December 28, 2013

NILAI ANAK DALAM KEHIDUPAN KELUARGA ORANG BALI(Artikel Bali)



NILAI ANAK DALAM KEHIDUPAN KELUARGA
ORANG BALI
Ni Komang Tri Apriani
Program Studi Pendidikan KIMIA, Program S1
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia

Abstak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana nilai anak dalam kehidupan orang Bali, bagaimana perbedaan anak laki-laki dan  anak perempuan. Adapun isu-isu pokok yang terjadi pada nilai anak dalam kehidupan orang Bali tersebut yaitu  dalam budaya di Bali anak laki-laki lebih diutamakan daripada anak perempuan. Hal ini terjadi dikarenakan anak laki-laki lebih dipercayai atau lebih mempunyai jiwa yang kekal untuk membahagiakan kedua orang tuanya di dunia maupun di akhirat. Dalam halnya seorang anak lak-laki mampu memberikan kebahagiaan yang abadi pada kedua orang tuanya. Anak yang diinginkan oleh kedua orang tua adalah anak yang suputera (anak yang utama atau anak yang baik). Seorang putera utama (suputera) diibaratkan sebagai pelita yang menerangi seluruh keluarga. Apabila seseorang tidak mempunyai putera yang baik, putera yang tidak baik pun dapat menggantikan kedudukan putra yang baik bagi leluhur yang menderita di akhirat. Begitu sangat pentingnya nilai anak laki-laki dalam kehidupan berkeluarga di Bali sehingga pasangan suami istri umumnya lebih mengharapkan kelahiran anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Namun dalam kehidupan berkeluarga yang harmonis adalah adanya seorang anak yang melengkapi didalam keluarga iu sendiri. Tidak semua keluarga dikaruniai seorang anak laki-laki, karena dimata Tuhan itu sendiri anak laki-laki dan anak perempuan masing-masingnya memiliki nilai yang baik untuk membahagiakan kedua orang tuanya.

Kata-kata kunci: anak yang suputera, kekerabatan patrilineal, adat Bali.
Abstack
This study aims to determine how the value of the lives of children in Bali, how different boys and girls. The principal issues that occur in the value of children in the lives of the Balinese culture in Bali is the boys are preferred over girls. This happens because the boys more trustworthy or more have eternal life for the happiness of both parents in the world and in the hereafter. In the case of a child capable of giving men in the eternal happiness of both parents. Child desired by both parents is the child who suputera (major child or children good). A major son (suputera) described as a lamp that illuminates the whole family. If someone does not have a good son, a good son who was not even able to replace the position of a good son to ancestors who suffer in the afterlife. So very important value of boys in family life in Bali so that the couple are expecting the birth generally more boys than girls. But in a harmonious family life is the presence of a child in the family who equip themselves iu. Not all families are blessed with a boy, because in the eyes of God's own sons and daughters each have a good value for the happiness of both parents.

PENDAHULUAN
Keluarga dan anak umumnya menjadi topik pembicaraan apabila dua orang sahabat lama baru berjumpa. Jarang sekali dalam perjumpaan semacam itu antara dua orang sahabat membicarakan soal kekayaan. Hal tersebut menggambarkan bahwa anak mempunyai nilai yang amat penting dalam kehidupan seseorang atau suatu keluarga, melebihi nilai harta kekayaan. Nilai anak bagi orang tua dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui antara lain dari adanya kenyataan bahwa anak menjadi tempat orang tua mencurahkan kasih sayang, anak merupakan sumber kebahagiaan keluarga, anak sering dijadikan pertimbangan oleh sepasang suami istri untuk membatalkan keinginannya bercerai, kepada anak nilai-nilai dalam keluarga disosialisasikan dan harta kekayaan keluarga diwariskan, dan anak juga menjadi tempat orang tua menggantungkan berbagai harapan.
Di Bali, pasangan suami istri yang tidak berhasil memperoleh anak/keturunan, dipandang tidak beruntung. Hal tersebut tercemin dari adanya nama julukan yang diberikan terhadap pasangan suami istri tersebut, yaitu Nang Pocol dan Men Pocol atau Nang Bekung dan Men Bekung (dalam bahasa Bali , pocol berarti rugi, dan bekung berarti mandul, Nang berarti ayahnya X dan Men berarti ibunya X, dalam hal X adalah nama anak tertua; seperti halnya anak pertama bernama Brata, maka Nang Brata berarti ayahnya Brata dan Men Brata berarti ibunya Brata). Oleh karena itu, lahirnya anak dalam suatu perkawinan sangat diaharapkan. Menurut ajaran agama Hindu, perkawinan bertujuan untuk memperoleh putera, terutama suputera (anak yang utama atau anak yang baik). Seorang putera utama (suputera) diibaratkan sebagai pelita yang menerangi seluruh keluarga. Bagi seseorang, bukan hanya mempunyai putera yang penting, akan tetapi juga supaya puteranya itupun mempunyai putera yang akan menyambung keturunannya. Melahirkan dan memelihara keturunan merupakan salah satu cara untuk membayar hutang kepada orang tua, karena dengan mempunyai anak, barulah segera segala kesulitan dan penderitaan yang pernah dialami orang tua dapat dirasakan. Selain itu ada anggapan bahwa setelah mempunyai cuculah seseorang baru mencapai tujuan hidup. Hal tersebut dapat diketahui dari adanya istilah “I cucu nyupat I kaki” (Si cucu menyelamatkan Si kakek). Tentang hal tersebut dapat disimak dari mitos Si Jaratkaru. Mitos tersebut menceritakan pertemuan Si Jaratkaru dengan arwah leluhurnya yang hampir jatuh ke neraka. Orang tua dalam keluarga tentu saja menginginkan agar anaknya berkualitas dengan harapan dikemudian hari dapat melanjutkan cita-cita keluarga, berguna bagi masyarakat dan Negara. Untuk sampai pada cita-cita tersebut tentu saja tidak mudah, dibutuhkan strategi dan metode yang baik. Apakah mungkin menciptakan anak berkualitas ditengah waktu yang terbatas, karena kesibukan bekerja, dan apakah mungkin menjadikan anak berkualitas ditengah kondisi keuangan atau pendapatan yang terbatas. Menurut Boque mengemukakan bahwa pendidikan menunjukkan pengaruh yang lebih kuat terhadap fertilitas dari pada variable lain. Seorang dengan tingkat pendidikan yang relative tinggi tentu saja mempertimbangkan berapa keuntungan financial yang diperoleh seorang anak dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan untuk membesarkannya. Hubungan antara pendidikan dan nilai anak juga terlihat pada diri wanita,  semakin tinggi tingkat pendidikan wanita, bukan saja semakin rasional, akan tetapi semakin besar peluangnya untuk memasuki  pasar kerja. Sementara waktu bagi seorang wanita yang bekerja sanngat sedikit, dengan demikian untuk mengasuh dan membesarkan anak semakin berkurang. Itulah sebabnya nilai anak baginya mungkin berbeda dengan wanita yang tidak berpendidikan tinggi, terutama yang tidak berpeluang bekerja diluar rumah (peran public). Demikian juga dengan penghasilan, berkorelasi pula dengan nilai anak. Korelasi ini bisa positif bisa pula negative. Menurut Jackson anak-anak memberikan utilities dan jasa pelayanan yang produktif bagi orang tua merekka. Dalam masyarakat yang berpenghasilan rendah anak-anak dianggap sebagai tenaga kerja dan sumber pendapatan penting bagi keluarga, selain itu  anak dinilai sebagai investasihari tua atau sebagai komoditas ekonomi yang dapat disimpan dikemudian hari. Hal tersebut merupakan  hubungan positif antara penghasilan dengan nilai anak. Berkorelasi negative apabila penghasilan yang tinggi akan menilai anak bukan potensi modal atau rezeki. Mereka menilai anak banyak  akan menambah beban dalam keluarga. Sehingga semakin tinggi penghasilan maka persepsi nilai akan berkurang, sehingga dampaknya fertilitas  akan menurun.
Dalam artikel ini akan dibahas pokok permasalahan yang terkait dengan nilai anak dalam kehidupan orang Bali yaitu antara lain: 1)Peran anak laki-laki dalam kehidupan keluarga orang Bali. 2)Pengertian anak dalam kehidupan keluarga.
Dan adapun tujuan dari artikel ini adalah: 1) Mengetahui peran anak laki-laki dalam kehidupan keluarga orang Bali. 2) Mengetahui pengertian anak dalam kehidupan keluarga.
PEMBAHASAN
Pasangan suami istri umumnya lebih mengharapkan kelahiran anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Hal tersebut terbukti dalam penelitian Astiti (1994). Keinginan mempunyai anak laki-laki tersebut umumnya dikaitkan dengan adanya peranan anak laki-laki yang begitu penting menurut adat dan agama Hindu. Pentingnya peranan anak laki-laki tersebut, antara lain dapat diketahui dari ayat 137 Bab IX kitab Menawa Dharmasastra.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa bagi para orang tua di Bali, anak, khususnya anak laki-laki, tidak saja mempunyai nilai dalam kehidupannya di dunia, akan tetapi juga setelah di akhirat.
Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak/keturunan laki-laki, umumnya tidak merasa puas. Dalam hal seperti itu, mereka berupaya mendapatkannya dengan cara mengangkat anak laki-laki (meras sentana) dari keluarga lain, atau mengangkat salah seorang anak perempuannya menjadi sentana rajeg (anak perempuan yang diberi status laki-laki dengan cara melakukan kawin nyeburin.
Yang dimaksud nilai anak dalam tulisan ini adalah peranan yang dimainkan oleh anak dalam kehidupan orang tua. Peranan yang dimaksud meliputi baik peranan ideal, peranan yang seharusnya dan peranan yang nyata dilakukan oleh anak untuk orang tua. Peranan tersebut mencakup peranan yang dilakukan pada saat orang tua masih hidup maupun setelah orang tua meninggal, dan dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain dari segi religius, sosial, ekonomi dan psikologis.
Pengertian anak dapat dibandingkan dalam pengertian nilai anak menurut Esphenshade (1977) yang menyebutkan sebagai berikut:
“ The value of children can be thought as the functions they serve or needs they fulfill for parent” (nilai anak adalah fungsi-fungsi yang dilakukan atau dipenuhinya kebutuhan orang tua oleh anak).
Nilai anak pada masyarakat Bali tidak akan dapat dipahami secara baik tanpa mengenal terlebih dahulu sistem kemasyarakatannya, khususnya sistem kekerabatannya yang bercorak patrilineal, yang dijiwai oleh nilai-nilai dalam agama Hindu.
Dalam kehidupan kekerabatan orang Bali, dikenal adanya beberapa pengelompokan kekerabatan dari kelompok yang jumlah anggotanya sedikit sampai kelompok yang jumlah anggotanya banyak. Pengelompokan kekerabatan tersebut didasarkan atas garis keturunan purusha. Keturunan purusha di sini mencakup anak laki-laki kandung yang disebut preti sentana, dan keturunannya anak angkat laki-laki yang disebut sentana peperasan dan keturunannya, dan anak perempuan yang berstatus laki-laki yang disebut sentana rajeg serta keturunannya. Kelompok kekerabatan tersebut, mempunyai beberapa fungsi, anatara lain fungsi sosial, ekonomi dan religius.
Di antara kelompok-kelompok ekerabatan tersebut, yang terpenting dikemukakan dalam kaitannya dengan nilai anak adalah kelompok kekerabatan yang disebut kuren. Kelompok kekerabatan tersebut merupakan kelompok kekerabatan yang terdiri dari satu keluarga batih (keluarga inti), yaitu suami, istri dan anak-anak yang belum menikah. Dalam kelompok kekerabatan tersebut, hubungan antara anggota keluarga, khususnya anatara orang tua dan anak, terjalin secara intim dan mesra.
Menurut adat di Bali, anak laki-laki yang sudah menikah, tinggal di lingkungan pekarangan tempat tinggal orang tua laki-laki. Apabila di lingkungan pekarangan tempat tinggal tersebut sudah penuh, salah seorang anak laki-laki tersebut ada kalanya tinggal di pekarangan yang baru, yang menurut istilah setempat disebut ngarangin. Anak laki-laki yang sudah menikah itu, ada kalanya hidup dalam satu rumah tangga (ngerob) dengan orang tuanya, dan ada kalanya juga hidup dalam rumah tangga sendiri (meanian).
Dalam setiap pekarangan tempat tinggal tersebut umumnya dibangun sanggah/pemerajan sebagai tempat pemujaan terhadap leluhur. Tempat pemujaan leluhur tersebut tingkatannya berbeda-beda, dalam arti, ada yang berkedudukan sebagai pusat (sanggah/pemerajan di pekarangan asal ), dan ada pula yang berkedudukan sebagai cabang.
Berdasarkan sistem kekerabatan patrilineal di Bali, salah satu anak laki-laki yang sudah menikah itu mempunyai tanggung jawab penuh terhadap orang tuanya. Anak laki-laki tersebut,umumnya adalah anak laki-laki tertua (pada golongan tri-wangsa), dan anak laki-laki termuda (pada golongan sudra-wangsa). Anak-anak yang menggantikan orang tuanya kelak dalam melaksanakan segala kewajiban adat (ayahan) di lingkungan kerabat ( misalnya, memelihara dan melakukan upacara terhadap sanggah /pemerajan) maupun di masyarakat adat. Dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban di lingkungan kerabat, anak laki-laki yang lainnya berkedudukan sebagai pengemon, dengan kewajiban membantu saudaranya yang bertanggung jawab penuh. Dalam pelaksanaan kewajiban di masyarakat adat, anak laki-laki tertua atau anak laki-laki termuda itu, akan menggantikan kedudukan orang tuanya menjadi krama banjar, sedangkan anak laki-laki yang lainnya menjadi krama banjar atas namanya sendiri.
Kelompok kerabat yang terdiri dari satu keluarga batih (kuren) tersebut, merupakan satu kesatuan dalam kegiatan ekonomi, sosial, agama dan politik. Dalam kegiatan ekonomi, suami sebagai kepala keluarga bertanggung jawab untuk menghasilkan barang dan jasa yang akan dikonsumsi bersama. Kegiatan ini seringkali pula dibantu oleh istri dan anak-anak. Istri sebagai Ibu rumah tangga melakukan peranan yang utama dalam proses sosialisasi anak. Seringkali pula kegiatan semacam ini dibantu oleh suami dalam wujud memberikan nasihat-nasihat yang berguna bagi kehidupan anak di masa yang akan datang. Mereka bersama-sama bertanggung jawab dalam upaya mewujudkan anak yang suputra (anak yang utama). Dalam melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan, misalnya upacara odalan di tempat pemujaan leluhur (sanggah/pemerajan), suamilah yang mempunyai kewajiban/tanggung jawab untuk menyelenggarakan upacara tersebut, sedangkan dalam mempersiapkan perlengkapan sesajen yang diperlukan dalam upacara seperti itu, istrilah yang mempunyai peranan lebih menonjol. Sebagai unit terkecil dalam struktur kekerabatan orang Bali, kuren juga mempunyai fungsi dalam bidang politik. Dalam hal ini, suami sebagai kepala keluarga mewakili keluarga sebagai krama (anggota) banjar, desa adat, subak dan sebagai sekeha yang ada. Sebagai krama banjar, desa adat dan lain-lainnya itu, para suami mempunyai hak/wewenang untuk mengambil keputusan dalam sangkepan (rapat). Keputusan tersebut mengikat semua krama banjar termasuk angggota keluarga masing-masing krama tersebut.
Di dalam masing-masing keluarganya sendiri, suami sebagai kepala keluarga juga mempunyai wewenang dalam mengambil keputusan. Wewenang tersebut diperolehnya berdasarkan adat budaya masyarakat yang bercorak patriarkhat, di mana kekuasaan berada di tangan pria. Atas dasar adanya wewenang tersebut, suamilah yang lebih banyak mengambil keputusan. Hal ini dianggap wajar oleh suami maupun istri.
Dominasi suami dalam mengambil keputusan tampak jelas dalam aspek-aspek yang berkaitan dengan adat dan agama. Hal tersebut antara lain terbukti dalam penelitian Astiti di Desa Kamasan, Klungkung, dan di Desa Adat Baturiti, Tabanan. Dalam aspek-aspek tertentu yang tidak ada kaitannya dengan adat dan agama, peranan istri dan anak-anak yang sudah dewasa dalam mengambil keputusan, ternyata juga tidak  kalah pentingnya. Dala keluarga luas, di mana keluarga batih orang tua bergabung dengan keluarga batih salah seorang anak laki-laki, umumnya orang tualah yang lebih sering (lebih banyak) mengambil keputusan dibandingkan anak. Hal semacam itu dianggap wajar, karena masyarakat Bali selain memegang prinsip patriarkhat, juga berpegang pada prinsip seneritas yang memberikan kekuasaan lebih tinggi kepada orang tua dibandingkan dengan anak.
Dalam hubungan kekerabatan dan kemasyarakatan seperti yang diuraikan di atas itulah, anak akan dapat dimengerti dan dipahami.
Seperti sudah disinggung di atas, nilai anak dapat ditinjau dalam berbagai segi, yaitu dalam segi religius, sosial, ekonomi, dan psikologi. Nilai anak dalam segi keagamaan, dilandasi oleh adanya prinsip utang (hutang) secara timbal-balik anatara orang tua dan anak. Pembayaran hutang tersebut dilakukan dengan melaksanakan kewajiban satu terhadap yang lain, dalam bentuk yadnya (korban).
Yadnya orang tua terhadap anak telah mulai dilakukan sejak bayi masih dalam kandungan, yakni dengan melaksanakan upacara megendong-gendongan pada saat kandungan berusia 7 bula. Setelah  bayi lahir, orang tua melakukan berbagai upacara keagamaan untuk bayi, antara lain upacara tiga bulan (105 hari), yang disebut upacara sambutan dan upacara oton (210 hari). Upacara tumbuh gigi dan tanggal gigi adalah upacara yang dilakukan oleh orang tua dan saat anak mencapai tinggat tersebut, dan setelah anak menjadi dewasa dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara akil-baliq dan upacara potong gigi.
Ada suatu anggapan dalam masyarakat bahwa hutang orang tua kepada anak baru berakhir setelah orang tua melaksanakan yadnya potong gigi. Ada juga pendapat lain menyatakan bahwa hutang orang tua tersebut berakhir setelah orang tua menikahkan anak.
Sebaliknya seorang anak wajib menghormati dan menyenangkan orang tua semasa hidupnya. Kewajiban tersebut dilandasi oleh adanya hutang anak kepada seorang tua sebagai guru rupaka atau guru reka yang telah melahirkan.
Setelah orang tua meninggal, anak wajib menyelenggarakan yadnya ngaben (sawa wedana), yaitu upacara pembakaran jenazah yang fungsinya untuk mempercepat proses pengembalian unsur-unsur panca maha bhuta (zat padat, cair, udara, cahaya dan aether) yang ada di alam (bhuana agung/ makrokosmos). Upacara tersebut dilanjutkan lagi dengan upacara memukur/ngasti (upacara atma wedana) yang berfungsi untuk menyucikan arwah tersebut menuju asalnya (Tuhan). Setelah arwah tersebut bersih (suci), secara simbolis arwah tersebut ditempatkan di sanggah/pemerajan dan secara berkelanjutan keturunannya wajib melaksanakan upacara pemujaan dan memuja sebagai leluhur.
Menurut kepercayaan dalam agama Hindu, arwah leluhur tersebut adakalanya lahir kembali ke dunia (reinkarnasi) melalui keturunannya. Dalam hubungan ini, kelahiran seseorang bayi di dalam keluarga mempunyai peranan untuk memberikan kesempatan kepada arwah leluhur tersebut lahir kembali guna menebus dosa-dosanya.
Nilai anak dalam kehidupan sosial, tampak dalam hal anak berperan sebagai penerus keturunan dan sebagai ahli waris.dalam peranannya sebagai ahli waris, anak tidak semata-mata mewarisi harta peniggalan orang tua (warisan yang bersifat material), akan tetapi juga mewarisi kewajiban adat (warisan yang bersifat immaterial), seperti halnya menggantikan orang tua melakukan ayahan ke masyrakat banjar dan desa adat. Pewarisan material dan immaterial tersebut diwarnai oleh sistem kekerabatan patrilineal. Oleh karena itu, warisan diteruskan melalui garis keturunan purusha (laki-laki). Kaidah-kaidah pewarisan tersebut secara umum diatur dalam hubungan adat dan secara khusus diatur dalam awig-awig banjar masing-masing. Kaidah-kaidah hukum adat tersebut merupakan salah satu faktor yang dijadikan pertimbangan oleh pasangan suami istri untuk lebih mengaharapkan lahirnya anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Hal tersebut terbukti dalam penelitian Astiti(1994).
Nilai ekonomi anak dapat diihat dari peranan anak dalam memberikan bantuan yang bernilai ekonomi kepada orang tua. Bantuan tersebut umumnya berupa bantuan tenaga kerja maupun bantuan berupa materi. Bantuan tenaga kerja anak mempunyai arti penting dalam hal anak sebagai tenaga kerja keluarga dalam uasahatani keluarga. Hal ini merupakan ciri masyarakat tardisional yang anggota masyarakatnya kebanyakan hidup bertani. Bantuan semacam ini, umumnya diharapkan dari anak laki-laki. Masyarakat yang anggotanya telah bekerja di sektor industri, bantuan anak sebagai tenaga kerja keluarga tidak diperlukan lagi. Dalam masyarakat seperti ini, bantuan ekonomi anak bentuknya berupa bantuan materi.
Bantuan ekonomi anak dalam bentuk materi, oleh para orang tua diakui sangat penting artinya dalam meringankan beban ekonomi rumah tangga. Hal ini terbukti dalam penelitian Astiti (1994). Dalam penelitian ini ditemukan bahwa bantuan materi tersebut diberikan oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Bantuan tersebut berbentuk makanan/ bahan makanan, uang, dan pakaian untuk jaminan hidup dihari tua, dan berupa biaya untuk sekolah adik-adik yang masih sekolah.
Nilai ekonomi anak selain selain dilihat dari peranan anak dalam memberi bantuan yang bernilai ekonomi kepada orang tua, juga dapat dilihat dari adanya pengorbanan orang tua terhadap anak berupa berbagai pengeluaran biaya untuk kepentingan anak. Biaya-biaya tersebut antara lain berupa biaya untuk makan,keselamatan,kesehatan dan pendidikan.
Pengorbanan orang tua untuk biaya itu umunya dilakukan oleh orang tua dengan setulus hati, dilandasi oleh adanya kewajiban orang tua untuk mewujudkan puteranya yang utama (suputera).
Penelitian Astiti (1994) menemukan pula bahwa jenis bantuan ekonomi yang diberikan oleh anak laki-laki dan anak perempuan pada prinsipnya tidak berbeda. Yang berbeda adalah besar, frekuensi dan sifat bantuan tersebut. Bantuan anak  laki-laki umumnya lebih besar dan lebih sering dibandingkan bantuan anak perempuan. Bantuan tersebut dilandasi oleh adanya kewajiban, sedangkan bantuan yang diberikan oleh anak perempuan lebih besifat sukarela.
Dari segi psikologi, tampaknya anak mempunyai nilai positif maupun negatif. Nilai psikologi yang positif dapat dilihat dari adanya kenyataan yang dialami oleh para orang tua bahwa anak dapat menimbulkan perasaan aman, terjamin, bangga dan puas. Perasaan semacam ini umumnya dialami oleh suami istri yang telah mempunyai anak laki-laki. Mereka merasa puas, aman dan terjamin karena yakin telah ada anak yang diharapkan menggantikannya kelak dalam melaksanakan kewajiban adat, di lingkungan kerabat maupun masyarakat. Selain itu, anak juga dirasakan dapat menghibur orang tuanya, memberi dorongan untuk lebih semangat bekerja, dan menghangatkan hubungan suami istri.
Nilai psikologis yang negatif dapat dilihat dari adanya kenyataan yang dialami oleh beberapa orang tua yang anaknya sering sakit, sehingga anaknya itu menimbulkan perasaan khawatir/was-was. Selain itu, ada juga kenyataan bahwa beberapa orang tua mengeluh setelah punya anak, karena merasa kurang bebas kalau akan pergi atau bekerja. Dalam hal seperti ini, anak dirasakan membuat hidupnya repot. Namun demikian, apabila dibandingkan ternyata lebih banyak orang tua yang merasakan bahwa anak mempunyai nilai yang positif dalam hidupnya.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pada masyarakat Bali yang menganut agama Hindu dan sistem kekerabatan patrilineal, anak mempunyai nilai yang amat penting dalam kehidupan orang tua. Nilai anak tersebut religius, sosial, ekonomi dan psikologis. Dalam aspek religius, nilai anak (dalam hal ini anak laki-laki) dapat dilihat antara lain dari peranan anak sebagai penyelamat arwah leluhur untuk mencapai surga, dan memberi kesempatan kepada arwah leluhur untuk lahir kembali ke dunia (reinkarnasi). Dalam aspek sosial, nilai anak dapat dilihat dari peranannya sebagai penerus keturunan dan mewarisi harta kekayaan serta meneruskan kewajiban orang tua di lingkungan kerabat dan masyarakat. Dalam kedua aspek tersebut di atas, nilai anak laki-laki tampak lebih tinggi dibandingkan anak perempuan, karena dalam kedua aspek tersebut pengaruh adat dan agama dominan. Dalam aspek ekonomi, nilai anak dapat dilihat dari peranannya dalam memberi bantuan yang bernilai ekonomi kepada orang tua. Bantuan tersebut umumnya berupa tenaga kerja dan materi. Dan dari segi psikologi, ternyata anak mempunyai nilai yang positif dan negatif bagi orang tua.
Namun dalam kehidupan berkeluarga jika dikaruniai seorang anak laki-laki maupun perempuan terimalah dengan setulus hati, karena nilai anak dalam keluarga semuanya memiliki nilai yang tersendiri dari masing-masing sifatnya atau tingkah lakunya untuk membahagiakan kedua orang tuanya sekarang maupun di dunia akhirat.

DAFTAR RUJUKAN
Astiti, Tjok Istri Putra. 1986. “Perubahan Ekonomi Rumah tangga dan status Sosial Wanita dalam Masyarakat Bali yang Patrilineal (Studi Kasus di Desa Kamasan, Klungkung, Bali).” Tesis S2 pada Program Studi Sosiologi Pedesaan. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Esphenshade, T.J.1977. “Concept of Value,” dalam Population Bulletin,  Vol 32, No. 1. Population Reprice Bureau Inc, Washington DC.
 Jelantik, I.G.P. 1972. “Putra Sesana,” dalam Warta Hindu Dharma, No. 60.
Murdock, G.P.1965. Social Structure. The Free Press A Devision of MacMillan Pusblishing  Co. Inc. New York: Coliier MacMillan Pusblisher,    London.
Pudja, Gde dan Tjok Rai Sudharta. 1977/1978. Menawa Dharma Sastra.
Suryati, Ni Made. 1972. “Peranan Orang Tua dalam Mewujudkan Putra
            Utama,” dalam Warta Hindu Dharma, No.251.

1 comment:

  1. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    ReplyDelete

Cara Membuat Effect Hollogram dengan Photoshop

Om Swastiastu Kawand-kawand Youtuber... Oke kawand-kawand pada hari ini saya akan memberikan tutorial efek photoshop kali ini, mimin ...