SEMARAK BUDAYA MEGOAK-GOAKAN DI
DESA PANJI, KECAMATAN SUKASADA, KABUPATEN BULELENG
Oleh
Made Enny Budi Astuti
Email: diasenny@gmail.com
Jalan Pulao Timur, Gang
Gagak, 35 Banyuning Barat.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
Jalan Udayana, 11 Singaraja.
ABSTRACT
Culture
is the result of creativity, initiative, and a sense of human preserved.
Culture is a whole system of ideas and the work of human action in order to be
a society that human beings have a way of learning (Soerjanto Poespowardojo:
1993). One culture or tradition is still preserved in Bali, especially in the
village of Panji, Sukasada subdistrict, Buleleng Regency is a culture or
tradition Magoak-goakan dance. This
dance is carried by all villagers Flag with spirit and with togetherness. This
dance is usually performed before the Nyepi,
namely when Ngembak Geni. This dance comes from the historical King Bueleng Ki Barak Panji Sakti in the battle
against Belambangan. Before dancing the players typically perform prayers in Pura Desa first, then play the way
running around on a field full of water.
Keyword:
Megoak-goakan Culture Panji Village.
ABSTRAK
Budaya adalah hasil
cipta, karsa, dan rasa manusia yang dijaga kelestariannya. Budaya adalah keseluruhan sistem gagasan
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar (Soerjanto Poespowardojo: 1993).
Salah satu Budaya atau tradisi yang masih di lestarikan di Bali khususnya di
Desa Panji, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng adalah Budaya atau Tradisi
Tarian Magoak-goakan. Tarian ini di
laksanakan oleh semua masyarakat Desa Panji dengan semangat dan dengan
kebersamaan yang kuat. Tarian ini biasanya dilaksanakan menjelang hari raya
Nyepi yaitu pada saat Ngembak Geni. Tarian ini berasal dari sejarah Raja
Bueleng yaitu Ki Barak Panji Sakti dalam peperangannya melawan Belambangan.
Sebelum menari pemain biasanya melakukan persembahyangan terlebih dahulu di
Pura Desa, lalu bermain dengan cara berlari-lari di lapangan yang penuh air.
Kata
kunci: Megoak-goakan Budaya Desa
Panji.
I. PENDAHULUAN
Bali merupakan tempat yang memiliki ragam budaya yang unik
dan indah. Bali memiliki banyak kebudayaan yang sampai sekarang masih
dipertahankan kelestariannya. Bali yang mayoritas agama Hindu masing-masing
mempunyai budaya yang berbeda-beda. Namun walaupun demikian perbedaan itu
dijadikan jalan untuk mencapai tujuan agama Hindu yang patut kita lestarikan. Dengan
demikian pemeluk Hindu senantiasa dimotivasi untuk terus berkreasi untuk
mengembangkan agama Hindu. Kreasi dan tradisi harus senantiasa membawa visi dan
misi yang telah ada dalam kitab suci agama Hindu. Mahatma Gandhi mengatakan,
berenang di lautan tradisi adalah suatu keindahan. Namun kalau sampai tenggelam
dalam lautan tradisi adalah suatu ketololan (Wiana, 2002: 3).
Dalam kaitannya dengan
budaya Bali pada awal pertumbuhan para tokoh menjadikan keyakinan agama Hindu
sebagai pendorong munculnya budaya adalah ide, aktivitas, dan budaya materi
tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu (Koentjaraningrat 1974:19).
Megoak-goakan adalah salah satu bukti kekayaan
budaya dan tradisi di Bali yang masih dipertahankan kelestariannya sampai saat
in. Megaok-goakan merupakan tarian tradisional rakyat khususnya tarian khas
Desa Panji yang biasanya dipentaskan menjelang Hari Raya Nyepi yaitu pada saat
Ngembak Geni.
Nama Megoak-goakan sendiri diambil dari nama
Burung Gagak (Goak yang gagah) yang terilhami ketika melihat burung ini tengah
mengincar mangsanya. Kegiatan Megoak-goakan sendiri merupakan pementasan ulang
dari sejarah kepahlawanan Ki Barak Panji Sakti yang dikenal sebagai Pahlawan
Buleleng Bali ketika menaklukkan Kerajaan Blambangan di Jawa Timur. Secara
turun temurun Megoak-goakan konsisten terus dilaksanakan dan dijaga
kelestariannya sampai saat ini. Ketika merayakan acara Megoak-goakan ini
suasana kekeluargaan dan kegembiraan warga yang merayakan akan sangat terasa
sekali. Meskipun tak jarang para peserta yang melakukannya harus jungkir balik
karena memang arena yang dipakainya susah, namun sama sekali tidak mengendurkan
semangay dan antusiasme warga yang mengikutinya.
Bagi warga yang sudah ikut, bisa langsung
pulang atau menonton rekannya bermain. Dalam permainan tradisi kolot ini, satu
regu terdiri dari 11 peserta yang melawan kelompok yang lainnya dengan jumlah
yang sama. Supaya tertib, maka dalam arena permainan diatur oleh pecalang.
Disebutkan filosofi permainan ini, sebagai wujud purusa pradana (laki-laki
melawan perempuan). Penentuan kemenangan adalah kelompok goak yang pertama kali
mampu menangkap ekor (orang yang paling belakang) dalam kelompok lawannya. Maka
dialah pemenangnya.
Menurut masyarakat Desa Panji, Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng,
Magoak-goakan diyakini oleh masyarakat setempat
bertujuan untuk mejaga hubungan yang harmonis antar sesama masyarakat yang
melakukan tradisi Magoak-goakan. Sehinga perlu kajian filosofis, agar
tradisi ini tidak punah, dan masih tetap eksis dan berlaku di kalangan masyarat
hindu.
Tradisi Magoak-goakan
ini menjadi tolak ukur masyarakat Desa Panji untuk penghormatan terhadap
raja Panji dengan pasukannya yang bernama Teruna Goak. Tradisi Magoak-goakan
dapat dikaitkan dengan ajaran agama Hindu yang dimana dalam Agama Hindu di
kenal dengan adanya konsep Tri Hita Karana dimana hubungan yang harmonis
sangat di harapkan. Filosofis Tri Hita Karana mengajarkan bahwa
kebahagiaan manusia akan dapat dicapai bila manusia mampu menjaga keharmonisan
hubungan antar manusia dengan penciptanya (prahyangan), manusia dengan
alam (palemahan), dan manusia dengan sesamanya (pawongan)
(Windia, 2006: 26).
II.
PEMBAHASAN
Tradisi
Magoak-goakan berasal dari Desa Panji, Kecamatan Sukasada, Kabupaten
Buleleng. Permainan ini diperkirakan sudah ada pada masa pemerintahn Ki Gusti
Ngurah Panji Sakti di Buleleng. Konon kemunculan permainan tradisional ini
dilatarbelakangi persoalan politik berkaitan dengan kekusaan raja Ki Gusti
Ngurah Panji Sakti ke Blambangan Jawa Timur. Diceritakan Raja Ki Gusti Ngurah
Panji Sakti hendak mau menyerang ke Blambangan, pada saat itulah Ki Tamblang
Sampun mendapat perintah dari I Gusti Anglurah Panji untuk memanggil seluruh
anggota laskar Taruna Goak untuk berkumpul di halaman Puri Panji. Acara
dimulai dengan upacara ritual dan disusul pementasan tarian "Baris Goak"
yang ditarikan oleh 20 orang anggota pasukan. Setelah itu dimulailah permainan
"Magoak-goakan", yaitu permainan "Madangdang-dangdangan",
yaitu permainan saling isi mengisi keinginan sadrasa antara anggota
dalam permainan.
Masing-masing
orang bergiliran menjadi "Goak" yang boleh meminta apa saja
yang diinginkan. Seluruh pemain telah mendapatkan apa yang mereka inginkan,
makanan-minuman (boga), pakaian, perabot (upaboga) termasuk
perempuan untuk isteri (pariboga). Semua itu diberikan oleh I Gusti
Ngurah Panji kepada anggota "Taruna Goak". Pada giliran akhir,
I Gusti Ngurah Panji menjadi "Goak". Seluruh pasukan Taruna
Goak serempak bertanya: "Hai Goak, apa keinginanmu?" Sang Goak
menjawab:
"Guaak, gwaak, gaak, aku ingin
menggempur Blambangan.....!!"(... ri uwusiŋ samaŋkana / gumanti sri bupati
dadi gowak / tinaňan deniŋ papatih kabeh / gowak apa karĕpmu / sumawur tikaŋ
gowak / gowak guwak / wak / arĕp anjayêŋ Braŋbaŋan / asurak tikaŋ wwaŋ kabeh /
apan sĕsĕk syuh pĕnuh punaŋ bala ananonton /..)
Terjemahan:
Seketika riuh
bersorak gemuruh dengan penuh semangat untuk memenuhi keinginan Sang Goak,
tidak lain I Gusti Anglurah Panji sebagai goak. Para hadirin dan penonton
semuanya bersorak riuh memberi dukungan semangat untuk mengempur Blambangan.
Penyerangan "Taruna
Goak" ke Blambangan. Laskar Den Bukit "Taruna Goak"
harus telah dipersiapkan dengan segala kemampuan karena I Gusti Anglurah Panji
menyadari bahwa prajurit Blambangan dengan pasukan berpengalaman yang terkenal
kebal senjata dengan ilmu tenung. Oleh karena itu persiapan matang harus
dilakukan. Selain keris, tombak dan panah juga dikembangkan senjata sumpit
dengan panah beracun. Lagi pula letak ibu kota Blambangan berpindah beberapa
kali membuat strategi penyerangan sulit.
Laskar
dibagi empat bagian, termasuk armada kapal laut, pasukan panah, sumpit, tombak
termasuk pasukan senjata api (bedil) dan logistik. Setelah ditentukan
hari yang baik oleh Sang Bhagawanta mulailah pasukan bertolak ke
Blambangan dipimpin oleh I Gusti Ngurah Panji berbekal senjata keris pusaka Ki
Semang dengan tulup Ki Pangkajatattwa. Selain itu ada dua senjata
bertuah asli buatan Banjar, Ki Baru Ketug dibawa oleh I Gusti Tamlang dan Ki
Baru Sakoti dibawa oleh I Gusti Batan. Armada kapal berlayar melalui Segara
Rupek menuju pantai Tirta Arum. Penduduk sangat terkejut munculnya pasukan Taruna
Goak yang menyerang tiba-tiba. Banyak penduduk yang lari tanpa arah, ada
yang ke utara dan ke selatan, ada yang lari menuju kota. Sampai di Banger
mendapat perlawanan sengit dari pasukan Macan Putih Blambangan. Pertempuran
berkecamuk secara membabi buta. Mayat bergelimpangan dan darah membasahi medan
pertempuran.
Pasukan
Bali sangat ahli mempergunakan senjata sumpit sehingga banyak jatuh korban dari
pihak laskar Macan Putih tak akan mampu menandingi pasukan Bali, dengan
demikian Kerajaan Blambangan dapat dikuasai oleh I Gusti Ngurah Panji. Ribuan
prajurit Blambangan menyerahkan diri kepada Patih I Gusti Tamblang dan
bersumpah setia kepada I Gusti Anglurah Panji Raja Den Bukit. Setelah beberapa
lama berada di Blambangan, beliau mengangkat putranya tertua I Gusti Ngurah
Wayan sebagai Raja Blambangan dengan pasukan prajurit 600 orang ( Sejarah
Buleleng: 14-16).
Adapun aturan permainan ini yaitu Masyarakat
berkumpul di lapangan Desa Panji, sebelum pelaksanaan masyarakat mengalirkan
air untuk menggenangi lapangan setempat. Yang tujuannya adalah untuk para
pemain goak yang jatuh pada saat melakukan permainan ini tidak terluka.
Adapun aturan permainan yang ada dalam tradisi Magoak-goakan antara
lain, pemain di depan harus bisa menangkap ekor yang ada di belakang, jika
ekornya sudah tertangkap maka selesailah permainan Magoak-goakan, dan
pemeran goak tadi masuk kedalam barisan, dan digantikan oleh pemain goak
yang lainnya. Untuk memerankan menjadi goak tidaklah mudah untuk
berlari, melainkan faktor lapangan yang becek mengakibatkan peserta cepat
jungkir balik, karena ikat pinggangnya juga dipegang dari belakang.
Permainan
ini dilakukan di lapangan Desa Panji, dari masyarakat sangat antusias turun ke
lapangan setempat untuk ikut ataupun menyaksikan pelaksanaan tradisi Magoak-goakan
tersebut, karena dalam permainan ini tak ada yang mengkordinir, ataupun
memaksa untuk ikut melaksanakan tradisi Magoak-goakan tersebut. Adapun
tradisi Magoak-goakan ini dilakukan pada saat Ngembak Geni, yang
dimulai pada sore hari dari jam 15.00- selesai. Tujuan dalam pelaksanaan ini
adalah untuk menjalin rasa manyama braya diantara masyarakat yang ikut
melaksanakannya tradisi Magoak-goakan, dan sebagai ajang pelestarian
budaya yang diwariskan para leluhur.
Dalam
tradisi Magoak-goakan masyarakat Panji sangat antusias untuk
mengikutinya. Baik yang ikut serta dalam permainan maupun yang menonton.
Komposisi dalam permainan tardisi ini yaitu berleret ke belakang,
berselang-seling antara pemain perempuan dengan yang laki-laki. Dalam permainan
ini, 5 pemain goak berlari sekuat tenaga untuk menangkap ekor dari
permainan itu sendiri.
Adapun
fungsi dari Tarian Magoak-goakan ini antara lain Tradisi Magoak-goakan yang
dilaksanakan dengan penuh rasa kebersamaan oleh masyarakat Panji, karena
tradisi ini sudah mendarah daging dapat dianggap sebagai segala aspek yang
mempengaruhi segala kehidupan masyarakat Panji sendiri, yang terdapat dalam
kehidupan beragama maupun dalam kehidupan sosial. Jadi berdasarkan dari sejarah
dan asal-usul timbulnya tradisi Magoak-goakan yang berada di lingkungan
masyarakat Panji, dapat digolongkan menjadi lima fungsi, yang meliputi:
A. Fungsi
Religius
Untuk
mencapai kedamaian secara mantap, maka ketiga unsur sebagai pencipta dalam
kesejahteraan, yaitu disebut dengan ajaran Tri Hita Karana antara lain: Parahyangan,
Palemahan, dan Pawongan. Ketiga unsur di atas bekerja dengan rapi
untuk bekerja saling jalin menjalin, sehingga Desa betul-betul merupakan badan
hukum yang komplit, karena merupakan suatu kehidupan (Cudamani, 1989: 75).
Dalam
pelaksanaanya melalui mendekatkan diri dengan Dewa-Dewi, dan para leluhur, yang
diawali dengan persembahyangan di pura Pajenengan Panji. Dalam persembahyangannya tidak ada
yang memimpin diharapkan dapat membantu manusia untuk menjalin rasa
persaudaraan dan kesejahteraan.
B. Keharmonisan
Keharmonisan
dalam kamus Besar Bahasa Indonesia Tim-Penyusun (1991:342), mengandung arti suatu
keadaan yang selaras atau serasi dimana keserasian ini diakibatkan beberapa
faktor yang ikut menjadi bagian yang saling menguntungka, sedangkan keselarasan
mengandung makna kesesuia, pusat pelaku dalam harmonisasi yang hidup di Bumi
berusaha untuk menyelaraskan, menyesuaikan dan mencocokkan dirinya dengan
Tuhan, sesama manusia, maupun dengan lingkungan yang ada disekitarnya.
Dalam kitab Manawa
Dharmasastra III, 76 dikatakan:
agnau
prastahutih samsyag
adityam
upatistate,
adityajjayate
vrstir
vrsterannamtatah
prajah.
Terjemahan:
Pesembahan yang
dimasukkan api akan mencapai matahari, Dari matahari akan turunlah hujan, Dari
hujan timbullah makanan dari mana maklhuk hidup mendapatkan hidupnya . Apa yang
kita terima dari alam sudah sepantasnyalah kita kembalikan kea lam, proses itu
akan berulang kembali, karena berjalan dengan adil. Tradisi Magoak-goakan bertujuan
untuk menciptakan keseimbangan, keharmonisan, dan keselarasan dalam diri,
maupun untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Adapun kegiatan yang bersifat ritual, baik
yang berkaitan dengan agama maupun tradisi. Magoak-goakan adalah sebagai
warisan yang diyakini memiliki arti dan makna bagi masyarakat Panji, dan dapat
rasa kebersamaan dan keharmonisan.
C. Sosial Budaya
Dilihat dari segi sosial
budaya tradisi Magoak-goakan ini sebagai alat untuk menjalin rasa
persatuan, persaudaraan, rasa tanggungjawab bersama sebagai faktor utama dalam
pembangunan, dan tercapinya masyarakat yang adil. Dengan adanya kesatuan,
persaudaraan, dan persamaan hak dan kewajiban maka timbullah rasa tanggungjawab
dan kesetiaan masyarakat Desa demi tercapai kesejahteraan bersama. Berdasarkan
kenyataan mengenai jumlah masyarakat yang ikut dalam tradisi Magoak-goakan,
dapat diukur seberapa besar kekuatan tenaga kerja, dan sifat gotong royang
sebagai faktor utama didalam pembangunan, demi tercapainya masyarakat adil dan
sejahtera.
D. Solidaritas
Manusia
adalah homo sosius yang tidak bisa lepas dari orang lain, manusia tidak dapat
hidup sendirian, dan selalu hidup bersama-sama dengan manusia lain. Manusia
hanya dapat hidup dengan baik apabila ia hidup bersama-sama manusia lain dalam
masyarakat. Dalam kehidupan ini tak bisa dibayangkan apabila manusia hidup
sendiri, tanpa berhubungan dan bergaul dengan sesama manusia lainya. Hanya
dalam hidup bersama manusia dapat berkembang dengan wajar, hal ini menunjukkan
bahwa sejak lahir sampai meninggal manusia memerlukan pertolongan orang lain
dalam kesempurnaan hidupnya.
Dilihat dari
fungsi solidaritas, dimana para pemain dituntut untuk bekerja keras, saling
bantu, dan membagi suka maupun duka dalam permainan Magoak-goakan ini.
Permainan Magoak-goakan ini menuntut agar pemain harus bekerja keras
dalam menyerang dan menakklukan lawan. Hal ini tampak pada gerakan-gerakan
lincah yang diperagakan oleh para pemain, yang kadang kala berlari, menari,
jongkok, merayap berputar-putar, berbalik, atau melompat ke sana ke mari.
E. Pariwisata
Berdasarkan
pada asal mula dari tradisi Magoak-goakan di Desa Panji yang mempunyai
fungsi sebagai peringatan dari kemengan kerajaan Buleleng, yang kala itu
dipimpin oleh Ki Barak Panji Sakti atas melawan kerajaan Blambangan, maka acara
peringatan yang dikaitkan dengan kepercayaan, diekspresikan kedalam bentuk seni
budaya sesuai dengan kreatif penciptaanya. Dalam pariwisata tradisi Magoak-goakan
ini, memperkaya kebudayaan Bali, mendapatkan perhatian dari wisatawan
domestik maupun mancanegara, dan berusaha untuk meningkatkan Desa Panji ke
daerah wisata.
Adapun makna yang terdapat dalam
tradisi Megoak-goakan ini antara lain Tradisi Magoak-goakan ini
dilaksanakan dengan penuh keakraban tanpa ada yang membedakan status ataupun
golongan, dianggap sebagai suatu hal yang 7
sudah mempengaruhi
kehidupan pada masyarakat Panji, dapat digolongkan menjadi tiga makna, yang
meliputi:
A. Makna Etika
Dalam
kehidupan manusia dituntut untuk berbuat atau bertingkah laku yang baik, hal
ini dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan suatu keselarasan dan
keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari. Etika berkaitan erat dengan kata moral
yang merupakan istilah dari bahasa latin, yaitu “mos” dan dalam bentuk
jamaknya “mores” yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup
seseorang atau sekelompok orang (Ruslan, 2001: 29).
Frans
Magnis-Susena dalam bukunya yang berjudul Etika Jawa menyatakan bahwa, “Etika”
merupakan keseluruhan norma-norma dan penilaian yang dipergunakan oleh
masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupan
( Susena, 1993: 6).
Ajaran
Agama Hindu mengajarkan agar manusia dapat berkata yang benar yang disebut
dengan wacika parisuda. Bahwa dengan berkata-kata yang benar kita akan
mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan. Hal ini sesuai dengan kitab suci
Sarasamuscaya sloka 75 disebutkan sebagai berikut:
Nyang tanpa
prawrityaning wak, pat awehnya, pratekyannya, ujar ahala, ujar uprgas, ujar
picuna, ujar nithya, naan tang pat sanggahaning wak, tan ujarakena, tan
angina-ngena,kojarnya.
Terjmahannya:
Inilah yang patut
timbul dari kata-kata, empat banyaknya, yaitu perkataan jahat, perkataan kasar,
menghardik, perkataan memfitnah, perkataan bohong, itulah keempatnya harus
disingkirkan dari perkataan, jangan diucapkan, jangan dipikir-pikirkan akan
diucapkan (Kajeng, dkk, 1997: 65-66)
Sesuai dengan
pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa sungguh pentingnya perkataan yang
suci, sehingga dapat menyenangkan atau membahagiakan sesama manusia. Begitu
pula dengan perbuatan yang baik berdasarkan dharma, agar mencapai kebahagiaan
dan keharmonisan.
Dilihat
dari segi etika maka tradisi Magoak-goakan, berusaha untuk saling hormat
menghormati, tanpa ada yang membedakan status dalam pelaksanaanya, sabriyuk
sapanggul yang tujuannya untuk saling bergotong royong, untuk terjalin
hubungan yang selaras antara yang ikut melaksanakannya.
B. Makna
Estetika
Berdasarkan
Kamus Umum Bahasa Indonesia kata seni adalah indah, halus, dan luhur
(Poerwardaminta, 1983: 157). Sedangkan budaya berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti pikiran akal budi. Jadi seni budaya adalah segala hasil daya
cipta karsa manusia yang diciptakan dengan pikiran yang halus dan indah.
Seni
budaya adalah segala hasil daya cipta manusia yang diciptakan dengan halus,
indah, dan luhur yang dibuat oleh tangan manusia itu sendiri. Setiap manusia
mempunyai perasaan seni terhadap sesuatu yang dipandangnya. Alam dengan
keanekaragamannya mempunyai nilai-nilai seni dan semua itu tergantung dari cara
pandang manusia itu sendiri. Kalau dilihat dari alat yang dipergunakan dalam
permainan ini seperti, topeng dan gambelan baleganjur yang mengiringi
prosesi dari Magoak-goakan maka sangatlah mengandung nilai-nilai seni
budaya didalamnya.
C. Makna
Pendidikan
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia Tim-Penyusun (1991: 232) disebutkan bahwa:
pendidikan berasal dari kata “ didik” berarti memelihara, memberi latihan (ajaran,
tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Selanjutnya kata
“didik” mendapatkan awalan pe- dan an, sehingga menjadi kata
bentukan pendidikan yang berarti proses perubahan sikap dan tata tingkah laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
pengajaran dan pelatihan.
Dalam
sistem ajaran Agama Hindhu, Sradha mempunyai fungsi dan kedudukan
sebagai rangka Dharma, kerangka bentuk isi dari pada Agama Hindu. Sradha sebagai
alat atau sarana dalam mengantar manusia menuju kepada Tuhan. Pengertian ini
dapat kita lihat dalam kutipan sebagai berikut:
Sradha Satyam
Ajayoti,
Sradham Satye
Prajapatih
Terjemahan
Dewa sradha akan
mencapai Tuhan
Tuhan menetapkan
dengan Sradha menuju kepada satya (Yajur Weda XIX, 30 )
Dengan berpedoman
pada Sradha sebagai dasar pengertian keagamaan, Agama Hindu dapat
dijelaskan. Sradha adalah kerangka dasar yang membentuk berbagai ajaran
didalam agama Hindu yang perlu diyakini dan dihayati dengan penuh rasa
pengertian. Dalam makna pendidikan, maka melatih pemain untuk bekerja keras,
mengedepankan sportivitas, keikhlasan yang tumbuh dari budi, dan moral yang
luhur untuk menciptakan kedamaian bagi masyarakat Desa Panji.
III. SIMPULAN
Berdasarkan
pada pembahasan di atas dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Bentuk tradisi Magoak-goakan yaitu dilakukan oleh masyarakat Desa Panji,
dengan berkumpul di lapangan Desa setempat. Dalam permain Magoak-goakan ini
dibentuk sebuah barisan kebelakang, dan saling bepegangan antara pemain yang
ada didepannya. Adapun aturan permainan Magoak-goakan yakni, peserta
yang paling depan bertugas untuk menangkap ekor yang ada paling belakang.Adapun
fungsi dari tradisi Magoak-goakan yakni, untuk memperdalam rasa
kekerabatan diantara masyarakat yang ikut melakukannya. Tradisi Magoak-goakan
mempunyai tujuan untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan. Pelaksanaan
tradisi Magoak-goakan melibatkan banyak orang yang tanpa membedakan
status untuk ikut berbaris untuk memainkan Magoak-goakan. Makna dari
tradisi Magoak-goakan yakni, dengan kreativitas dari seorang pemain
sulit untuk diterka arah gerakannya. Serta dalam permainan Magoak-goakan diiringi
dengan alunan bleganjur untuk memotivasi para pemain agar tetap Sbersemangat
untuk mengikuti permainan ini. Bertitik tolak dari tradisi Magoak-goakan mempunyai
pandangan dan kepercayaan masyarakat untuk melaksanakannya akan menumbuhkan
kebersamaan dan kedamain bagi yang ikut melakoni tradisi Magoak-goakan.
DAFTAR RUJUKAN
I Nyoman Supada.blogspot.com
Cudamani,
1989. Pengantar Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Dharma
Sastra.
Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan. Jakarta; Gramedia Jakarta.
Kajeng, I Nyoman
dkk. 1997. Sarasamuscaya.
Pudja, G. Dan Tjokorda Rai Sudharta. 2004. Manawa Dharma
Sastra (Manu Dharmasastra). Surabaya: Paramita.
Pemerintah Kabupaten Buleleng. 2010. Sejarah Buleleng.
Singaraja: UPTD Gedong Kirtya.
Poerwadarminta, W.J.S. 1983. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pt Gramedia.
Ruslan, Rosady.
2001. Etika Kehumasan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Suseno, Frans Magniz. 1993. Etika Jawa, Sebuah Analisis
Falsafah Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tim-Penyusun,
1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta : Balai Pustaka.
Titib, I Made. 2003. Weda Sabda Suci
Pedoman Praktis Kehidupan. Paramita: Surabaya
Wiana, Ketut,
2002. Makna Upacara Dalam Agama Hindu. Surabaya; Paramita.
Windia, Nyoman, 2006. Konsep Tri Hita Karana Dalam Tradisi
Bali. Surabaya; Paramita.
No comments:
Post a Comment