December 28, 2013

KEMBAR BUNCING “MANAK SALAH” DI DESA ADAT PADANGBULIA(Artikel Bali)



KEMBAR BUNCING “MANAK SALAH” DI DESA ADAT PADANGBULIA
Ni Luh Ramadhani Ade Mula
Universitas Pendidikan Ganesha, Jalan Udayana Nomor 11
e-mail : niluhramadhaniademula@gmail.com
Abstrak
Tujuan penulisan artikel ini untuk : (1) agar masyarakat mengetahui sejarah Desa Adat Padangbulia; (2) agar masyarakat mengetahui awig-awig yang mengatur bayi kembar buncing di Desa Padangbulia. Di Bali ada sebuah adat yang unik bila ada penduduk desa melahirkan anak kembar yang berjenis kelamin pria dan wanita atau yang disebut oleh penduduk setempat sebagai kembar buncing. Dulu si orang tua dan bayi kembar buncing ini menurut adat di Bali harus di dipindahkan dari rumah asalnya ke sebuah rumah darurat di atas tanah Banjar Adat yang terletak 800 meter sebelum kuburan dikarenakan menurut kepercayaan setempat bila yang bersangkutan menolak untuk dipindahkan maka semua penduduk desa akan mendapat kutukan atau memada-mada dari Ratu. Setelah masa pengucilan berakhir, maka akan diadakan upacara mecaru yang bertujuan untuk menyucikan bayi kembar tersebut. Namun, bukan hanya itu terkadang orang tua bayi kembar buncing harus membayar denda dan rela melepas salah satu bayinya. Bayi kembar itu harus dipisahkan sehingga kelak saat dewasa mereka tak pernah tahu bahwa mereka adalah saudara kandung dan sedarah, sedangkan para warga desa diminta oleh peraturan adat untuk merahasiakannya. Selanjutnya, ketua adat akan berusaha mengawinkan keduanya menjadi sepasang suami istri karena menurut kepercayaan warga , bayi kembar buncing memang telah dijodohkan sejak dalam rahim.

Kata-kata kunci : Desa Adat Padangbulia, kembar buncing, denda

Abstract
This article aims to: (1) to give information and knowledge towards the society about the history of Padangbulia Village; (2) to remind the society about the traditional customs regarding the different gender twin born in Padangbulia Village. Bali has a unique traditional custom in which parents who are having male and female children born as a twin, they should be moved outside the theritory of the village. They can still stay on the land of the village, but it should over 800 metres from the village borders. If the parents do not want to move, local people believe that the village will get some mystical curse from Ratu (Mada-mada). After the extradition is over, there would be “mecaru” ceremony done in the village to purify the twin children. In other case, the parent should pay certain amount of money or they should give away one of their twin. The twin will be separated, so that when they grow up in the future they will not know one to another. In addition, the villagers are asked to keep and preserve this custom in secret. Furthermore, the head chief of the village will try to make those twin children become a couple because they are believed to be destinied since they were born based on the local believe existing in the village.
Keywords: Padangbulia village, different gender twin, fine





















LATAR BELAKANG
Di Bali ada sebuah adat yang unik bila ada penduduk desa melahirkan anak kembar yang berjenis kelamin pria dan wanita atau yang disebut oleh penduduk setempat sebagai kembar buncing. Dulu si orang tua dan bayi kembar buncing ini menurut adat di Bali harus di dipindahkan dari rumah asalnya ke sebuah rumah darurat di Matas tanah Banjar Adat yang terletak 800 meter sebelum kuburan dikarenakan menurut kepercayaan setempat bila yang bersangkutan menolak untuk dipindahkan maka semua penduduk desa akan mendapat kutukan atau memada-mada dari Ratu.
Tidak itu saja, sang orang tua ini pun masih harus menjalani beberapa prosesi adat lainnya demi membendung murka dari sang ratu. Lantas prosesi seperti apa saja yang harus dilalui oleh orang tua sang bayi kembar buncing ini sebelum akhirnya diperbolehkan kembali ke rumah miliknya.
Berdasarkan fenomena yang ada di Desa Padang Bulia, dalam artikel ini akan dibahas beberapa rumusan masalah, diantaranya : (1) Sejarah singkat Desa Adat Padangbulia; (2) Kasepekang di Desa Adat Padangbulia terhadap Kelahiran Bayi Kembar Buncing “Manak Salah”; (3) Syarat-syarat yang Harus Dilalui Oleh Bayi Kembar Buncing; (4) Contoh Kasus Kembar Buncing “Manak Salah” di Desa Adat Padangbulia.
Penulisan artikel ini bertujuan untuk: (1) agar masyarakat mengetahui sejarah Desa Adat Padangbulia; (2) agar masyarakat mengetahui awig-awig yang mengatur bayi kembar buncing di Desa Padangbulia.

SEJARAH SINGKAT DESA ADAT PADANGBULIA
            Berdasarkan Lontar Dharma Ulangun, Lontar Dalem Madura dan Lontar Jaya Purana, bahwa sebelum daerah Den Bukit di Kuasai oleh Kolonial Belanda yaitu tahun 1949 Masehi, desa Padangulia adalah merupakan suatu pusat kerajaan Den Bukit, yang didirikan oleh Putra ke II raja Bali Kuno Dinasti Singamandawa yang beristana di Pulaki, Putra raja tersebut bernama Ida I Gusti Den Bukit atau I Gusti Made Bukit.
            Kerajaan ini mulai ditata berdirinya pada tahun I Cakra 1057 atau 1135 Masehi yang didirikan oleh beliau beserta pengikutnya bersama sama dengan Penduduk asli/Pasek di Desa ini. Daerah Padangbulia ini dahulu di sebut Desa Tani Agung yang bernama Purbhakara. Penduduk asli Purbhakara sudah mempunyai kepercayaan yaitu menyembah arca Manik yang merupakan palinggih roh leluhur yang diyakini dapat melindungi mereka.
            Kepercayaan semacam ini oleh ahli sejarah yang bernama N.D Pandit Shastri disebut Anismisma. Kerajaan ini dibentuk karena Desa Tani Agung ini mengalami kehancuran yang bersamaan dengan hancurnya Arca Manik yang dipercaya sebagai dewa di desa ini. Akibat kehancuran yang menimpa desa inilah putra kedua raja Dinasthi Singhamandawa yang beristana di Pulaki karena merasa iba ingin berkunjung ke Desa Tani Agung (Purbakara).
            Dengan dibekali banyak senjata pusaka oleh ayahanda yaitu Sang Raja, lalu beliau meninggalkan istana Pulaki beserta para pengikutnya dan angkatan perang/papadu yang bernama Bendesa Pasek Macan Gading. Setelah tiba di Desa Tani Agung benarlah bahwa desa tersebut kondisinya memperhatinkan, lalu di bangunlah pemerintah baru dengan bergotong royong, bahu membahu secara bersama-sama. Pendiri Pemerintah Kerajaan Den Bukit ini berpusat di Desa Padangbulia sekarang menjadi Krama Desa Marep, sedangkan para warga yang dtang belakangan setelah berdirinya kerajaan ini adalah menjadi Kerama Desa Sampingan. Menurut kelompok pengkajian Budaya Bali Utara ( Noet Balinese Study Grup ) yaitu Drs. I Gusti Ketut Simba dan DR Soegianto Sastrodiwiryo mengatakan bahwa dilihat dari struktur palinggih yang terdapat di pura Desa Padangbulia maka diyakininya Desa Padangbulia adalah dahulu merupakan bekas pusat kerajaan dan Puri Agung Jero Gede Padangbulia adalah pusat Istana Raja tersebut pada tahun 1177 masehi ada tujuh kerajaan di Bali Dwipa yang semuanya merupakan keturunan raja Singhamandawa yang di sebut sapta Nagara, tentang keberadaan kerajaan ini juga telah diteliti secara mendasar oleh para ahli sejarah lainnya yaitu Dr. Stutterheim, Dr. L.C. Damais dan DR Goris.
            Dalam lontar Dalem Madura menyebutkan bahwa setelah Raja tersebut turun temurun sampai keturunan kalmia, maka mempunyai tiga orang putra yaitu yang pertama bernama Ida Ratu Kaler atau juga disebut Ida I Gusti Kaler yang kedua bernama Ida I Gusti Den Bukit atau juga disebut Ida i Gusti Made Bukit dan yang ketiga bernama Ida I Gusti Umabiaan atau disebut Ida I Gusti Nyoman Gunung, Ida Ratu Kaler beristina di Mayong bergelar Ida I Gusti Jero Gede Mayong. Ida I Gusti Den Bukit beristana di Desa Tani Agung yang bernama Purbhakara bergelar Ida I Gusti Jero Gede Padangbulia, Ida I Gusti Umaabian beristana di Umabiaan bergelar Ida I Gusti Jero Gede Umajero merupakan catur Desa yaitu mewilayahi Tamblingan, Desa Munduk, Desa Gesing dan Desa Uma Jero.
I Gusti Jero Gede adalah terdiri dari kata I Gusti dan Jero Gede. I Gusti adalah titel penghormatan tertinggi yang dibawa dari Jawa, titel ini biasanya dieruntukkan kepada I Gusti Prabu, I Gusti Allah dan lain-lain sedangkan Jero Gede merupakan bahasa Bali Kuno yang artinya Anak Agung atau Dalem kalau ditelusuri lebih lanjut bahwa tempat tinggal atau istana ketiga putra raja dinasti sanghamandawa itu adalah merupakan bagian wilayah palemeng aji panjang. Raja Ida I Gusti den bukit tiada beda dengan leluhur beliau yaitu selalu ingin batinnya dengan sanghyang embang, merintis pemerintahan baru yang dibentuknya itu dengan diawali membuat pelinggih para kawitan pendiri pemerintahan kerajaan den bukit, dengan istana kerajaannya bernama Puri agung Jero Gede Padangbulia. Beliau bersama kai tangfan penduduk setempat maupun rakyatnya mengadakan upacara seperti upacara sarin tahun upacara penyucian tri hita karana yang sesuai dengan situasi kondisi setempat sebagai desa tua, berdasarkan dengan isi beberapa lontar diantaranya lontar coak, sri teka, jayeng lange, jaya purana, darma ulangun, brahma sapa, dewa tatwa dll. Yang semua itu merupakan perujudan kerangka dasar agama hindu yaitu tatwa susila dan upakara oleh karena itu beliau atau kerajaannya diberi banyak nama oleh para orang bijaksana seperti gelar Ida I Gusti Jro Gede Padangbulia. Padangbulia adalah berasal dari kata Padang dan Bulia, dimana Padang artinya terang atau cahaya dan bulia berasal dari kata mulia. Jadi padangbulia arti sesungguhnya adalah cahaya atau surya yang mulia sedangkan surya pada umumnya diidentikan dengan raja selain itu juga disebut Prabakula dimana praba artinya sinar atau surya sedangakn kula adalah kaula jadi prabakula adalah dimaksudkan sesuatu kerajaan yang dibangun bersama-sama yaitu raja dan rakyat atau menganut konsep rwa binreda yaitu purusa. Perdana atau akasa dan pertiwi. Widarbasari juga terdiri dari kata Widarba yang artinya padang atau sinar dan sari artinya inti atau pusat jadi widarbasari mengandung arti pusat sinar atau pusat kerajaan atau kemungkinan juga mengandung arti bahwa widarba sama dengan padang /padi dan sari sama dengan hasil. Ari wita artinya adalah ari sama dengan mempunyai sedangkan wita barang-barang yang berharga atau utama. Barang-barang utama yang dimaksud kemungkinan ada kaitannya dengan senjata-senjata pusaka raja den bukit yang tersimpan dipejenengan puri agung den bukit jro gede padangbulia dari nama raja Ida I Gusti Den Bukit yang bergelar Ida I Gusti Jro Gede Padangbulia, Raja Ida I Gusti Den Bukit yang bergelar Ida I Gusti Jero Gede Padangbulia didalam melakukan upacara itu perlu efesiensi waktu dan tenaga untuk itu semua batas-batas wilayahnya tersebut dibuatkan pura pasimpangan sebagai penyawangan dipusat kota kerajaan den bukit yaitu : 1. Pura Pucak Manggu sebagai batas selatan terletak diwilayah gitgit disebut dengan pura dukuh akan tetapi sejak tahun i Caka 1555 Pucak Manggu menjadi kekuasaan mengwi dan menjadi batas kabupaten buleleng. 2. Cekik sebagai batas barat yang sekarang Pura Cekik. 3. Pura bukit Sinunggal dan pura dalem tamblang tangkid, dibuatkan pura Tamblang/Pura Keladian. 4. Laut dibuatkan Pura Mahaayu. 5. Pusat adalah kota kerajaan pura desa.
            Danau Bulian adalah bersal dari kata Embung bulian dimana embung artinya telaga atau danau dan bulia adalah diambil dari kata keterangan wilayah yaitu wilayah kerajaan Den Bukit yang bergelar Ida I Gusti Jero Gede Padangbulia lama kelamaan dari keterangan wilayah menjadi keterangan tempat, dari perubahan kata keterangan itulah lalu dari kata bulia menjadi bulian menjadi bulian. Selanjutnya disebut pura-pura diatas dijadikan penyawangan dan tidak mengurangi arti atau fungsinya. Pada saat Upacara sarin tahun yang jatuh apda Purnama sasih kapat. Dalam melakukan upacara ini semua pura katuran banten sesuai masing-masing. Pura Pucak Manggu sebagai hulu maka di pura Dukuh katuran banten dengan sarana kepala babi, cekik sebagai tangan kiri sarana pala kiri, pura tamblang, tangkid dan pura bukit sinunggal sebagai tangan kanan katuran banten pala kanan atau pala tengen laut pura, Pura Mahaayu sebagai pantat katuran dengan sarana pantat lengkap dengan ekor babi dan Pura Desa serta Pura dalem kedua pura tersebut katuran banten sarana perut babi dengan upaca tersebut diyakini seluruh den bukit selalu selamat, aman damai dan sejahtera. Bahkan pada tahun I Cakra 1265 atau 1343 Raja Asta Sura Ratna Bumibanten atau Gajah Wakra atau juga yang dikenal dengan nama Sri Raja Tapulung dengan maha patih Ki Kebo Iwa Bersama keluarga Arya Karang Buncing datang ke kerajaan den Bukit bertujuan untuk bersama sama mendekatkan diri kepada Sang Hyang Embang , mendoakan agar bali tetap aman dan damai, kemudian Sri Raja Tapaulung pergi menemui Raja Ida I Gusti Agung Gede Suniata yaitu raka ke IV Kerajaan Den Bukit di padukuhannya yang bernama Wanatambara. Kebesaran nama kerajaan Singhamandawa tersebut tidak diragukan lagi karena lebih dari 30 buah prasasti yang ditingkannya. Sri Wira Dalem Keshari Warmadewa menurunkan raja Dinasti Warmadewa dan keturunnya yang terakhir Asta sura Ratna Bumibanten atau sri raja Tapaulung maka sejalan dengan perkembangan sejarah terjadi perubahan nama dari Wilayah Palemeng aji panjang menjadi wilayah den bukit. Hal ini disebabkan karena setipa orang dari wilayah kerajaan den bukit yang mengadakan interaksi keluar utamnya di bidang perdagangan/barter banyak menyebutkan identitasnya bahwa dirinya dari kerajaan den bukit. Begitu pula halnya orang-orang dari lain negara/kerajaan yang ada di bali membawa dagangannya dengan menyebut kewilayah kerajaan den bukit sehingga nama pelemeng aji panjang semakin sirna ditelan jaman demikian juga halnya dari beberapa nama yang diberikan oleh para bijak hanya nama orang Padangbulia yang terkenal banyak orang dan terus bertahan hingga kini.
KASEPEKANG DI  DESA ADAT PADANGBULIA TERHADAP KELAHIRAN BAYI KEMBAR BUNCING “MANAK SALAH”
Mitos hadir disaat pikiran masyarakat belum mengikuti perkembangan zaman. Tetapi ketika zaman sudah maju, hanya satu mitos yang  menarik perhatian masyarakat  di Buleleng dan masih diingat keberadaannya. Mitos ini merupakan kasepekang (pengucilan) yang  terjadi di desa adat Padang Bulia, Buleleng. Berawal dari sebuah mitos di mana jika bayi lahir di lingkungan kerajaan, bayi kembar buncing dianggap berkah yang membawa keberuntungan. Kembar buncing di lingkungan kerajaan dibesarkan secara terpisah. Setelah mencapai dewasa, keduanya akan dipertemukan kembali dan dikawinkan sebagai suami istri. Dibandingkan dengan anak lainnya, anak kembar buncing ini memiliki tempat yang sangat terhormat di lingkungan kerajaan.
Sebaliknya, jika bayi kembar buncing lahir di luar lingkungan kerajan, kehadiran sang bayi diyakini sebagai aib. Bila kita berpedoman pada sastra tua di Bali, anggapan noda aib dari kembar buncing bersumber dari ajaran raja yang menjelaskan bahwa pasangan bayi kembar tersebut ketika dalam kandungan telah melakukan hubungan seksual, sehingga kehadiran kembar buncing dianggap menggangu keharmonisan desa. Lebih dari itu, desa menjadi tercemar hingga harus dipulihkan melalui sanksi adat yang ditentukan.
Sesuai dengan aturan adatnya, sang bayi kembar harus menanggung sanksi adat berupa pengucilan ke sebuah lokasi sepi yang sangat jauh dari perkotaan atau desa tempat tinggalnya. Masa pengucilan bayi kembar buncing itu harus dijalani selama 105 hari . Selama tenggang waktu itu pula orang tua bayi tidak dibolehkan beraktivitas , melakukan perjalanan ke luar desa ataupun mencari nafkah. Pengucilan itu sendiri bermaksud untuk dapat membersihkan aib bawaan kembar  buncing.
Setelah masa pengucilan berakhir, maka akan diadakan upacara mecaru yang bertujuan untuk menyucikan bayi kembar tersebut. Namun, bukan hanya itu terkadang orang tua bayi kembar buncing harus membayar denda dan rela melepas salah satu bayinya. Bayi kembar itu harus dipisahkan sehingga kelak saat dewasa mereka tak pernah tahu bahwa mereka adalah saudara kandung dan sedarah, sedangkan para warga desa diminta oleh peraturan adat untuk merahasiakannya. Selanjutnya, ketua adat akan berusaha mengawinkan keduanya menjadi sepasang suami istri karena menurut kepercayaan warga , bayi kembar buncing memang telah dijodohkan sejak dalam rahim.

SYARAT-SYARAT YANG HARUS DILALUI OLEH ORANG TUA BAYI KEMBAR BUNCING
Prosesi yang harus dilalui oleh orang tua sang bayi kembar buncing ini sebelum akhirnya diperbolehkan kembali kerumah miliknya adalah sebagai berikut :
1.      Kedua orang tua beserta bayinya diharuskan untuk keluar dari rumahnya dan pindah ke rumah darurat yang berdiri di atas tanah Banjar Adat yang letaknya tepat 800 meter dari tanah pekuburan selama kurang lebih 3 Bulan, atau sampai yang bersangkutan melihat 3 kali bulan purnama.
2.      Selama dalam pengungsian, kedua orang tua sang bayi serta sang bayi sendiri tak diperbolehkan untuk melakukan perjalanan keluar desa.
3.      Sehari menjelang berakhirnya pengungsian atau pengucilan ini sang orang tua diwajibkan untuk melakukan upacara adat lainnya berupa upacara Pecaruan di Jaba Pura Desa.
4.      Dan sehari setelahnya sang orang tua bayi kembar buncing ini pun diharuskan pula melakukan upacara melasti ke laut / segara yang diyakini sebagai pelarungan segala kesialan. Pada upacara inilah si orang tua bayi harus merogoh kocek yang lumayan dalam.
5.      Dan sebagai ritual penutup terhitung sehari seusai melakukan upacara melasti selama 3 hari si orang tua bayi beserta bayinya bersembahyang di tiga Pura Desa yang mempunyai Balai Agung Pegat. Dan seiring berakhirnya masa sembahyang di hari yang ketiga ini maka masa pengasingan ini pun selesai dan yang bersangkutan diperbolehkan kembali ke rumahnya atau melakukan perjalanan ke luar desa.

CONTOH KASUS KEMBAR BUNCING “MANAK SALAH” DI DESA ADAT PADANGBULIA
Suasana di Desa Adat Padangbulia, Sukasada, Buleleng, Rabu (16/6) kemarin, terlihat amat sibuk. Puluhan warga dengan pakaian adat lengkap tampak membersihkan sampah dan rumput liar di sekitar pura dan jalan-jalan desa, sementara sebagian warga lain sibuk menggelar upacara penyucian (mecaru) di sejumlah tempat yang sakral. Kesibukan warga ini ternyata berkaitan dengan peristiwa kelahiran bayi kembar buncing yang diwarnai dengan dresta pengungsian atau tapa berata di suatu tempat di sudut desa.
Seharusnya bayi kembar buah kasih pasangan Nengah Tarsa (34) dan Ketut Susun (39) itu dipulangkan dari lokasi tapa berata tepat pada Buda Cemeng Ukir kemarin. Setelah diupacarai dalam upacara penyucian, bayi itu lantas diantar ke rumah tinggalnya bersama warga adat. Lalu pada hari tilem sasih sada, Kamis (17/6) hari ini, semestinya bayi itu bersama warga adat menggelar upacara melasti ke segara.
Namun, di desa yang sejuk itu, Rabu kemarin, tak ada upacara penyucian bayi sekaligus prosesi pemulangan. Yang tampak hanya ratusan warga yang sibuk membakar kubu bekas tempat pengungsian sang bayi, lalu upacara penyucian di bekas kubu itu dan sejumlah pura serta pelinggih di desa tersebut. Kenapa tak ada peristiwa pemulangan bayi?
Bendesa Adat Padangbulia Gusti Nyoman Bisana memaparkan bayi kembar buncing itu ternyata sudah meninggalkan lokasi tapa berata pada 24 April lalu, jauh sebelum batas akhir pemulangan yang ditentukan menurut dresta desa adat. Diceritakan, pada 24 April itu si bayi kembar sakit. Atas seizin desa adat, bayi itu lantas dibawa ke rumah sakit di Singaraja, dengan perjanjian setelah sembuh bayi itu akan kembali menempati lokasi tapa berata di sebuah sudut desa di Padangbulia. Namun, menurut Bisana, ketika pulang dari rumah sakit pada 10 Mei lalu bayi itu ternyata dibawa pulang ke rumah oleh orangtuanya, bukan ke tempat pengungsian.
Bisana mencoba melakukan pendekatan agar Tarsa mau kembali mengikuti dresta adat yakni kembali membawa bayinya ke lokasi tapa berata. Ternyata pendekatannya gagal, Tarsa malah mengirimkan surat penolakan yang dilampiri salinan Perda No.10 tahun 1951 tentang penghapusan manak salah. Atas perbuatannya itu, desa adat menggelar paruman dan memutuskan memberi denda kepada Tarsa sesuai awig-awig. Denda yang dikenakan berjumlah Rp 2.100.000 karena dianggap melanggar papetetan wong desa dan dianggap berbohong. Selain itu, desa adat juga mengenakan uang pecamil (semacam ganti rugi) Rp 5.950.000.
Denda itu harus dibayarkan pada sangkepan desa adat pertama yang akan digelar pada Buda Umanis Kulantir, 23 Juni mendatang. Jika tak mau membayar, denda akan dilipatgandakan menjadi dua dan harus dibayar pada sangkepan adat berikutnya. "Jika terus-terusan tak bayar, maka akan dikeluarkan dari anggota adat," kata Bisana.
Seperti diberitakan sebelumnya bayi kembar buncing yang lahir Jumat, 9 April sekitar pukul 7.40 wita dan pukul 8.10 wita itu menjalani masa pengungsian (tapa berata) di sebuah tanah kosong di sudut desa. Untuk tempat tinggal, warga adat membuatkan bayi itu sebuah bangunan sederhana dan setiap malam dijaga warga secara bergiliran. Pada 21 April bayi itu sempat mau dipulangkan secara sukarela, namun sebelum keputusan adat diambil secara resmi, tiba-tiba terjadi peristiwa gaib di mana sekitar 11 warga Desa Adat Padangbulia kerauhan sehingga pemulangan bayi itu dibatalkan.

DAFTAR RUJUKAN
Dekmaskariani_2011_kasepekang di desa adat padangbulia_http://dekmaskariani.blogspot.com/2011/12/kasepekang-di-desa-adat-padang-bulia.html
Balipost_2004_kasus kembar buncing di padangbulia_http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2004/6/17/b21.htm
Buleleng blogspot_2010_sejarah singkat desa padangbulia_http://sukasada.bulelengkab.go.id/?sik=kantor&bid=47ef412807f12c48bdc5c320c2e20c16












No comments:

Post a Comment

Cara Membuat Effect Hollogram dengan Photoshop

Om Swastiastu Kawand-kawand Youtuber... Oke kawand-kawand pada hari ini saya akan memberikan tutorial efek photoshop kali ini, mimin ...