PELESTARIAN TARIAN GAMBUH SEBAGAI WARISAN
KEBUDAYAAN DAN KESENIAN DAERAH DI BALI
Oleh
Kadek Puspayanti
Universitas Pendidikan Ganesha,
Jln.Udayana No.11 Singaraja-Bali
Email: kadek.puspayanti@yahoo.com
ABSTRAK
Dewasa ini kebudayaan Bali mulai
tergerus oleh adanya arus globalisasi, bahkan kebudayaan yang menjadi ciri khas
dari suatu daerah kini terancam pudar di kalangan masyarakat Bali. Di Bali
kehidupan antara Agama Hindu dan budaya setempat bersinergi dan merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan.Agama Hindu menempati sebagai jiwa dan sumber
nilai budaya Bali. Dinamika Agama Hindu dan kebudayaan Bali menjadikan
munculnya berbagai nilai budaya dan kearifan lokal yang ditengarai mampu
mengantisipasi dampak negatif globalisasi, terutama dalam moralitas, dan sumber
daya manusia Bali. Agama Hindu memberikan pencerahan kepada masyarakat Bali
dengan tetap melestarikan kepercayaan dan tradisi yang telah ada sebelumnya.
Seperti adanya suatu tarian yang mencirikan daerah tersebut dan sekaligus
menjadi warisan budaya dari nenek moyang terhadap generasi penerusnya mulai menurun.
Tarian Gambuh merupakan salah satu warisan kebudayaan yang saat ini masih aktif
digelar di salah satu banjar yang berada di Desa Pedungan yakni Banjar Puseh.
Tarian Gambuh ini ditarikan setiap piodadalan di Pura Puseh Pedungan yang
bersebelahan dengan Banjar Puseh dengan diiringi gambelan gambuh. Gambelan
gambuh menjadi salah satu
kesenian
langka dan sekaligus Sakral yakni gambuh Duwe. Disebut duwe. Karena lahirnya
kesenian ini dipeercaya sebagai titah ( keinginan ) Ida Batara yang berstana di
Pura Puseh Pedungan. Maka dari itu untuk tetap melestarikan tari Gambuh ini
dibangun sekaa gambuh di desa Pedungan.
Kata-kata kunci :
tarian Gambuh, pelestarian, gambelan gambuh,kesenian daerah
ABSTRACT
Currently, the culture of Bali starting rushes by the drift of
globalization, even culture that became the hallmark of an area now threatened
to fade among the Balinese people. Life in Bali between Hinduism and the local
culture and synergize is one inseparable unity.The Hindu religion occupies as a
source of life and culture of Bali. The dynamics of the Hindu religion and
Balinese culture makes the emergence of a wide range of cultural and local
wisdom values identified are able to anticipate the negative impact of
globalization, particularly in morality, and human resources. The Hindu
religion gives enlightenment to the people of Bali with keep perpetuating the
belief and traditions that have been there before. Such as the presence of a
dance that characterize the area and at the same time be the cultural heritage
of the ancestors of the successor generation began to decline. The Gambuh dance
is one of the cultural heritage which is currently still active held at one of
the local in the village of Pedungan Banjar Puseh. The Gambuh dance this is
performed every piodalan in Pura Puseh Pedungan adjacent to the Banjar with
adrenalized Puseh gambelan Gambuh. Gambelan Gambelan became one of the rare art
and at once Sacral movements: Since the inception of this dipeercaya art as an
edict (desire) that resides in the Ida Batara Pura Puseh Pedungan. Therefore to
keep preserving the Gambuh dance was built in the village of Pedungan sekaa
Gambuh.
LATAR BELAKANG
Masyarakat terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan
berliku, tapak demi tapak, trial and error. Pada titik-titik tertentu terdapat
peninggalan-peninggalan yang eksis atau terekam sampai sekarang yang kemudian
menjadi warisan budaya. Warisan budaya, menurut Davidson (1991:2) diartikan
sebagai ‘produk atau hasil budaya fisik dari tradisi-tradisi yang berbeda dan
prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi
elemen pokok dalam jatidiri suatu kelompok atau bangsa’. Jadi warisan budaya
merupakan hasil budaya fisik (tangible) dan nilai budaya (intangible) dari masa
lalu. Berbagai kearifan lokal merupakan nilai-nilai yang
sangat menentukan eksistensi Agama Hindu dan budaya Bali. Kebudayaan Bali
memiliki identitas yang jelas yaitu budaya ekspresif yang termanifestasi secara
konfiguratif yang mencakup nilai-nilai dasar yang dominan seperti nilai
religus, nilai estetika, nilai solidaritas,nilai harmoni, dan nilai
keseimbangan (Geriya dalam Ardika,2005:19). Kelima dasar tersebut mampu
bertahan dan berlanjut menghadapi
berbagai tantangan. (Ardika 2005:19). Kesenian daerah yang sekaligus menjadi
warisan budaya semakin tergerus oleh adanya laju globalisasi seperti tarian
gambuh beserta gamelannya perlu dilestarikan sebagai warisan dari leluhur. Satu di antara dramatari klasik Bali yang dianggap bermutu
tinggi oleh para budayawan asing adalah Gambuh. Kesenian ini merupakan warisan
budaya yang paling indah dari semua teater Bali. Gambuh adalah tarian luar
biasa, terkadang lucu dan keras, terkadang kasar dan sengit, terkadang
dilakonkan oleh penari lanjut usia dengan keanggunan yang menghanyutkan, namun
terkendali. Namun Gambuh ini pernah mengalami pasang surut karena
pakar kesenian gambuh ini masa-masa kejayaan I Gede Geruh (almarhum) sebagai
penari yang handal, dan I Made Lemping (almarhum) dibidang musik Gambuh, sudah
sangat sulit diraih pada masa sekarang. Di samping proses regenerasi yang
kurang mengembirakan, penari maupun penabuh yang ada sekarang hanya pada batas
kemampuan sekedar “bisa” membawakan tabuh maupun tari. Tidak seperti I Gede Geruh
maupun I Made Lemping yang “mumpuni” dibidang tari maupun tabuh. Secara fungsional,
Gambuh Pedungan lebih mempunyai fungsi sebagai pelengkap upacara (piodalan)
di pura. Tempat pementasan adalah pura Puseh Pedungan.
Gamelan gambuh merupakan kesenian
klasik yang bisa dikatakan langka bahkan hampir punah. Sekaa gambuh yang masih
aktif saat ini yakni sekaa gambuh dari banjar Puseh yang diketuai oleh I Wayan
Sukana yang sekaligus merupakan pengemong Pura Puseh itu sendiri. Beliau juga
bagian dari sanak saudara dari penulis. Beliau juga gemar medharma githa dan
sekaligus pelatih sekaa gambuh Banjar Puseh Pedungan. Gelungan gambuh sangat
amat disakralkan dan dapat hanya dapat dipentaskan pada saat piodalan.
PEMBAHASAN
1. SEJARAH TARIAN GAMBUH DAN
GAMBELAN GAMBUH SEBAGAI KESENIAN DAERAH BALI
Gambuh adalah tarian dramatari Bali yang dianggap paling tinggi mutunya
dan juga merupakan dramatari klasik Bali yang paling kaya akan gerak-gerak
tari, sehingga dianggap sebagai sumber segala jenis tari klasik Bali.
Diperkirakan Gambuh muncul sekitar abad ke-15 dengan lakon bersumber pada cerita Panji. Gambuh berbentuk
teater total karena di dalamnya terdapat jalinan unsur seni suara, seni drama
dan tari, seni rupa, seni sastra, dan lainnya. Gambuh dipentaskan dalam
upacara-upacara Dewa Yadnya seperti odalan, upacara Manusa Yadnya seperti
perkawinan keluarga bangsawan, upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan lain
sebagainya. Diiringi dengan gamelan Penggambuhan yang berlaras pelog Saih
Pitu, tokoh-tokoh yang biasa ditampilkan dalam Gambuh adalah Condong,
Kakan-kakan, Putri, Arya/Kadean-kadean, Panji (Patih Manis), Prabangsa (Patih
Keras), Demang, Temenggung, Turas, Panasar, dan Prabu. Dalam memainkan
tokoh-tokoh tersebut semua penari berdialog umumnya menggunakan bahasa Kawi,
kecuali tokoh Turas, Panasar dan Condong yang berbahasa Bali, baik halus,
madya, atau kasar.
I
Gede Geruh, seorang tokoh dan penari Gambuh yang saat ini telah berusia 76
tahun mengungkapkan bahwa, Gambuh yang beliau warisi hingga dewasa ini adalah
juga warisan dari kakek-kakeknya yang hidup sekitar tahun 1836 atau boleh
dikatakan jauh sebelum perang Puputan Badung. Kakeknya adalah termasuk salah
satu tokoh seni di Desa Pedungan, yang kemudian menjadi penari Gambuh Duwe Puri
Pemecutan. Selain menjadi penari milik puri, lalu di Desanya sendiri kakeknya
telah berhasil merintis sekaa Gambuh bersama kawan-kawannya yang berasal dari
beberapa Banjar di Desa Pedungan dan dari luar Desa Pedungan. Pada masa
berurutan, di Desa Sesetan pernah pula dibentuk sebuah sekaa Gambuh yang
berasal dari penari-penari Gambuh Duwe Puri Denpasar.
Dekatnya
jarak antara Desa Pedungan dengan Desa Sesetan adalah menyebabkan baiknya
komunikasi atau hubungan antara kadus sekaa Gambuh ini, sehingga sering terjadi
pinjam meminjam alat-alat Gambelan atau perlengkapan lainnya. Setelah
meletusnya perang habis-habisan melawan Belanda (Puputan Badung), para
penari-penari Gambuh dari Pedungan menghimpun dan menyempurnakan kembali sekaa
Gambuhnya, dan akhirnya terbentuklah sekaa Gambuh seperti yang di warisi hingga
dewasa ini. Dalam perjalanan hidup sekaa Gambuh di Pedungan ini, banyak pasang
surut yang telah dilaluinya. Pada tahun 1930 an Gambuh ini pernah mengalami
masa yang sangat gemerlang, dan seringkali mengadakan pementasan ke luar Daerah
Kabupaten Badung, antara lain ke Karangasem, Singaraja, beberapa orang yang
pernah menjadi pelatih Gambuh di Desa Pedungan ini yakni:
1. I
Wayan Nyongolan (almarhum) dari Banjar Puseh Pedungan.
2. Gusti
Gede Candu (almarhum) dari Banjar Geladag Pedungan.
3. I
Wayan Dunia (almarhum) dari Banjar Gelogor Denpasar.
Pada dewasa ini yang bertindak sebagai
pelatih Gambuh di Desa Pedungan adalah I Gede Geruh sendiri menangani dalam
bidang tari, dan I Nyoman Lemping sebagai pelatih tabuhnya.
Perkembangan
suatu seni pertunjukan tidak bisa dilepaskan dengan masyarakatnya sendiri,
sebab masyarakat merupakan pendukung utama dan tempat hidupnya seni pertunjukan
itu. Agar seni pertunjukan itu dapat berkembang baik, harus ada kerja sama yang
baik dari semua pihak dalam hal ini; (1) Pengayon dari Pemerintah; (2)
Penggarapan dari kaum seniman itu sendiri; (3) Apresiasi dari masyarakat
penghayatnya. Akan halnya perkembangan Gambuh di Desa Pedungan merupakan
dramatari klasik Bali, nampak mengalami perkembangan yang secara perlahan
menurun sejak tahun 1950 hingga menjelang tahun 1960 an. Berdirinya Lembaga
Pendidikan Seni Tari di Bali (ASTI) pada tahun1966 nampaknya merupakan upaya
Pemerintah untuk melestarikan Gambuh ini, dengan menjadikan kesenian ini
sebagai bahan pelajaran. Diangkatnya beberapa tokoh Gambuh di Pedungan yakni I
Gede Geruh, I Nyoman Lemping Cs sebagai tenaga Dosen luar biasa dalam mata
kuliah praktek tari dan karawaritan Gambuh, nampaknya sempat pula menjadikan
suatu rangsangan untuk bangkitnya sekaa Gambuh di Desa Pedungan ini. Lebih
lebih dengan berhasilnya pementasan Gambuh oleh Mahasiswa ASTI Denpasar yang
diperkuat oleh sekaa Gambuh dari Pedungan, di Jaba Puri Satriya pada tahun 1967
merupakan suatu tantangan bagi sekaa- sekaa Gambuh di Bali umumnya dan di Desa
Pedungan khususnya. Dalam kurun waktu yang tidak panjang, maka Gambuh di
Pedungan akhirny pernah bangkit dai tahun 1968 hingga tahun 1970. Sejak tahun
1970 ini hingga sekarang, Gambuh di Desa Pedungan keadaannya sangat
memprihatinkan. Sekaa Gambuh yang pada mulanya memiliki struktur pertunjukkan
yang lengkap ternyata pada dewasa ini tidak banyak memiliki kader-kader penari,
dan instrument pengiringnya telah semakin banyak rusak “aci” atau upacara di
Pura Puseh, Gambuh ini hanya dapat dipentaskan dengan penari seadanya dan
gambelan yang tidak lengkap.
Saat
ini kini gambuh semakin dilestarikan oleh warga desa Pedungan. Gamelan gambuh
Gambuh di Desa Pedungan terhimpun dalam sebuah wadah Organsasi social yang
disebut “sekaa” yang mempunyai jumlah anggota yang tidak kurang dari 200 orang.
Sekaa ini diayomi oleh dua banjar yakni banjar Puseh dan banjar Menesa
Pedungan, terdiri dari golongan masyarakat berkasta Kesatriya dan golongan
masyarakat biasa (jaba). Organisasi ini diurus oleh suatu badan pengurus yang
disebut “Kelian” dengan dibantu oleh beberapa orang pembantu yang disebut
“Prajuru” yang masing-masing bertanggung jawab atas pekerjaan yang
dibebankan kepadanya. Anggota sekaa mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab
secara moril maupun material terhadap kehidupan Gambuh ini.
Kegiatan
rutinitas sekaa gambuh di desa Pedungan ini Serangkaian
dengan hari raya Tumpek Wayang, dimana Pura Puseh Desa Pedungan secara rutin
melaksanakan Upacara khusus untuk kesenian Gambuh pada hari Saniscara Kajeng
Kliwon Wuku Wayang. Besok harinya, Minggu seperti biasanya setiap tahun sekali
Sesuhunan Ratu Ayu beserta sekeha Gambuh pedek tangkil ke Pura Dalem Kauh banjar
Pejeng Aji di Desa Tegalalag – Gianyar.
Ada beberapa kesenian atau sekeha yang terlibat dalam kegiatan di
Pura Dalem Kauh Pejeng Aji, seperti:
- Geguntangan dengan sekeha Arja Negaknya
- Gamelan Selonding milik Desa yang merupakan hadiah dari pihak Puri Peliatan
- Sekeha Gong Desa yang ngaturang ayah setiap Rerahinan seperti saat ini Saniscara 7 Februari 2010
- Sekeha Tari Gambuh Desa Pedungan
Ada yang menarik pada setiap kali mengikuti acara seperti ini,
senantiasa ada turis manca negara yang ikut serta dalam upacara ini sekalipun
hanya sebagai penonton yang mengamati bagaimana orang Bali melakukan upacara
keagamaannya, sekalian juga menikmati kesenian Bali secara gratis. Namun untuk
upacara kali ini ada yang khusus, karena saat tampilnya Tarian Gambuh, ada
seorang penabuh asing (Jepang) yang aktif dalam meniup seruling Gambuh yang
demikian panjangnya. Agak aneh memang, belum pernah wanita Bali yang meniup
seruling Gambuh. Iseng menanyakan gadis si peniup seruling Gambuh itu, namanya
Masako yang menekuni Gambuh khusus seruling sejak 2 (dua) tahun yang lalu.
2. SANGGAR TARI SEBAGAI WADAH PELESTARIAN TARIAN GAMBUH
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat & kemampuan lain serta
kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan
dikaji asal kata bahasa sansekerta berasal dari kata budhayah yang berarti budi
atau akal. Dalam bahasa latin, kebudayaan berasal dari kata Colere, yang
berarti mengolah tanah. Jadi kebudayaan secara umum dapat diartikan sebagai
“segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal budi (pikiran) manusia dengan tujuan
untuk mengolah tanah atau tempat tinggalnya, atau dapat pula diartikan segala
usaha manusia untuk dapat melangsungkan dan mempertahankan hidupnya didalam
lingkungannya”. Budaya dapat pula diartikan sebagai himpunan pengalaman yang
dipelajari, mengacu pada pola-pola perilaku yang ditularkan secara sosial
tertentu.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengartikan kebudayaan
sebagai peninggalan sejarah yang bersifat tradisional. Seperti tarian daerah,
alat musik daerah, senjata tradisional, bahasa daerah, dan lain sebagainya. Di
negara kita, hampir setiap propinsi memilki kebudayaan tradisionalnya sendiri.
Oleh sebab itu negara kita dijuluki negara yang kaya akan budaya. Budaya yang
dahulu tak ternilai harganya, kini justru menjadi budaya yang tak bernilai di
mata masyarakat. Sikap yang tak menghargai itu memberikan dampak yang cukup
buruk bagi perkembangan budaya tradisional di negara kita. Mengapa? Karena
salah satu cara untuk melestarikan budaya trsdisional adalah sikap dan perilaku
dari masyarakatnya sendiri. Jika dalam diri setiap masyarakat terdapat jiwa
nasionalis yang dominan, melestarikan budaya tradisional merupakan suatu
kebanggaan, tapi generasi muda sekarang ini justru beranggapan yang sebaliknya,
sehingga mereka menggagap melestarikan budaya itu suatu paksaan. Jadi
kelestarian buadaya tradisional itu juga sangat bergantung pada jiwa nasionais
generasi mudanya.
Sebagai para generasi muda penerus bangsa, jiwa dan sikap
nasionalis sangatlah diperlukan. Bukan hanya untuk kepentingan politik saja
kita dituntut untuk berjiwa nasionalis, tetapi dalam mempertahankan dan
melestarikan budayapun juga demikian. Kita butuh untuk menyadari bahwa untuk
mempertahankan budaya peninggalan sejarah itu tidak mudah. Butuh pengorbanan
yang besar pula. Oleh karenanya tak cukup apabila hanya ada satu generasi muda
yang mau untuk tapi yang lain masa bodoh. Dalam melakukannya dibutuhkan kebersamaan
untuk saling mendukung dan mengisi satu sama lain. Dalam kata lain dalam
menjaga kelestarian budaya juga diperlukan kekompakan untuk saling mengisi dan
mendukung.
Sanggar Tari merupakan
sarana, wadah, ananda untuk ber-kreatifitas & mengenal tari-tarian adat,
dari berbagai daerah, yang di komplikasi-kan serta di modifikasi untuk lebih
menguasai & mengenal lebih dekat tarian traditional. Salah satu cara untuk
meninggkatkan minat generasi muda untuk terus melestarikan tarian yang dimana
merupakan warisan budaya yang harus terus dipertahankan dan dikembangkan adalah
dengan mengikuti sanggaar tari ini. Seperti yang ada di desa pedungan itu,
dengan didirikannya sekaa gambuh, maka semua kalangan mulai dari anak-anak,
remaja, bahkan dewasa bisa melatih diri untuk belajar menarikan tari gambuh.
Dahulnya tari gambuh di Desa Pedungan itu hanya ditarikan oleh kaum dewasa saja
bahkan generasi muda pun tak sedikit meliriknya. Namun sejak didirikannya
sanggar tari ini, generasi muda yang ingin mengembangkan bakat menarinya bisa
bergabung untuk mempelajari tarian ini. Tidak hanya tarian, gambelan gambuh pun
diajarkan pada sanggar tari itu. Sanggar tari ini selain sebagai wadah untuk
mewarisisi tarian hasil warisan budaya dan kesenian daerah, juga pernah dipakai
dalam ajang pariwisata, seperti saat pementasan tari gambuh inidilaksanakan di
Pura Tegalalang Gianyar, banyak wisatawan domestic serta wisatawan asing
menyaksikan tarian yang klasik ini yang dipadukan dengan bahasa-bahasa
sansekerta serta gambelan gambuh yang unik.
Selain itu Gambuh
sudah selayaknya dilestarikan, apalagi berfungsi sebagai sarana upacara. ASTI
(kini ISI) Denpasar sejak didirikan tahun 1967 telah berperan sebagai juru
selamat dengan mengajarkan Gambuh pada mahasiswa. Gambuh yang diajarkan adalah style
Pedungan dan Batuan, yang keduanya memiliki kekhasan. Untuk melestarikan
warisan budaya yang adiluhung ini, ISI telah memelopori menggunakan gamelan
Semar Pagulingan pelog saih pitu untuk mengiringi Gambuh. Bagi tabuh iringan
karakter keras, akan memberikan nuansa lebih semarak. Di samping itu, mahasiswa
yang akan menyelesaikan studinya, juga terinspirasi oleh agem-agem pokok
Pagambuhan, namun kemudian digubah agar memperoleh inovasi baru berwujud
garapan tari kreasi. Dengan demikian dibangunnya sanggar tari ini, kesenian
daerah yang merupakan warisan budaya dari leluhur akan terus berkembang
walalupun saat ini era globalisasi kini semakin pesat.
SIMPULAN
Gambuh adalah tarian dramatari Bali yang dianggap paling tinggi mutunya
dan juga merupakan dramatari klasik Bali yang paling kaya akan gerak-gerak
tari, sehingga dianggap sebagai sumber segala jenis tari klasik Bali.
Diperkirakan Gambuh muncul sekitar abad ke-15 dengan lakon bersumber pada cerita Panji. Gambuh berbentuk
teater total karena di dalamnya terdapat jalinan unsur seni suara, seni drama
dan tari, seni rupa, seni sastra, dan lainnya. Gambuh dipentaskan dalam
upacara-upacara Dewa Yadnya seperti odalan, upacara Manusa Yadnya seperti
perkawinan keluarga bangsawan, upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan lain
sebagainya. Diiringi dengan gamelan Penggambuhan yang berlaras pelog Saih
Pitu, tokoh-tokoh yang biasa ditampilkan dalam Gambuh adalah Condong,
Kakan-kakan, Putri, Arya/Kadean-kadean, Panji (Patih Manis), Prabangsa (Patih
Keras), Demang, Temenggung, Turas, Panasar, dan Prabu. Dalam memainkan
tokoh-tokoh tersebut semua penari berdialog umumnya menggunakan bahasa Kawi,
kecuali tokoh Turas, Panasar dan Condong yang berbahasa Bali, baik halus, madya,
atau kasar. Gambuh di Desa Pedungan, adalah berbentuk sebuah organisasi “sekaa”
yang anggotanya tidak kurang dari 200 orang, diayoni oleh 2 (dua) Banjar yakni
Banjar Puseh dan Bajar Menasa Pedungan. Dalam perkembangannya dewasa in, sejak
tahun 1950 ini Gambuh ini secara perlahan nampak menurun dan keadaannya sangat
memprihatinkan dialami pada tahun 1970 hal mana disebabkan karena kurangnya
perhatian masyarakat setempat terhadap kesenian ini, dan tidak tersedianya
biaya dari sekaa maupun banjar untuk memelihara perlengkapan Gambuh ini.
DAFTAR RUJUKAN
Darma Putra,I Nyoman.2006.Bali Bangkit Kembali:Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia: Universitas Udayana.
Bali Post.”Gambuh sebagai Inspirator Seni Pertunjukan”,
Minggu Paing, 24 Februari 2008.
(diunduh tanggal 15
Desember 2013)
(diunduh
tanggal 15 Desember 2013)
No comments:
Post a Comment