
kita yang dapat dideskripsikan dari apa yang tertangkap oleh intuisi dan muncul
melalui analisis. Bahwa umat Hindu melalui penampilan selebritisnya telah menunjukan adanya percampuran kultur Barat
(modern) dan lokal (tradisi) yang tampak sekali bentuk-bentuknya ketika dalam
kesempatan mengikuti atau melaksanakan upacara persembahyangan, performance umat Hindu cenderung bergaya
fashionable (sadar mode). Media tubuh
umat dalam balutan fashionable yang
sebenarnya lebih tepat dikenakan pada kesempatan non-religion (di luar kegiatan agama) akhirnya ditampilkan juga
dalam kesempatan religion seperti
halnya di Pura. Penampilan umat dengan membaurkan, tepatnya mencampur adukan gaya
berbusana antara tradisi lokal dengan tradisi global (modern) yang trendis dan modis yang telah mengikuti trend
mode atau gaya hidup (lifestyle)
global.
2.
Konsumerisme
Konsumerisme
adalah satu ciri modernitas, dimana seluruh aspek kehidupan sosial didominasi
oleh aktivitas ekonomi, tujuan ekonomi, kriteria ekonomi dan prestasi ekonomi.
Fenomena konsumerisme tak dapat dipungkiri telah merusak gaya hidup umat Hindu.
Faktanya, sekarang ini, untuk sebuah kegiatan meyajna, khususnya dalam penyediaan upakara bebanten, seperti banten
saiban atau canang, sodan, pejati sampai
ke tingkatan banten utama, umat
dengan mudah dan sepertinya sudah lumrah mendapatkannya dengan membeli banten “siap saji”. Semangat hidup
beragama mulai diwarnai dengan gairah kapitalis dan konsumeris. Tanda-tandanya
: paling tidak dapat diamati secara fisikal-material antara lain, dalam bentuk
munculnya selebritis agama. Suatu
bentuk penampilan yang dalam suatu kesempatan mengikuti upacara yajna seperti nangkil
ke pura, umat hadir dengan penampilan yang bagaikan seorang artis selebritis. Tampil fashionable untuk semua bentuk performance
tersebut tentunya didapat dengan membeli dan pastinya dengan harga tidak
murah (mahal). Akhirnya Pura sebagai tempat suci dengan sekejap berubah menjadi
ajang peragaan busana panggung cat walk.
3.
Media Massa
Yang
dimaksud dengan media disini adalah media massa yang merupakan alat atau saluran
yang menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak,
bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek
tertentu. Melalui media massa dengan segala bentuk tayangannya (berita,
hiburan, dan iklan), hasrat atau keinginan manusia untuk memenuhi segala
kebutuhan setidaknya terakomodasi, tinggal kemudian membeli, mengkonsumsi dan
mengaktualisasikannya ke dalam bentuk tampilan, baik yang terkait dengan
konteks ritual (yajna) maupun dalam
wujud berpenampilan. Kondisi ini terjadi juga pada bentuk-bentuk penampilan
umat ketika mengikuti atau melaksanakan upacara
yajna seperti halnya persembahyangan di Pura. Pura adalah tempat suci tak
terhindarkan pula dimanfaatkan sebagai ruang dan waktu untuk hasrat narsisme, menghadirkan diri dengan fashionable, trendis sebagaimana lazimnya tampilan publik figur semacam artis selebritis yang dijadikan sebagai
model, ikon atau idola publik.
Faktor
Internal yang Mempengaruhi Penampilan Selebritis
Umat Hindu
Penampilan
umat Hindu tatkala melakukan persembahyangan atau upacara keagamaan lainnya
juga dipengaruhi oleh faktor internal. Faktor internal yang memengaruhi umat
Hindu sehingga berpenampilan selebritis adalah
sebagai berikut:
1.
Transformasi dan Transisi Budaya
Apapun dan dari mana pun
penyebabnya, masyarakat Indonesia, termasuk Bali tentunya, tak luput juga dari
transformasi budaya, yaitu proses perubahan budaya yang gerak lajunya
dipercepat oleh arus globalisasi. Bagi masyarakat Bali dengan kebudayaannya
yang adiluhung dan adiluhur, meskipun secara terbuka
terkomunikasi dengan beragam kebudayaan dalam kerangka terkomunikasi dengan
beragam kebudayaan dalam kerangka globalisasi, dan tidak lepas juga dari
peristiwa-peristiwa perubahan kebudayaan, sebagaimana terurai di atas, orang
Bali nampaknya masih tetap memiliki sikap budaya yang sangat aspiratif terhadap
kebudayaannya. Akan tetapi di sisi lain, jika diperhatikan perkembangan
masyarakat (Bali) dewasa ini, harus diakui, di balik peristiwa akulturasi,
adopsi, imitasi terhadap unsur-unsur budaya luar yang masuk dan kemudian
diterima sebagai bagian dari kebudayaan Bali, tampaknya tak terelakkan juga
terjadinya pergeseran-pergeseran yang menyangkut persoalan: orientasi nilai, persepsi, pola dan sikap serta gaya hidup yang tidak lagi ajeg.
Terkait dengan kajian tentang fenomena penampilan selebritis umat Hindu dalam kesempatan mengikuti atau melaksanakan
upacara persembahyangan di pura menunjukkan fakta bahwa memang telah terjadi
penyimpangan etika, dimana umat Hindu tanpa memandang levelitas atau
stratifikasi sosial, seakan berlomba memperagakan tampilan tubuhnya dengan
balutan fashionable : trendis, modis dengan lebih menonjolkan
gaya estetis (keindahan), memamerkan
elemen-elemen materialis-kapitalis-konsumeris (benda/barang, nilai uang dan
konsumtif) dengan glamour (kemewahan),
bahkan diantaranya unsur-unsur erotis (sensualitas), meski harus
mengesampingkan kaidah etis-filosofis (etika)
yang sebenarnya menjadi substansi dari sradha
dan bhakti umat.
2.
Pergeseran Orientasi Nilai dan Ciri
Masyarakat Bali
Khusus
berkaitan dengan transformasi kultural (budaya) dapat mengantarkan masyarakat
itu sendiri berada pada situasi transisi yang pada gilirannya akan menggeser
atau bahkan merubah pula orientasi nilai dan kehidupan. Arus kehidupan manusia
di zaman global ini, terasa sulit atau berat sekali untuk merekonstruksi
orientasi hidup yang sudah terlanjur larut mengikuti arus zaman. Zaman yang
secara evolutif berkembang membawa perubahan, tidak saja berjalan pelan tetapi
benar-benar membawa kepastian bahwa orientasi nilai-nilai kehidupan umat Hindu
kini telah masuk jauh ke dalam pola dan gaya hidup materialisme yang kemudian
diperilakukan secara individualistik, dengan hanya mementingkan, memperjuangkan
dan bermotif mendapatkan materi untuk kesenangan atau kepentingan diri sendiri
(ahamkara), dalam rangka memenuhi
hasrat hedonismenya. Orientasi hidup model ini, kata Synnott (1995 : 25) hanya
akan melahirkan anggapan bahwa “kesenangan tubuh (materi) jauh lebih baik dari
pada kesenangan jiwa dengan praktek hidup dalam kemewahan”.
3.
Tingkatan Bhakti
Sesungguhnya
di hadapan Tuhan, setiap manusia, terutama umat beragama adalah sama
keberadaannya sebagai sesama makhluk ciptaan-Nya. Meskipun sama dalam
kedudukan, tetapi ada satu hal yang bisa membedakannya, yaitu dari sisi Sradha dan Bhaktinya. Umat Hindu tidak mau ketinggalan dalam menampilkan
dirinya melalui proses “mengkreasi diri” agar dapat tampil sebagaimana trend mode yang sedang berkembang dan
digandrungi masyarakat kebanyakan yang fashionable
(sadar mode). Sehingga, umat Hindu dalam kesempatan persembahyangan sebagai
wujud bhakti kehadapan Ida Sanghyang Widhi, tidak saja
menampilkan dirinya melalui media “haturan bebanten” yang kebanyakan sudah
berlabel “impor”, tetapi juga mengkonstruksi tubuhnya sebagai ekspresi melalui
tampilan yang semiotik, mulai dari pemakaian busana yang trendis dan modis,
ditambah polesan tata rias (wajah, rambut), aksesoris dan kelengkapan
properties atau barang modern lainnya sebagai simbol komunikasi simbolik untuk
sebuah makna dalam pencitraan dan pengakuan atas status dan identitas diri
secara sosial-ekonomi sebagai orang berpunya (the have).
Selain
itu, dengan bhakti umat yang
dilandasi atau didorong oleh keinginan (kama)
yaitu hanya untuk suatu kepentingan yang hanya bersifat fisikal-material,
seperti misalnya bekerja atau mempersembahkan sesuatu dengan penuh pengharapan
atau permohonan. Termasuk juga dalam penampilan selebritis umat yang bermuatan indrawi; seperti ingin mendapat
perhatian, pujian, sanjungan, kesenangan atau kebanggaan diri, demi sebuah
pencitraan (image), yang kesemua itu
sesungguhnya berasal dan masih tergolong bhakti
yang bersifat rajasik atau lebih
buruk lagi masuk kategori tamasik. Padahal
konsep ajaran dalam merealisasi sradha melalui
bhakti, umat hendaknya dapat
melaksanakannya dengan hati yang tulus, jiwa yang ikhlas dan tanpa pamrih.
Bentuk-bentuk
Penampilan Selebritis Umat Hindu
Berbicara
tentang bentuk, pada dasarnya bersifat evolutif, selalu mencair mengikuti
perubahan yang tidak akan pernah bisa berhenti berubah. Sepeti halnya
bentuk-bentuk penampilan selebritis umat Hindu saat mengikuti upacara yadnya,
seperti acara persembahyangan di Pura. Yang terjadi adalah kecenderungan
perubahan bentuk dalam penampilan yang tidak lagi berpegang pada format etika,
tetapi lebih kepada kepentingan estetika (keindahan) dan bahkan penonjolan
unsur-unsur kemewahan (glamour) dan
erotisme (sensualitas).
Adapun
bentuk-bentuk penampilan yang dapat dikategorikan sebagai berpenampilan selebritis adalah sebagai berikut:
1.
Busana
Pengertian busana (pakaian) dalam
arti luas adalah suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua
suku bangsa di dunia. Berkaitan dengan
busana adat ke Pura dalam rangka mengikuti upacara persembahyangan yang masuk
kategori sebagai pakaian “tradisi-religi”, tentunya dimaksudkan untuk digunakan
pada ruang dan waktu saat melakukan hubungan bhakti dengan Ida Sanghyang
Widhi Wasa atau Ida Bhatara-Bhatari. Dan
untuk kepentingan itu jelas memerlukan persyaratan mendasar yaitu Asuci laksana, dimana umat ketika datang
pedek tangkil ke Pura sepatutnya
terlebih dahulu membersihkan diri secara fisik, disertai juga penyucian pikiran
serta penampilan dalam balutan busana/pakaian yang bersih, rapi, dan sopan.
Apabila umat hendak melakukan persembahyangan maka sesungguhnya persyaratan
yang penting sesuai dengan kaidah etika (Hindu). Soal segi estetika (keindahan)
dalam penampilan memang tidak dapat dihalangi, tetapi ketika sudah mengarah pada eksplorasi dan eksploitasi
diri umat dengan berpenampilan yang menunjukan unsur-unsur pamer kemewahan
seperti halnya kalangan selebritis yang
selalu tampil trendis dan modis, dalam konteks ke Pura yang
merupakan tempat suci (sakral) jelas tidak dapat dibenarkan.
2.
Tata rias
Pada zaman
sekarang ini kurangnya minat generasi muda (yowana)
khususnya dari kalangan dehe (gadis)
untuk memakai tata rias rambut model sanggul, termasuk menatanya dengan model pepusungan, juga amat jarang ditemukan. Umumnya
kalangan wanitanya, lebih banyak menata rambutnya dengan cara membiarkan rambutnya
terurai (megambahan), baik dengan
potongan rambut pendek ataupun rambut panjang. Mereka juga biasanya menggunakan
berbagai jenis ikatan di bagian belakang seperti gelang karet, ada juga yang
menggunakan pita pengikat atau bando dengan
variasi hiasan warna-warni. Sedangkan untuk kalangan prianya, dalam tata rias
rambut, mereka cenderung tampil apa adanya tanpa sentuhan penataan salon
kecantikan. Hanya saja karena terpengaruh model punk, cukup banyak anak-anak muda yang menyisir rambutnya dengan
model acak-acakan.
3.
Aksesoris (perhiasan)
Sebagai unsur pelengkap yang sekaligus menunjang penampilan,
penggunaan aksesoris, dalam hal ini perhiasan, menjadi begitu penting, dan
tidak pernah diabaikan. Aksesoris yang dimaksud adalah berupa bros atau pin yang biasanya dilekatkan pada bagian belahan dada kebaya
wanita, lalu anting-anting (subeng) atau tindik yang biasa dipakai kaum
pria, termasuk pemakaian kalung, cincin, gelang, dan lain-lain.
4.
Kelengkapan Lain
Yang dimaksud dengan kelengkapan lain dalam konteks ini
adalah sejumlah barang (propertis) yang umumnya dipakai atau dibawa saat
mengikuti upacara persembahyangan di Pura, seperti:
a. Handphone (telepon seluler)
Ruang dan waktu kesempatan
bersembahyang di Purapun sepertinya tidak dapat membatasi atau menghalangi umat
untuk dalam keadaan “menghadap” Tuhan sekalipun tetap membawa atau menggunakan
HP-nya, terutama untuk mengirim/menerima panggilan telepon guna berkomunikasi
langsung. Sama sekali tidak ada rasa malu terhadap umat sedharma lainnya yang sedang melakukan persembahyangan. Selain itu
ada pula yang sengaja membawa HP hanya untuk sekedar bermain game. Di Pura bukannya berusaha
menciptakan suasana khusuk dengan menenangkan diri, atau mencoba berkonsentrasi
untuk mempersiapkan diri mengikuti acara persembahyangan.
b. Tas dengan berbagai model dan
fungsinya
Tas genggam atau dompet, biasanya dibawa dengan digenggam dan
berfungsi untuk tempat menyimpan kartu identitas pribadi, hal ini akan dapat
mengganggu kita saat melakukan ngayah
di Pura.
Sikap/etika Perilaku saat Berada di
dalam Pura
Sering kita lihat bahwa perilaku
atau sikap para yowana saat memasuki
atau berada dalam areal Pura dapat dikatakan kurang etis atau kurang sopan.
Seperti misalnya:
a. Ketika sudah mulai memasuki area
bagian dalam Pura, mereka tetap bergerombol tidak beraturan atau tidak tertib.
Mereka selalu mencari tempat yang nyaman menurut mereka, meski tidak jarang
harus menerobos, melintas bahkan membelakangi atau melangkahi umat lain beserta
kelengkapan sembahyang yang bahkan saat itu sedang melakukan persembahyangan.
b. Selama menunggu upacara
persembahyangan dimulai, umumnya mereka mengisinya dengan ngobrol satu sama lain, sebagian lagi memainkan HP-nya dengan main game. Bahkan saat upacara
persembahyangan sudah dimulaipun, beberapa di antaranya tetap mengaktifkan
HP-nya dan melakukan hubungan komunikasi.
c. Pada waktu melakukan
persembahyangan, sikap atau posisi badan (asanas)
seperti Padmasana/Silasana yang
semestinya dilakukan para pria dan Bajrasana
(metimpuh) yang sepatutnya dilakukan para wanita, cukup banyak yang tidak
dapat melakukan. Banyak kaum wanita yang duduk mesila seperti kebanyakan kaum laki-lakinya. Bahkan ada wanita yang
bersikap duduk asal-asalan dengan cara memposisikan kedua lutut terangkat
sejajar dengan dada dan dijadikan sebagai tumpuan tangan saat ngaturang sembah.
d. Ketika nunas tirtha, umumnya menerima percikan tirtha dengan posisi kepala menunduk, apalagi yang wanita,
seakan-akan menghindari percikan tirtha dengan
melindungi bagian wajah/muka yang sebelumnya telah di make-up, dengan maksud agar tidak luntur gara-gara terkena cipratan
air tirtha.
e. Pada waktu hendak keluar dari area
Pura, umumnya tidak mematuhi ketentuan untuk menggunakan pintu masuk (ngranjing) dan keluar (medal). Adapun pintu masuk dan pintu
keluar, dalam waktu bersamaan digunakan serentak untuk umat memasuki dan keluar
area Pura.
SIMPULAN
Etika umat Hindu khususnya ketika sembahyang di
pura, kini dipermasalahkan. Mereka dinilai mengikuti gaya selebritis. Akibat pengaruh modernisasi dan globalisasi, orang Bali
yang beragama Hindu tidak bisa menghindar dari pengaruh konsumerisme, idiologi
pasar dan pengaruh lainnya. Umat Hindu ketika sembahyang ke pura mengalami
pergeseran tujuan, yakni dari yang spriritual menuju material. Tampaknya harus
diakui, seiring dengan tingkat pertumbuhan dan kemajuan ekonomi, fenomena
konsumerisme tidak dapat dipungkiri telah merasuk pada gaya hidup umat Hindu.
Bentuk penampilan saat mengikuti upacara yadnya seperti nangkil ke pura, umat
hadir dengan penampilan yang bagaikan seorang artis selebritis. Ciri-cirinya; dandanan orientalis, busana trendis dan modis dengan kebaya tipis, lalu balutan kain yang meninggi (kamben
gantut macincingan), ditambah tata rias plus
ornamen aneka aksesoris dan propertis penghias tubuh. Akibat dari semua itu,
Pura yang semula merupakan tempat suci, dalam sekejap berubah menjadi panggung cat walk, lengkap dengan nuansa
keramaian atau kemeriahan sebagaimana layaknya area pasar. Sebagai umat
beragama, seharusnya kita dapat memilah penampilan diri saat berpenampilan ke
Pura, karena tujuan utama kita ke Pura adalah untuk memuja Tuhan dan
mendekatkan diri pada-Nya dan bukan sebaliknya dengan memamerkan kepunyaan atau
bergaya bagaikan seorang selebritis. Seharusnya
kita dapat memposisikan diri yaitu dapat memilah anatar pakaian ke Pura dengan pakaian dirumah
atau bepergian agar tidak terjadi pergeseran nilai-nilai etika saat ke Pura.
DAFTAR RUJUKAN
Widana, I Gusti Ketut. 2011. Menyoroti Etika Umat Hindu : Ke Pura
Berpenampilan Selebritis. Denpasar: Pustaka Bali Post.
Widana,
Supartha. 2011. Berubah Menjadi Panggung
Cat Walk. http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=28&id=56760.
Diakses pada tanggal 5 Desember 2013.
No comments:
Post a Comment