NILAI ANAK DALAM
KEHIDUPAN KELUARGA
ORANG BALI
Ni Komang Tri Apriani
Program Studi
Pendidikan KIMIA, Program S1
Universitas Pendidikan
Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: nikm.triapriani@yahoo.co.id
Abstak
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana nilai anak dalam kehidupan orang Bali, bagaimana perbedaan
anak laki-laki dan anak perempuan.
Adapun isu-isu pokok yang terjadi pada nilai anak dalam kehidupan orang Bali
tersebut yaitu dalam budaya di Bali anak
laki-laki lebih diutamakan daripada anak perempuan. Hal ini terjadi dikarenakan
anak laki-laki lebih dipercayai atau lebih mempunyai jiwa yang kekal untuk
membahagiakan kedua orang tuanya di dunia maupun di akhirat. Dalam halnya
seorang anak lak-laki mampu memberikan kebahagiaan yang abadi pada kedua orang
tuanya. Anak yang diinginkan oleh kedua orang tua adalah anak yang suputera
(anak yang utama atau anak yang baik). Seorang putera utama (suputera)
diibaratkan sebagai pelita yang menerangi seluruh keluarga. Apabila seseorang
tidak mempunyai putera yang baik, putera yang tidak baik pun dapat menggantikan
kedudukan putra yang baik bagi leluhur yang menderita di akhirat. Begitu sangat
pentingnya nilai anak laki-laki dalam kehidupan berkeluarga di Bali sehingga
pasangan suami istri umumnya lebih mengharapkan kelahiran anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan. Namun dalam kehidupan berkeluarga yang harmonis
adalah adanya seorang anak yang melengkapi didalam keluarga iu sendiri. Tidak
semua keluarga dikaruniai seorang anak laki-laki, karena dimata Tuhan itu
sendiri anak laki-laki dan anak perempuan masing-masingnya memiliki nilai yang
baik untuk membahagiakan kedua orang tuanya.
Kata-kata kunci: anak yang
suputera, kekerabatan patrilineal, adat Bali.
Abstack
This study aims to determine how the value of the
lives of children in Bali, how different boys and girls. The principal issues
that occur in the value of children in the lives of the Balinese culture in
Bali is the boys are preferred over girls. This happens because the boys more
trustworthy or more have eternal life for the happiness of both parents in the
world and in the hereafter. In the case of a child capable of giving men in the
eternal happiness of both parents. Child desired by both parents is the child
who suputera (major child or children good). A major son (suputera) described
as a lamp that illuminates the whole family. If someone does not have a good
son, a good son who was not even able to replace the position of a good son to
ancestors who suffer in the afterlife. So very important value of boys in
family life in Bali so that the couple are expecting the birth generally more
boys than girls. But in a harmonious family life is the presence of a child in
the family who equip themselves iu. Not all families are blessed with a boy,
because in the eyes of God's own sons and daughters each have a good value for
the happiness of both parents.
PENDAHULUAN
Keluarga
dan anak umumnya menjadi topik pembicaraan apabila dua orang sahabat lama baru
berjumpa. Jarang sekali dalam perjumpaan semacam itu antara dua orang sahabat
membicarakan soal kekayaan. Hal tersebut menggambarkan bahwa anak mempunyai
nilai yang amat penting dalam kehidupan seseorang atau suatu keluarga, melebihi
nilai harta kekayaan. Nilai anak bagi orang tua dalam kehidupan sehari-hari
dapat diketahui antara lain dari adanya kenyataan bahwa anak menjadi tempat
orang tua mencurahkan kasih sayang, anak merupakan sumber kebahagiaan keluarga,
anak sering dijadikan pertimbangan oleh sepasang suami istri untuk membatalkan
keinginannya bercerai, kepada anak nilai-nilai dalam keluarga disosialisasikan
dan harta kekayaan keluarga diwariskan, dan anak juga menjadi tempat orang tua
menggantungkan berbagai harapan.
Di
Bali, pasangan suami istri yang tidak berhasil memperoleh anak/keturunan,
dipandang tidak beruntung. Hal tersebut tercemin dari adanya nama julukan yang
diberikan terhadap pasangan suami istri tersebut, yaitu Nang Pocol dan Men Pocol
atau Nang Bekung dan Men Bekung (dalam bahasa Bali , pocol berarti rugi, dan bekung berarti mandul, Nang berarti ayahnya X dan Men berarti ibunya X, dalam hal X adalah
nama anak tertua; seperti halnya anak pertama bernama Brata, maka Nang Brata berarti ayahnya Brata dan Men Brata berarti ibunya Brata). Oleh karena
itu, lahirnya anak dalam suatu perkawinan sangat diaharapkan. Menurut ajaran
agama Hindu, perkawinan bertujuan untuk memperoleh putera, terutama suputera
(anak yang utama atau anak yang baik). Seorang putera utama (suputera)
diibaratkan sebagai pelita yang menerangi seluruh keluarga. Bagi seseorang,
bukan hanya mempunyai putera yang penting, akan tetapi juga supaya puteranya
itupun mempunyai putera yang akan menyambung keturunannya. Melahirkan dan
memelihara keturunan merupakan salah satu cara untuk membayar hutang kepada
orang tua, karena dengan mempunyai anak, barulah segera segala kesulitan dan
penderitaan yang pernah dialami orang tua dapat dirasakan. Selain itu ada
anggapan bahwa setelah mempunyai cuculah seseorang baru mencapai tujuan hidup.
Hal tersebut dapat diketahui dari adanya istilah “I cucu nyupat I kaki” (Si
cucu menyelamatkan Si kakek). Tentang hal tersebut dapat disimak dari mitos Si
Jaratkaru. Mitos tersebut menceritakan pertemuan Si Jaratkaru dengan arwah
leluhurnya yang hampir jatuh ke neraka. Orang tua dalam keluarga tentu saja
menginginkan agar anaknya berkualitas dengan harapan dikemudian hari dapat
melanjutkan cita-cita keluarga, berguna bagi masyarakat dan Negara. Untuk
sampai pada cita-cita tersebut tentu saja tidak mudah, dibutuhkan strategi dan
metode yang baik. Apakah mungkin menciptakan anak berkualitas ditengah waktu
yang terbatas, karena kesibukan bekerja, dan apakah mungkin menjadikan anak
berkualitas ditengah kondisi keuangan atau pendapatan yang terbatas. Menurut
Boque mengemukakan bahwa pendidikan menunjukkan pengaruh yang lebih kuat
terhadap fertilitas dari pada variable lain. Seorang dengan tingkat pendidikan
yang relative tinggi tentu saja mempertimbangkan berapa keuntungan financial
yang diperoleh seorang anak dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan untuk
membesarkannya. Hubungan antara pendidikan dan nilai anak juga terlihat pada
diri wanita, semakin tinggi tingkat pendidikan wanita, bukan saja semakin
rasional, akan tetapi semakin besar peluangnya untuk memasuki pasar
kerja. Sementara waktu bagi seorang wanita yang bekerja sanngat sedikit, dengan
demikian untuk mengasuh dan membesarkan anak semakin berkurang. Itulah sebabnya
nilai anak baginya mungkin berbeda dengan wanita yang tidak berpendidikan
tinggi, terutama yang tidak berpeluang bekerja diluar rumah (peran public).
Demikian juga dengan penghasilan, berkorelasi pula dengan nilai anak. Korelasi
ini bisa positif bisa pula negative. Menurut Jackson anak-anak memberikan
utilities dan jasa pelayanan yang produktif bagi orang tua merekka. Dalam
masyarakat yang berpenghasilan rendah anak-anak dianggap sebagai tenaga kerja
dan sumber pendapatan penting bagi keluarga, selain itu anak dinilai
sebagai investasihari tua atau sebagai komoditas ekonomi yang dapat disimpan dikemudian
hari. Hal tersebut merupakan hubungan positif antara penghasilan dengan
nilai anak. Berkorelasi negative apabila penghasilan yang tinggi akan menilai
anak bukan potensi modal atau rezeki. Mereka menilai anak banyak akan
menambah beban dalam keluarga. Sehingga semakin tinggi penghasilan maka
persepsi nilai akan berkurang, sehingga dampaknya fertilitas akan
menurun.
Dalam
artikel ini akan dibahas pokok permasalahan yang terkait dengan nilai anak
dalam kehidupan orang Bali yaitu antara lain: 1)Peran
anak laki-laki dalam kehidupan keluarga orang Bali. 2)Pengertian anak dalam
kehidupan keluarga.
Dan
adapun tujuan dari artikel ini adalah: 1) Mengetahui peran anak laki-laki dalam
kehidupan keluarga orang Bali. 2) Mengetahui pengertian anak dalam kehidupan
keluarga.
PEMBAHASAN
Pasangan
suami istri umumnya lebih mengharapkan kelahiran anak laki-laki dibandingkan
anak perempuan. Hal tersebut terbukti dalam penelitian Astiti (1994). Keinginan
mempunyai anak laki-laki tersebut umumnya dikaitkan dengan adanya peranan anak
laki-laki yang begitu penting menurut adat dan agama Hindu. Pentingnya peranan
anak laki-laki tersebut, antara lain dapat diketahui dari ayat 137 Bab IX kitab
Menawa Dharmasastra.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa bagi para orang tua di Bali,
anak, khususnya anak laki-laki, tidak saja mempunyai nilai dalam kehidupannya
di dunia, akan tetapi juga setelah di akhirat.
Pasangan
suami istri yang tidak mempunyai anak/keturunan laki-laki, umumnya tidak merasa
puas. Dalam hal seperti itu, mereka berupaya mendapatkannya dengan cara
mengangkat anak laki-laki (meras sentana)
dari keluarga lain, atau mengangkat salah seorang anak perempuannya menjadi sentana rajeg (anak perempuan yang
diberi status laki-laki dengan cara melakukan kawin nyeburin.
Yang
dimaksud nilai anak dalam tulisan ini adalah peranan yang dimainkan oleh anak
dalam kehidupan orang tua. Peranan yang dimaksud meliputi baik peranan ideal,
peranan yang seharusnya dan peranan yang nyata dilakukan oleh anak untuk orang
tua. Peranan tersebut mencakup peranan yang dilakukan pada saat orang tua masih
hidup maupun setelah orang tua meninggal, dan dapat ditinjau dari berbagai
segi, antara lain dari segi religius, sosial, ekonomi dan psikologis.
Pengertian
anak dapat dibandingkan dalam pengertian nilai anak menurut Esphenshade (1977)
yang menyebutkan sebagai berikut:
“
The value of children can be thought as the functions they serve or needs they
fulfill for parent” (nilai anak adalah fungsi-fungsi yang dilakukan atau dipenuhinya
kebutuhan orang tua oleh anak).
Nilai
anak pada masyarakat Bali tidak akan dapat dipahami secara baik tanpa mengenal
terlebih dahulu sistem kemasyarakatannya, khususnya sistem kekerabatannya yang
bercorak patrilineal, yang dijiwai oleh nilai-nilai dalam agama Hindu.
Dalam
kehidupan kekerabatan orang Bali, dikenal adanya beberapa pengelompokan
kekerabatan dari kelompok yang jumlah anggotanya sedikit sampai kelompok yang
jumlah anggotanya banyak. Pengelompokan kekerabatan tersebut didasarkan atas garis
keturunan purusha. Keturunan purusha di sini mencakup anak laki-laki
kandung yang disebut preti sentana, dan keturunannya anak angkat
laki-laki yang disebut sentana peperasan
dan keturunannya, dan anak perempuan yang berstatus laki-laki yang disebut sentana rajeg serta keturunannya.
Kelompok kekerabatan tersebut, mempunyai beberapa fungsi, anatara lain fungsi
sosial, ekonomi dan religius.
Di
antara kelompok-kelompok ekerabatan tersebut, yang terpenting dikemukakan dalam
kaitannya dengan nilai anak adalah kelompok kekerabatan yang disebut kuren. Kelompok kekerabatan tersebut merupakan
kelompok kekerabatan yang terdiri dari satu keluarga batih (keluarga inti),
yaitu suami, istri dan anak-anak yang belum menikah. Dalam kelompok kekerabatan
tersebut, hubungan antara anggota keluarga, khususnya anatara orang tua dan
anak, terjalin secara intim dan mesra.
Menurut
adat di Bali, anak laki-laki yang sudah menikah, tinggal di lingkungan
pekarangan tempat tinggal orang tua laki-laki. Apabila di lingkungan pekarangan
tempat tinggal tersebut sudah penuh, salah seorang anak laki-laki tersebut ada
kalanya tinggal di pekarangan yang baru, yang menurut istilah setempat disebut ngarangin. Anak laki-laki yang sudah
menikah itu, ada kalanya hidup dalam satu rumah tangga (ngerob) dengan orang tuanya, dan ada kalanya juga hidup dalam rumah
tangga sendiri (meanian).
Dalam
setiap pekarangan tempat tinggal tersebut umumnya dibangun sanggah/pemerajan sebagai tempat pemujaan terhadap leluhur. Tempat
pemujaan leluhur tersebut tingkatannya berbeda-beda, dalam arti, ada yang
berkedudukan sebagai pusat (sanggah/pemerajan
di pekarangan asal ), dan ada
pula yang berkedudukan sebagai cabang.
Berdasarkan
sistem kekerabatan patrilineal di Bali, salah satu anak laki-laki yang sudah
menikah itu mempunyai tanggung jawab penuh terhadap orang tuanya. Anak
laki-laki tersebut,umumnya adalah anak laki-laki tertua (pada golongan
tri-wangsa), dan anak laki-laki termuda (pada golongan sudra-wangsa). Anak-anak
yang menggantikan orang tuanya kelak dalam melaksanakan segala kewajiban adat (ayahan) di lingkungan kerabat (
misalnya, memelihara dan melakukan upacara terhadap sanggah /pemerajan) maupun di masyarakat adat. Dalam pelaksanaan
kewajiban-kewajiban di lingkungan kerabat, anak laki-laki yang lainnya
berkedudukan sebagai pengemon, dengan
kewajiban membantu saudaranya yang bertanggung jawab penuh. Dalam pelaksanaan
kewajiban di masyarakat adat, anak laki-laki tertua atau anak laki-laki termuda
itu, akan menggantikan kedudukan orang tuanya menjadi krama banjar, sedangkan anak laki-laki yang lainnya menjadi krama
banjar atas namanya sendiri.
Kelompok
kerabat yang terdiri dari satu keluarga batih (kuren) tersebut, merupakan satu kesatuan dalam kegiatan ekonomi,
sosial, agama dan politik. Dalam kegiatan ekonomi, suami sebagai kepala
keluarga bertanggung jawab untuk menghasilkan barang dan jasa yang akan
dikonsumsi bersama. Kegiatan ini seringkali pula dibantu oleh istri dan
anak-anak. Istri sebagai Ibu rumah tangga melakukan peranan yang utama dalam
proses sosialisasi anak. Seringkali pula kegiatan semacam ini dibantu oleh
suami dalam wujud memberikan nasihat-nasihat yang berguna bagi kehidupan anak
di masa yang akan datang. Mereka bersama-sama bertanggung jawab dalam upaya
mewujudkan anak yang suputra (anak
yang utama). Dalam melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan, misalnya upacara
odalan di tempat pemujaan leluhur (sanggah/pemerajan),
suamilah yang mempunyai kewajiban/tanggung jawab untuk menyelenggarakan upacara
tersebut, sedangkan dalam mempersiapkan perlengkapan sesajen yang diperlukan
dalam upacara seperti itu, istrilah yang mempunyai peranan lebih menonjol.
Sebagai unit terkecil dalam struktur kekerabatan orang Bali, kuren juga mempunyai fungsi dalam
bidang politik. Dalam hal ini, suami sebagai kepala keluarga mewakili keluarga
sebagai krama (anggota) banjar, desa adat,
subak dan sebagai sekeha yang ada. Sebagai krama banjar, desa adat dan lain-lainnya itu, para suami mempunyai hak/wewenang
untuk mengambil keputusan dalam sangkepan
(rapat). Keputusan tersebut mengikat semua krama
banjar termasuk angggota keluarga masing-masing krama tersebut.
Di
dalam masing-masing keluarganya sendiri, suami sebagai kepala keluarga juga
mempunyai wewenang dalam mengambil keputusan. Wewenang tersebut diperolehnya
berdasarkan adat budaya masyarakat yang bercorak patriarkhat, di mana kekuasaan
berada di tangan pria. Atas dasar adanya wewenang tersebut, suamilah yang lebih
banyak mengambil keputusan. Hal ini dianggap wajar oleh suami maupun istri.
Dominasi
suami dalam mengambil keputusan tampak jelas dalam aspek-aspek yang berkaitan
dengan adat dan agama. Hal tersebut antara lain terbukti dalam penelitian
Astiti di Desa Kamasan, Klungkung, dan di Desa Adat Baturiti, Tabanan. Dalam
aspek-aspek tertentu yang tidak ada kaitannya dengan adat dan agama, peranan
istri dan anak-anak yang sudah dewasa dalam mengambil keputusan, ternyata juga
tidak kalah pentingnya. Dala keluarga
luas, di mana keluarga batih orang tua bergabung dengan keluarga batih salah
seorang anak laki-laki, umumnya orang tualah yang lebih sering (lebih banyak)
mengambil keputusan dibandingkan anak. Hal semacam itu dianggap wajar, karena
masyarakat Bali selain memegang prinsip patriarkhat, juga berpegang pada
prinsip seneritas yang memberikan kekuasaan lebih tinggi kepada orang tua
dibandingkan dengan anak.
Dalam
hubungan kekerabatan dan kemasyarakatan seperti yang diuraikan di atas itulah,
anak akan dapat dimengerti dan dipahami.
Seperti
sudah disinggung di atas, nilai anak dapat ditinjau dalam berbagai segi, yaitu
dalam segi religius, sosial, ekonomi, dan psikologi. Nilai anak dalam segi
keagamaan, dilandasi oleh adanya prinsip utang
(hutang) secara timbal-balik anatara orang tua dan anak. Pembayaran hutang
tersebut dilakukan dengan melaksanakan kewajiban satu terhadap yang lain, dalam
bentuk yadnya (korban).
Yadnya
orang tua terhadap anak telah mulai dilakukan sejak bayi masih dalam kandungan,
yakni dengan melaksanakan upacara megendong-gendongan
pada saat kandungan berusia 7 bula. Setelah
bayi lahir, orang tua melakukan berbagai upacara keagamaan untuk bayi,
antara lain upacara tiga bulan (105 hari), yang disebut upacara sambutan dan upacara
oton (210 hari). Upacara tumbuh gigi dan tanggal gigi adalah upacara yang
dilakukan oleh orang tua dan saat anak mencapai tinggat tersebut, dan setelah
anak menjadi dewasa dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara akil-baliq dan
upacara potong gigi.
Ada
suatu anggapan dalam masyarakat bahwa hutang orang tua kepada anak baru
berakhir setelah orang tua melaksanakan yadnya potong gigi. Ada juga pendapat
lain menyatakan bahwa hutang orang tua tersebut berakhir setelah orang tua
menikahkan anak.
Sebaliknya
seorang anak wajib menghormati dan menyenangkan orang tua semasa hidupnya.
Kewajiban tersebut dilandasi oleh adanya hutang anak kepada seorang tua sebagai
guru rupaka atau guru reka yang telah melahirkan.
Setelah
orang tua meninggal, anak wajib menyelenggarakan yadnya ngaben (sawa wedana), yaitu upacara pembakaran jenazah
yang fungsinya untuk mempercepat proses pengembalian unsur-unsur panca maha
bhuta (zat padat, cair, udara, cahaya dan aether) yang ada di alam (bhuana agung/ makrokosmos). Upacara
tersebut dilanjutkan lagi dengan upacara memukur/ngasti
(upacara atma wedana) yang berfungsi
untuk menyucikan arwah tersebut menuju asalnya (Tuhan). Setelah arwah tersebut
bersih (suci), secara simbolis arwah tersebut ditempatkan di sanggah/pemerajan dan secara
berkelanjutan keturunannya wajib melaksanakan upacara pemujaan dan memuja
sebagai leluhur.
Menurut
kepercayaan dalam agama Hindu, arwah leluhur tersebut adakalanya lahir kembali
ke dunia (reinkarnasi) melalui keturunannya. Dalam hubungan ini, kelahiran
seseorang bayi di dalam keluarga mempunyai peranan untuk memberikan kesempatan
kepada arwah leluhur tersebut lahir kembali guna menebus dosa-dosanya.
Nilai
anak dalam kehidupan sosial, tampak dalam hal anak berperan sebagai penerus
keturunan dan sebagai ahli waris.dalam peranannya sebagai ahli waris, anak
tidak semata-mata mewarisi harta peniggalan orang tua (warisan yang bersifat
material), akan tetapi juga mewarisi kewajiban adat (warisan yang bersifat
immaterial), seperti halnya menggantikan orang tua melakukan ayahan ke
masyrakat banjar dan desa adat. Pewarisan material dan immaterial tersebut
diwarnai oleh sistem kekerabatan patrilineal. Oleh karena itu, warisan
diteruskan melalui garis keturunan purusha (laki-laki). Kaidah-kaidah pewarisan
tersebut secara umum diatur dalam hubungan adat dan secara khusus diatur dalam
awig-awig banjar masing-masing. Kaidah-kaidah hukum adat tersebut merupakan
salah satu faktor yang dijadikan pertimbangan oleh pasangan suami istri untuk
lebih mengaharapkan lahirnya anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Hal
tersebut terbukti dalam penelitian Astiti(1994).
Nilai
ekonomi anak dapat diihat dari peranan anak dalam memberikan bantuan yang
bernilai ekonomi kepada orang tua. Bantuan tersebut umumnya berupa bantuan
tenaga kerja maupun bantuan berupa materi. Bantuan tenaga kerja anak mempunyai
arti penting dalam hal anak sebagai tenaga kerja keluarga dalam uasahatani
keluarga. Hal ini merupakan ciri masyarakat tardisional yang anggota
masyarakatnya kebanyakan hidup bertani. Bantuan semacam ini, umumnya diharapkan
dari anak laki-laki. Masyarakat yang anggotanya telah bekerja di sektor
industri, bantuan anak sebagai tenaga kerja keluarga tidak diperlukan lagi.
Dalam masyarakat seperti ini, bantuan ekonomi anak bentuknya berupa bantuan
materi.
Bantuan
ekonomi anak dalam bentuk materi, oleh para orang tua diakui sangat penting
artinya dalam meringankan beban ekonomi rumah tangga. Hal ini terbukti dalam
penelitian Astiti (1994). Dalam penelitian ini ditemukan bahwa bantuan materi
tersebut diberikan oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Bantuan tersebut
berbentuk makanan/ bahan makanan, uang, dan pakaian untuk jaminan hidup dihari
tua, dan berupa biaya untuk sekolah adik-adik yang masih sekolah.
Nilai
ekonomi anak selain selain dilihat dari peranan anak dalam memberi bantuan yang
bernilai ekonomi kepada orang tua, juga dapat dilihat dari adanya pengorbanan
orang tua terhadap anak berupa berbagai pengeluaran biaya untuk kepentingan
anak. Biaya-biaya tersebut antara lain berupa biaya untuk
makan,keselamatan,kesehatan dan pendidikan.
Pengorbanan
orang tua untuk biaya itu umunya dilakukan oleh orang tua dengan setulus hati,
dilandasi oleh adanya kewajiban orang tua untuk mewujudkan puteranya yang utama
(suputera).
Penelitian
Astiti (1994) menemukan pula bahwa jenis bantuan ekonomi yang diberikan oleh
anak laki-laki dan anak perempuan pada prinsipnya tidak berbeda. Yang berbeda
adalah besar, frekuensi dan sifat bantuan tersebut. Bantuan anak laki-laki umumnya lebih besar dan lebih
sering dibandingkan bantuan anak perempuan. Bantuan tersebut dilandasi oleh
adanya kewajiban, sedangkan bantuan yang diberikan oleh anak perempuan lebih
besifat sukarela.
Dari
segi psikologi, tampaknya anak mempunyai nilai positif maupun negatif. Nilai
psikologi yang positif dapat dilihat dari adanya kenyataan yang dialami oleh
para orang tua bahwa anak dapat menimbulkan perasaan aman, terjamin, bangga dan
puas. Perasaan semacam ini umumnya dialami oleh suami istri yang telah
mempunyai anak laki-laki. Mereka merasa puas, aman dan terjamin karena yakin
telah ada anak yang diharapkan menggantikannya kelak dalam melaksanakan
kewajiban adat, di lingkungan kerabat maupun masyarakat. Selain itu, anak juga
dirasakan dapat menghibur orang tuanya, memberi dorongan untuk lebih semangat
bekerja, dan menghangatkan hubungan suami istri.
Nilai
psikologis yang negatif dapat dilihat dari adanya kenyataan yang dialami oleh
beberapa orang tua yang anaknya sering sakit, sehingga anaknya itu menimbulkan
perasaan khawatir/was-was. Selain itu, ada juga kenyataan bahwa beberapa orang
tua mengeluh setelah punya anak, karena merasa kurang bebas kalau akan pergi
atau bekerja. Dalam hal seperti ini, anak dirasakan membuat hidupnya repot.
Namun demikian, apabila dibandingkan ternyata lebih banyak orang tua yang
merasakan bahwa anak mempunyai nilai yang positif dalam hidupnya.
SIMPULAN
Berdasarkan
uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pada masyarakat Bali yang menganut agama
Hindu dan sistem kekerabatan patrilineal, anak mempunyai nilai yang amat
penting dalam kehidupan orang tua. Nilai anak tersebut religius, sosial,
ekonomi dan psikologis. Dalam aspek religius, nilai anak (dalam hal ini anak
laki-laki) dapat dilihat antara lain dari peranan anak sebagai penyelamat arwah
leluhur untuk mencapai surga, dan memberi kesempatan kepada arwah leluhur untuk
lahir kembali ke dunia (reinkarnasi). Dalam aspek sosial, nilai anak dapat
dilihat dari peranannya sebagai penerus keturunan dan mewarisi harta kekayaan
serta meneruskan kewajiban orang tua di lingkungan kerabat dan masyarakat.
Dalam kedua aspek tersebut di atas, nilai anak laki-laki tampak lebih tinggi
dibandingkan anak perempuan, karena dalam kedua aspek tersebut pengaruh adat
dan agama dominan. Dalam aspek ekonomi, nilai anak dapat dilihat dari
peranannya dalam memberi bantuan yang bernilai ekonomi kepada orang tua.
Bantuan tersebut umumnya berupa tenaga kerja dan materi. Dan dari segi
psikologi, ternyata anak mempunyai nilai yang positif dan negatif bagi orang
tua.
Namun
dalam kehidupan berkeluarga jika dikaruniai seorang anak laki-laki maupun
perempuan terimalah dengan setulus hati, karena nilai anak dalam keluarga
semuanya memiliki nilai yang tersendiri dari masing-masing sifatnya atau
tingkah lakunya untuk membahagiakan kedua orang tuanya sekarang maupun di dunia
akhirat.
DAFTAR RUJUKAN
Astiti,
Tjok Istri Putra. 1986. “Perubahan Ekonomi Rumah tangga dan status Sosial
Wanita dalam Masyarakat Bali yang Patrilineal (Studi Kasus di Desa Kamasan,
Klungkung, Bali).” Tesis S2 pada Program Studi Sosiologi Pedesaan. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Esphenshade,
T.J.1977. “Concept of Value,” dalam Population Bulletin, Vol 32, No. 1. Population Reprice Bureau Inc,
Washington DC.
Jelantik, I.G.P. 1972. “Putra Sesana,” dalam
Warta Hindu Dharma, No. 60.
Murdock,
G.P.1965. Social Structure. The Free Press A Devision of MacMillan
Pusblishing Co. Inc. New York: Coliier
MacMillan Pusblisher, London.
Pudja,
Gde dan Tjok Rai Sudharta. 1977/1978. Menawa Dharma Sastra.
Suryati,
Ni Made. 1972. “Peranan Orang Tua dalam Mewujudkan Putra
Utama,” dalam Warta Hindu Dharma,
No.251.
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
ReplyDeleteJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)