KEMBAR BUNCING “MANAK SALAH”
DI DESA ADAT PADANGBULIA
Ni Luh Ramadhani Ade Mula
Universitas Pendidikan
Ganesha, Jalan Udayana Nomor 11
e-mail :
niluhramadhaniademula@gmail.com
Abstrak
Tujuan penulisan artikel
ini untuk : (1)
agar masyarakat mengetahui sejarah Desa Adat Padangbulia; (2) agar masyarakat
mengetahui awig-awig yang mengatur bayi kembar buncing di Desa Padangbulia. Di Bali ada sebuah adat yang unik bila ada penduduk desa
melahirkan anak kembar yang berjenis kelamin pria dan wanita atau yang disebut
oleh penduduk setempat sebagai kembar buncing. Dulu si orang tua dan bayi
kembar buncing ini menurut adat di Bali harus di dipindahkan dari rumah asalnya
ke sebuah rumah darurat di atas tanah Banjar Adat yang terletak 800 meter
sebelum kuburan dikarenakan menurut kepercayaan setempat bila yang bersangkutan
menolak untuk dipindahkan maka semua penduduk desa akan mendapat kutukan atau
memada-mada dari Ratu. Setelah masa pengucilan berakhir, maka akan diadakan upacara mecaru yang
bertujuan untuk menyucikan bayi kembar tersebut. Namun, bukan hanya itu
terkadang orang tua bayi kembar buncing harus membayar denda dan rela melepas
salah satu bayinya. Bayi kembar itu harus dipisahkan sehingga kelak saat dewasa
mereka tak pernah tahu bahwa mereka adalah saudara kandung dan sedarah,
sedangkan para warga desa diminta oleh peraturan adat untuk merahasiakannya.
Selanjutnya, ketua adat akan berusaha mengawinkan keduanya menjadi sepasang
suami istri karena menurut kepercayaan warga , bayi kembar buncing memang telah
dijodohkan sejak dalam rahim.
Kata-kata kunci : Desa Adat
Padangbulia, kembar buncing, denda
Abstract
This article aims to: (1) to give
information and knowledge towards the society about the history of Padangbulia
Village; (2) to remind the society about the traditional customs regarding the
different gender twin born in Padangbulia Village. Bali has a unique
traditional custom in which parents who are having male and female children
born as a twin, they should be moved outside the theritory of the village. They
can still stay on the land of the village, but it should over 800 metres from
the village borders. If the parents do not want to move, local people believe
that the village will get some mystical curse from Ratu (Mada-mada). After the
extradition is over, there would be “mecaru” ceremony done in the village to
purify the twin children. In other case, the parent should pay certain amount
of money or they should give away one of their twin. The twin will be
separated, so that when they grow up in the future they will not know one to
another. In addition, the villagers are asked to keep and preserve this custom
in secret. Furthermore, the head chief of the village will try to make those
twin children become a couple because they are believed to be destinied since
they were born based on the local believe existing in the village.
Keywords: Padangbulia village,
different gender twin, fine
LATAR BELAKANG
Di Bali ada sebuah adat yang unik bila ada penduduk desa
melahirkan anak kembar yang berjenis kelamin pria dan wanita atau yang disebut
oleh penduduk setempat sebagai kembar buncing. Dulu si orang tua dan bayi
kembar buncing ini menurut adat di Bali harus di dipindahkan dari rumah asalnya
ke sebuah rumah darurat di Matas tanah Banjar Adat yang terletak 800 meter
sebelum kuburan dikarenakan menurut kepercayaan setempat bila yang bersangkutan
menolak untuk dipindahkan maka semua penduduk desa akan mendapat kutukan atau
memada-mada dari Ratu.
Tidak itu saja,
sang orang tua ini pun masih harus menjalani beberapa
prosesi adat lainnya demi membendung murka dari sang
ratu. Lantas prosesi seperti apa saja yang harus dilalui oleh orang tua sang
bayi kembar buncing ini sebelum akhirnya diperbolehkan kembali ke rumah
miliknya.
Berdasarkan
fenomena yang ada di Desa Padang Bulia, dalam artikel ini akan dibahas beberapa
rumusan masalah, diantaranya : (1) Sejarah singkat Desa Adat Padangbulia; (2)
Kasepekang di Desa Adat Padangbulia terhadap Kelahiran Bayi Kembar Buncing
“Manak Salah”; (3) Syarat-syarat yang Harus Dilalui Oleh Bayi Kembar Buncing;
(4) Contoh Kasus Kembar Buncing “Manak Salah” di Desa Adat Padangbulia.
Penulisan
artikel ini bertujuan untuk: (1) agar masyarakat mengetahui sejarah Desa Adat
Padangbulia; (2) agar masyarakat mengetahui awig-awig yang mengatur bayi kembar
buncing di Desa Padangbulia.
SEJARAH SINGKAT DESA ADAT PADANGBULIA
Berdasarkan Lontar Dharma Ulangun, Lontar Dalem Madura dan Lontar Jaya Purana,
bahwa sebelum daerah Den Bukit di Kuasai oleh Kolonial Belanda yaitu tahun 1949
Masehi, desa Padangulia adalah merupakan suatu pusat kerajaan Den Bukit, yang
didirikan oleh Putra ke II raja Bali Kuno
Dinasti Singamandawa yang beristana di Pulaki, Putra raja tersebut bernama Ida
I Gusti Den Bukit atau I Gusti Made Bukit.
Kerajaan ini mulai ditata berdirinya pada tahun I Cakra 1057 atau 1135 Masehi
yang didirikan oleh beliau beserta pengikutnya bersama sama dengan Penduduk
asli/Pasek di Desa ini. Daerah Padangbulia ini dahulu di sebut Desa Tani Agung
yang bernama Purbhakara. Penduduk asli Purbhakara sudah mempunyai kepercayaan
yaitu menyembah arca Manik yang merupakan palinggih roh leluhur yang diyakini
dapat melindungi mereka.
Kepercayaan semacam ini oleh ahli sejarah yang bernama N.D Pandit Shastri
disebut Anismisma. Kerajaan ini dibentuk karena Desa Tani Agung ini mengalami
kehancuran yang bersamaan dengan hancurnya Arca Manik yang dipercaya sebagai
dewa di desa ini. Akibat kehancuran yang menimpa desa inilah putra kedua raja
Dinasthi Singhamandawa yang beristana di Pulaki karena merasa iba ingin
berkunjung ke Desa Tani Agung (Purbakara).
Dengan dibekali banyak senjata pusaka oleh ayahanda yaitu Sang Raja, lalu
beliau meninggalkan istana Pulaki beserta para pengikutnya dan angkatan
perang/papadu yang bernama Bendesa Pasek Macan Gading. Setelah tiba di Desa
Tani Agung benarlah bahwa desa tersebut kondisinya memperhatinkan, lalu di
bangunlah pemerintah baru dengan bergotong royong, bahu membahu secara
bersama-sama. Pendiri Pemerintah Kerajaan Den Bukit ini berpusat di Desa
Padangbulia sekarang menjadi Krama Desa Marep, sedangkan para warga yang dtang
belakangan setelah berdirinya kerajaan ini adalah menjadi Kerama Desa
Sampingan. Menurut kelompok pengkajian Budaya Bali Utara ( Noet Balinese Study
Grup ) yaitu Drs. I Gusti Ketut Simba dan DR Soegianto Sastrodiwiryo mengatakan
bahwa dilihat dari struktur palinggih yang terdapat di pura Desa Padangbulia
maka diyakininya Desa Padangbulia adalah dahulu merupakan bekas pusat kerajaan
dan Puri Agung Jero Gede Padangbulia adalah pusat Istana Raja tersebut pada
tahun 1177 masehi ada tujuh kerajaan di Bali
Dwipa yang semuanya merupakan keturunan raja Singhamandawa yang di sebut sapta
Nagara, tentang keberadaan kerajaan ini juga telah diteliti secara mendasar
oleh para ahli sejarah lainnya yaitu Dr. Stutterheim, Dr. L.C. Damais dan DR
Goris.
Dalam lontar Dalem Madura menyebutkan bahwa setelah Raja tersebut turun temurun
sampai keturunan kalmia, maka mempunyai tiga orang putra yaitu yang pertama
bernama Ida Ratu Kaler atau juga disebut Ida I Gusti Kaler yang kedua bernama
Ida I Gusti Den Bukit atau juga disebut Ida i Gusti Made Bukit dan yang ketiga
bernama Ida I Gusti Umabiaan atau disebut Ida I Gusti Nyoman Gunung, Ida Ratu
Kaler beristina di Mayong bergelar Ida I Gusti Jero Gede Mayong. Ida I Gusti
Den Bukit beristana di Desa Tani Agung yang bernama Purbhakara bergelar Ida I
Gusti Jero Gede Padangbulia, Ida I Gusti Umaabian beristana di Umabiaan
bergelar Ida I Gusti Jero Gede Umajero merupakan catur Desa yaitu mewilayahi
Tamblingan, Desa Munduk, Desa Gesing dan Desa Uma Jero.
I Gusti Jero
Gede adalah terdiri dari kata I Gusti dan Jero Gede. I Gusti adalah titel
penghormatan tertinggi yang dibawa dari Jawa, titel ini biasanya dieruntukkan
kepada I Gusti Prabu, I Gusti Allah dan lain-lain sedangkan Jero Gede merupakan
bahasa Bali Kuno yang artinya Anak Agung atau Dalem kalau ditelusuri lebih
lanjut bahwa tempat tinggal atau istana ketiga putra raja dinasti sanghamandawa
itu adalah merupakan bagian wilayah palemeng aji panjang. Raja Ida I Gusti den
bukit tiada beda dengan leluhur beliau yaitu selalu ingin batinnya dengan
sanghyang embang, merintis pemerintahan baru yang dibentuknya itu dengan
diawali membuat pelinggih para kawitan pendiri pemerintahan kerajaan den bukit,
dengan istana kerajaannya bernama Puri agung Jero Gede Padangbulia. Beliau
bersama kai tangfan penduduk setempat maupun rakyatnya mengadakan upacara
seperti upacara sarin tahun upacara penyucian tri hita karana yang sesuai
dengan situasi kondisi setempat sebagai desa tua, berdasarkan dengan isi
beberapa lontar diantaranya lontar coak, sri teka, jayeng lange, jaya purana,
darma ulangun, brahma sapa, dewa tatwa dll. Yang semua itu merupakan perujudan
kerangka dasar agama hindu yaitu tatwa susila dan upakara oleh karena itu
beliau atau kerajaannya diberi banyak nama oleh para orang bijaksana seperti
gelar Ida I Gusti Jro Gede Padangbulia. Padangbulia adalah berasal dari kata
Padang dan Bulia, dimana Padang artinya terang atau cahaya dan bulia berasal
dari kata mulia. Jadi padangbulia arti sesungguhnya adalah cahaya atau surya yang
mulia sedangkan surya pada umumnya diidentikan dengan raja selain itu juga
disebut Prabakula dimana praba artinya sinar atau surya sedangakn kula adalah
kaula jadi prabakula adalah dimaksudkan sesuatu kerajaan yang dibangun
bersama-sama yaitu raja dan rakyat atau menganut konsep rwa binreda yaitu
purusa. Perdana atau akasa dan pertiwi. Widarbasari juga terdiri dari kata
Widarba yang artinya padang atau sinar dan sari artinya inti atau pusat jadi
widarbasari mengandung arti pusat sinar atau pusat kerajaan atau kemungkinan
juga mengandung arti bahwa widarba sama dengan padang /padi dan sari sama
dengan hasil. Ari wita artinya adalah ari sama dengan mempunyai sedangkan wita
barang-barang yang berharga atau utama. Barang-barang utama yang dimaksud
kemungkinan ada kaitannya dengan senjata-senjata pusaka raja den bukit yang
tersimpan dipejenengan puri agung den bukit jro gede padangbulia dari nama raja
Ida I Gusti Den Bukit yang bergelar Ida I Gusti Jro Gede Padangbulia, Raja Ida
I Gusti Den Bukit yang bergelar Ida I Gusti Jero Gede Padangbulia didalam
melakukan upacara itu perlu efesiensi waktu dan tenaga untuk itu semua
batas-batas wilayahnya tersebut dibuatkan pura pasimpangan sebagai penyawangan
dipusat kota kerajaan den bukit yaitu : 1. Pura Pucak Manggu sebagai batas
selatan terletak diwilayah gitgit disebut dengan pura dukuh akan tetapi sejak
tahun i Caka 1555 Pucak Manggu menjadi kekuasaan mengwi dan menjadi batas
kabupaten buleleng. 2. Cekik sebagai batas barat yang sekarang Pura Cekik. 3.
Pura bukit Sinunggal dan pura dalem tamblang tangkid, dibuatkan pura
Tamblang/Pura Keladian. 4. Laut dibuatkan Pura Mahaayu. 5. Pusat adalah kota
kerajaan pura desa.
Danau Bulian adalah bersal dari kata Embung bulian dimana embung artinya telaga
atau danau dan bulia adalah diambil dari kata keterangan wilayah yaitu wilayah
kerajaan Den Bukit yang bergelar Ida I Gusti Jero Gede Padangbulia lama
kelamaan dari keterangan wilayah menjadi keterangan tempat, dari perubahan kata
keterangan itulah lalu dari kata bulia menjadi bulian menjadi bulian.
Selanjutnya disebut pura-pura diatas dijadikan penyawangan dan tidak mengurangi
arti atau fungsinya. Pada saat Upacara sarin tahun yang jatuh apda Purnama
sasih kapat. Dalam melakukan upacara ini semua pura katuran banten sesuai
masing-masing. Pura Pucak Manggu sebagai hulu maka di pura Dukuh katuran banten
dengan sarana kepala babi, cekik sebagai tangan kiri sarana pala kiri, pura
tamblang, tangkid dan pura bukit sinunggal sebagai tangan kanan katuran banten
pala kanan atau pala tengen laut pura, Pura Mahaayu sebagai pantat katuran
dengan sarana pantat lengkap dengan ekor babi dan Pura Desa serta Pura dalem
kedua pura tersebut katuran banten sarana perut babi dengan upaca tersebut
diyakini seluruh den bukit selalu selamat, aman damai dan sejahtera. Bahkan
pada tahun I Cakra 1265 atau 1343 Raja Asta Sura Ratna Bumibanten atau Gajah
Wakra atau juga yang dikenal dengan nama Sri Raja Tapulung dengan maha patih Ki
Kebo Iwa Bersama keluarga Arya Karang Buncing datang ke kerajaan den Bukit
bertujuan untuk bersama sama mendekatkan diri kepada Sang Hyang Embang ,
mendoakan agar bali tetap aman dan damai, kemudian Sri Raja Tapaulung pergi
menemui Raja Ida I Gusti Agung Gede Suniata yaitu raka ke IV Kerajaan Den Bukit
di padukuhannya yang bernama Wanatambara. Kebesaran nama kerajaan Singhamandawa
tersebut tidak diragukan lagi karena lebih dari 30 buah prasasti yang
ditingkannya. Sri Wira Dalem Keshari Warmadewa menurunkan raja Dinasti
Warmadewa dan keturunnya yang terakhir Asta sura Ratna Bumibanten atau sri raja
Tapaulung maka sejalan dengan perkembangan sejarah terjadi perubahan nama dari
Wilayah Palemeng aji panjang menjadi wilayah den bukit. Hal ini disebabkan
karena setipa orang dari wilayah kerajaan den bukit yang mengadakan interaksi keluar
utamnya di bidang perdagangan/barter banyak menyebutkan identitasnya bahwa
dirinya dari kerajaan den bukit. Begitu pula halnya orang-orang dari lain
negara/kerajaan yang ada di bali membawa dagangannya dengan menyebut kewilayah
kerajaan den bukit sehingga nama pelemeng aji panjang semakin sirna ditelan
jaman demikian juga halnya dari beberapa nama yang diberikan oleh para bijak
hanya nama orang Padangbulia yang terkenal banyak orang dan terus bertahan hingga
kini.
KASEPEKANG
DI DESA ADAT PADANGBULIA TERHADAP
KELAHIRAN BAYI KEMBAR BUNCING “MANAK SALAH”
Mitos hadir disaat pikiran masyarakat
belum mengikuti perkembangan zaman. Tetapi ketika zaman sudah maju, hanya satu
mitos yang menarik perhatian
masyarakat di Buleleng dan masih diingat
keberadaannya. Mitos ini merupakan kasepekang (pengucilan) yang terjadi di desa adat Padang Bulia, Buleleng.
Berawal dari sebuah mitos di mana jika bayi lahir di lingkungan kerajaan, bayi kembar
buncing dianggap berkah yang membawa keberuntungan. Kembar buncing
di lingkungan kerajaan dibesarkan secara terpisah. Setelah mencapai dewasa,
keduanya akan dipertemukan kembali dan dikawinkan sebagai suami istri.
Dibandingkan dengan anak lainnya, anak kembar buncing ini memiliki tempat yang
sangat terhormat di lingkungan kerajaan.
Sebaliknya, jika bayi kembar buncing
lahir di luar lingkungan kerajan, kehadiran sang bayi diyakini sebagai aib.
Bila kita berpedoman pada sastra tua di Bali, anggapan noda aib dari kembar
buncing bersumber dari ajaran raja yang menjelaskan bahwa pasangan bayi kembar
tersebut ketika dalam kandungan telah melakukan hubungan seksual, sehingga
kehadiran kembar buncing dianggap menggangu keharmonisan desa. Lebih dari itu,
desa menjadi tercemar hingga harus dipulihkan melalui sanksi adat yang ditentukan.
Sesuai dengan aturan adatnya, sang bayi kembar harus
menanggung sanksi adat berupa pengucilan ke sebuah lokasi sepi yang sangat jauh
dari perkotaan atau desa tempat tinggalnya. Masa pengucilan bayi kembar buncing
itu harus dijalani selama 105 hari . Selama tenggang waktu itu pula orang tua
bayi tidak dibolehkan beraktivitas , melakukan perjalanan ke luar desa ataupun
mencari nafkah. Pengucilan itu sendiri bermaksud untuk dapat membersihkan aib
bawaan kembar buncing.
Setelah masa pengucilan berakhir, maka
akan diadakan upacara mecaru yang bertujuan untuk menyucikan bayi kembar
tersebut. Namun, bukan hanya itu terkadang orang tua bayi kembar buncing harus
membayar denda dan rela melepas salah satu bayinya. Bayi kembar itu harus
dipisahkan sehingga kelak saat dewasa mereka tak pernah tahu bahwa mereka
adalah saudara kandung dan sedarah, sedangkan para warga desa diminta oleh
peraturan adat untuk merahasiakannya. Selanjutnya, ketua adat akan berusaha
mengawinkan keduanya menjadi sepasang suami istri karena menurut kepercayaan
warga , bayi kembar buncing memang telah dijodohkan sejak dalam rahim.
SYARAT-SYARAT YANG HARUS DILALUI
OLEH ORANG TUA BAYI KEMBAR BUNCING
Prosesi yang harus
dilalui oleh orang tua sang bayi kembar buncing ini sebelum akhirnya diperbolehkan
kembali kerumah miliknya adalah sebagai berikut :
1. Kedua
orang tua beserta bayinya diharuskan untuk keluar dari rumahnya dan pindah ke
rumah darurat yang berdiri di atas tanah Banjar Adat
yang letaknya tepat 800 meter dari tanah pekuburan selama kurang lebih 3 Bulan,
atau sampai yang bersangkutan melihat 3 kali bulan purnama.
2. Selama
dalam pengungsian, kedua orang tua sang bayi serta sang bayi sendiri tak
diperbolehkan untuk melakukan perjalanan keluar desa.
3. Sehari
menjelang berakhirnya pengungsian atau pengucilan ini sang orang tua diwajibkan
untuk melakukan upacara adat lainnya berupa upacara Pecaruan di Jaba Pura Desa.
4. Dan
sehari setelahnya sang orang tua bayi kembar buncing ini pun diharuskan pula
melakukan upacara melasti ke laut / segara yang diyakini sebagai pelarungan
segala kesialan. Pada upacara inilah si orang tua bayi harus merogoh kocek yang
lumayan dalam.
5. Dan
sebagai ritual penutup terhitung sehari seusai melakukan upacara melasti selama
3 hari si orang tua bayi beserta bayinya bersembahyang di tiga Pura Desa yang
mempunyai Balai Agung Pegat. Dan seiring berakhirnya masa sembahyang di hari
yang ketiga ini maka masa pengasingan ini pun selesai dan yang bersangkutan
diperbolehkan kembali ke rumahnya atau melakukan perjalanan ke luar desa.
CONTOH
KASUS KEMBAR BUNCING “MANAK SALAH” DI DESA ADAT PADANGBULIA
Suasana di
Desa Adat Padangbulia, Sukasada, Buleleng, Rabu (16/6) kemarin, terlihat amat
sibuk. Puluhan warga dengan pakaian adat lengkap tampak membersihkan sampah dan
rumput liar di sekitar pura dan jalan-jalan desa, sementara sebagian warga lain
sibuk menggelar upacara penyucian (mecaru) di sejumlah tempat yang sakral.
Kesibukan warga ini ternyata berkaitan dengan
peristiwa kelahiran bayi kembar buncing yang diwarnai dengan dresta pengungsian
atau tapa berata di suatu tempat di sudut desa.
Seharusnya bayi
kembar buah kasih pasangan Nengah Tarsa (34) dan Ketut Susun (39) itu
dipulangkan dari lokasi tapa berata tepat pada Buda
Cemeng Ukir kemarin. Setelah diupacarai dalam upacara penyucian, bayi itu
lantas diantar ke rumah tinggalnya bersama warga adat. Lalu pada hari tilem
sasih sada, Kamis (17/6) hari ini, semestinya bayi itu bersama warga adat
menggelar upacara melasti ke segara.
Namun, di desa
yang sejuk itu, Rabu kemarin, tak ada upacara
penyucian bayi sekaligus prosesi pemulangan. Yang tampak hanya ratusan warga
yang sibuk membakar kubu bekas tempat pengungsian sang bayi, lalu upacara
penyucian di bekas kubu itu dan sejumlah pura serta pelinggih di desa tersebut.
Kenapa tak ada peristiwa pemulangan bayi?
Bendesa Adat
Padangbulia Gusti Nyoman Bisana memaparkan bayi
kembar buncing itu ternyata sudah meninggalkan lokasi tapa berata pada 24 April
lalu, jauh sebelum batas akhir pemulangan yang ditentukan menurut dresta desa
adat. Diceritakan, pada 24 April itu si bayi kembar sakit. Atas seizin desa
adat, bayi itu lantas dibawa ke rumah sakit di Singaraja, dengan perjanjian
setelah sembuh bayi itu akan kembali menempati lokasi tapa berata di sebuah sudut
desa di Padangbulia. Namun, menurut Bisana, ketika pulang dari rumah sakit pada
10 Mei lalu bayi itu ternyata dibawa pulang ke rumah oleh orangtuanya, bukan ke
tempat pengungsian.
Bisana mencoba
melakukan pendekatan agar Tarsa mau kembali
mengikuti dresta adat yakni kembali membawa bayinya ke lokasi tapa berata.
Ternyata pendekatannya gagal, Tarsa malah mengirimkan surat penolakan yang
dilampiri salinan Perda No.10 tahun 1951 tentang penghapusan manak salah. Atas
perbuatannya itu, desa adat menggelar paruman dan memutuskan memberi denda
kepada Tarsa sesuai awig-awig. Denda yang dikenakan berjumlah Rp 2.100.000
karena dianggap melanggar papetetan wong desa dan dianggap berbohong. Selain
itu, desa adat juga mengenakan uang pecamil (semacam ganti rugi) Rp 5.950.000.
Denda itu harus
dibayarkan pada sangkepan desa adat pertama yang akan digelar pada Buda Umanis
Kulantir, 23 Juni mendatang. Jika tak mau
membayar, denda akan dilipatgandakan menjadi dua dan harus dibayar pada
sangkepan adat berikutnya. "Jika terus-terusan tak bayar, maka akan
dikeluarkan dari anggota adat," kata Bisana.
Seperti
diberitakan sebelumnya bayi kembar buncing yang lahir Jumat, 9 April sekitar
pukul 7.40 wita dan pukul 8.10 wita itu menjalani masa pengungsian (tapa
berata) di sebuah tanah kosong di sudut desa. Untuk tempat tinggal, warga adat
membuatkan bayi itu sebuah bangunan sederhana dan setiap malam dijaga warga
secara bergiliran. Pada 21 April bayi itu sempat mau dipulangkan secara
sukarela, namun sebelum keputusan adat diambil secara resmi, tiba-tiba terjadi
peristiwa gaib di mana sekitar 11 warga Desa Adat Padangbulia kerauhan sehingga
pemulangan bayi itu dibatalkan.
DAFTAR RUJUKAN
Dekmaskariani_2011_kasepekang di desa adat padangbulia_http://dekmaskariani.blogspot.com/2011/12/kasepekang-di-desa-adat-padang-bulia.html
Balipost_2004_kasus kembar buncing di padangbulia_http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2004/6/17/b21.htm
Buleleng blogspot_2010_sejarah singkat desa padangbulia_http://sukasada.bulelengkab.go.id/?sik=kantor&bid=47ef412807f12c48bdc5c320c2e20c16
Budaya blogspot_2011_kembar yang terlarang_http://budaya-1992.blogspot.com/2011/10/kembar-yang-terlarang-budaya-nusantara.html
No comments:
Post a Comment