KESALAHPAHAMAN
MASYARAKAT HINDU DI BALI TERHADAP KASTA DAN WARNA
Oleh
I
Gusti Ayu Suryani
Universitas
Pendidikan Ganesha,
Jl Udayana, 11, Singaraja
e-mail
: suryani_igustiayu@yahoo.co.id
Abstract: Kesalahpahaman
Masyarakat Hindu di Bali Terhadap Kasta dan Warna. Misconceptions about
color and caste in the Hindu community in Bali has been in effect since time
immemorial. Influence of Caste in Bali at first originated from India while the
spread of Hinduism. Misunderstandings can occur because of a lack of public knowledge
about the teachings of Hinduism. In the sacred books of Hinduism is not known
the term caste, there is only color. Caste is different in
color. Color is a system of grouping people
based on their expertise. Efforts are being made to tarnish their honor caste
system is based on intelligence and dedication to the community, not because of
the title of nobility.
Key words: Kasta, Warna, Agama Hindu.
Key words: Kasta, Warna, Agama Hindu.
Abstrak: Kesalahpahaman
Masyarakat Hindu di Bali Terhadap Kasta dan Warna. Kesalahpahaman
mengenai warna dan kasta pada masyarakat Hindu di Bali sudah berlaku sejak
zaman dahulu. Pengaruh Kasta di Bali pada mulanya berasal dari India saat
penyebaran Agama Hindu. Kesalahpahaman
tersebut dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai ajaran
Agama Hindu. Dalam kitab-kitab suci Agama Hindu tidak dikenal istilah kasta,
yang ada hanyalah warna. Kasta berbeda dengan warna. Warna adalah sistem
pengelompokan masyarakat berdasarkan keahlian yang dimiliki. Upaya yang dilakukan untuk memudarkan sistem kasta adalah menghormati mereka berdasarkan inteligensi dan pengabdiannya
kepada masyarakat, bukan karena titel kebangsawanannya.
Kata-kata kunci : Kasta, Warna,
Agama Hindu.
Kata kasta sudah sering kita
dengar di kalangan masyarakat Hindu. Kasta bukan warna. Kasta itu identik
dengan pelapisan sosial di masyarakat. Dari turun temurun masyarakat percaya
dan masih menggunakan sistem kasta tersebut. Kasta mulai
digunakan saat pemerintahan kolonial Belanda. Pemerintah kolonial ini membagi
Bali menjadi delapan wilayah pemerintahan tahun 1929. Oleh penjajah Belanda,
para raja diwajibkan menggunakan gelar sekaligus nama yang diberikan Belanda.
Misal, I Goesti Alit Ngoerah di Badung dan Dewa Agong Tjokorda Oka Geg
Peonggawa di Klungkung. Inilah
yang disebut kebijakan Baliseering, semacam purifikasi
Bali untuk gerakan Ajeg Bali saat itu. Penjajah
Belanda, selama 350 tahun menguatkan sistem kasta karena ini sesuai dengan
politik divide et impera-nya (politik adu domba). Belanda mempertahankan kuasa melalui tangan-tangan penguasa, terutama Brahmana
dan Ksatria, dua tingkat tertinggi dalam kasta.
Kebijakan kasta memberikan dampak negatif yaitu
perselisihan bertahun-tahun bahkan hingga sekarang. Contoh perselisihan
tersebut ialah terjadi di Mengwi dan Gianyar. Di dua tempat ini, warga klan
Pande melawan kalangan Brahmana yang melarang mereka melakukan upacara tanpa
dipimpin pihak Brahmana. Selama 17 tahun melawan, dari 1911 hingga 1928,
akhirnya warga Pande diperbolehkan melaksanakan upacara dipimpin seorang empu,
bukan pedanda.
Kasta, dalam Dictionary of
American English disebut: Caste is a group resulting from the division of
society based on class differences of wealth, rank, rights, profession, or job.Uraian
lebih luas ditemukan pada Encyclopedia Americana Volume 5 halaman 775; asal katanya
adalah “Casta” bahasa Portugis yang berarti kelas, ras keturunan,
golongan.
Bangsa Portugis yang dikenal
sebagai penjelajah lautan adalah pemerhati dan penemupertama corak tatanan
masyarakat di India yang berjenjang dan berkelompok; mereka menamakan
tatanan itu sebagai casta. Tatanan itu kemudian berkembang di Eropa
terutama di Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, dan Portugis. Sosialisasi
casta di Eropa tumbuh subur karena didukung oleh bentuk
pemerintahan monarki (kerajaan) dan kehidupan agraris.
Para elit ketika itu adalah the
king (raja), the prince (kaum bangsawan), dan the land lord (tuan/
pemilik tanah pertanian); rakyat jelata kebanyakan buruh tani misalnya di Rusia
disebut sebagai kaum proletar adalah kelompok mayoritas yang hina,
hidup susah, dan senantiasa menjadi korban pemerasan kaum elit. Lama
kelamaan tatanan ini berubah karena tiga hal utama, yaitu:
1.
Revolusi Perancis dan
Bholshevik (Rusia) yang menghapuskan
monarki dan the land lord
2.
Industrialisasi yang
mengurangi peran sektor agraris
3.
Pengembangan Agama
Kristen yang menonjolkan segi kasih sayang di antara umat manusia
Walaupun demikian casta tidak
hilang sama sekali. Ia berubah wujud sebagai “Class System” yang
didefinisikan sebagai: A differentiation among men according to such categories
as wealth, position, and power (perbedaan manusia menurut kekayaan, posisi/status
dan kekuasaan). Class System ini dianalisis secara ilmiah oleh berbagai
tokoh masyarakat; yang terkemuka adalah Karl Marx dengan teorinya: The
relations of production. Inilah embrio pemahaman sosialis komunis
yang ingin meniadakan perbedaan kelas masyarakat, di mana pemerintah
menguasai sumber-sumber kehidupan dan mengupayakan perimbangan income
yang wajar di antara rakyatnya.
Peredaran zaman menuju ke abad 20
membawa Class Theory yang klasik seperti pemikiran Karl Marx berubah
menuju era baru seperti apa yang disebut sebagai Class Mobility, yaitu
pengelompokan sosial karena kepentingan profesi. Kini kita biasa mendengar kelompok-kelompok: usahawan,
birokrat, intelektual, militer, dan rohaniawan; mereka kemudian mengikat
diri lebih khusus ke dalam organisasi-organisasi seperti: IKADIN, IDI, ICMI,
ICHI, MUI, PHDI, dll.
India yang disebut dalam berbagai
sumber sebagai asal Kasta Stelsel, sebenarnya mempunyai sekitar 3000 kelompok
sosial masyarakat, namun pada umumnya dapat dibedakan menjadi empat.
Pengelompokan ini di India tidak hanya ditemukan pada masyarakat yang beragama
Hindu saja, tetapi juga pada masyarakat yang beragama lain misalnya penganut
Islam berkelompok pada: Sayid, Sheikh, Pathan, dan Momin; penganut Kristen berkelompok
pada: Chaldean Syrians, Yacobite Syrians, Latin Catholics, dan Marthomite
Syrians; penganut Budha berkelompok pada: Mahayana, Hinayana, dan Theravadi.
Untuk memastikan sejak kapan kasta
muncul di India memang menjadi persoalan
yang amat sulit dibuktikan. E.A Gait mengemukakan pendapatnya bahwa mula-mula
bangsa Arya tak suka perkawinan antar suku. Suku bangsa Arya di India
menganggap suku Dravida lebih rendah harkat dan martabatnya. Keadaan ini
didasarkan pada latar belakang sejarah kedatangan bangsa Arya ke India. Menurut
hypotesa Prof.Giles suku Arya yang ada di India sekarang berasal dari Eropa
Tengah. Kedatangan suku Arya yang pada awalnya tidak suka kawin dengan
orang-orang pribumi yang kulitnya hitam. Tetapi lama-kelamaan prajurit-prajurit
Arya kesulitan mendapatkan istri. Keadaan ini menyebabkan terjadinya
percampuran darah antar suku bangsa Arya yang kulitnya putih dengan suku bangsa
Dravida yang kulitnya hitam. Percampuran bangsa Arya dan Dravida inilah
mendatangkan pelapisan sosial yang disebut kasta (Ketut Wiana & Raka
Santeri:19).
Istilah pertama yang digunakan di
India sesungguhnya bukanlah kasta tetapi “Varnas” Bahasa Sanskerta yang artinya
Warna (colour); ditemukan dalam Rg Veda sekitar 3000 tahun sebelum
Masehi yaitu Brahman (pendeta), Kshatriya (prajurit dan
pemerintah), Vaishya (pedagang/ pengusaha), dan Sudra (pelayan).
Tiga kelompok pertama disebut “dwij” karena kelahirannya diupacarai dengan
prosesi penyucian.
Sementara itu, Warna yang
diabadikan bahkan diwariskan turun temurun terjadi di India sebagai usaha
kelompok elit mempertahankan status quo, yang sebenarnya sudah sangat menyimpang
dari ajaran suci Weda. Gejala mengabadikan Warna inilah yang dilihat oleh orang-orang
Portugis sehingga timbullah istilah “casta” seperti yang diuraikan di
atas. Penerapan kasta stelsel di India menimbulkan pengkotak-kotakan masyarakat
sehingga mereka saling bertikai. Dalam kondisi seperti ini jiwa nasionalisme
pudar sehingga India mudah dipecah belah dan akhirnya dijajah Inggris.
Agama Hindu kemudian menyebar ke
Indonesia lengkap dengan tatanan masyarakat menurut Warna masing-masing.
Mula-mula di Jawa tatanan masyarakat masih murni menurut Weda yaitu tatanan
menurut profesi atau Warna. Ketika Majapahit hendak meluaskan kerajaan dengan
cita-cita menyatukan Nusantara yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya Gajahmada,
maka Majapahit menundukkan Kerajaan Bali Dwipa pada abad ke-13. Para “penjajah
Majapahit” membawa serta kaum elit yang memimpin kerajaan Samprangan. Kaum elit
itu dinamakan Triwangsa, yaitu Brahmana, Ksatria, dan Waisya. Semua penduduk
Bali asli yang dijajah, dikelompokkan sebagai Wangsa Sudra. Tujuan politik
Gajahmada adalah agar kaum Bali-asli tidak bisa eksis, sehingga kelanggengan
pemerintahan Samprangan dapat berlanjut terus.
Titel bagi para Raja di Bali
dikukuhkan/dianugrahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda setelah terwujudnya
Pemerintahan Swapraja, berlaku efektif sejak tanggal 1 Juli 1938. Pengambilan
sumpah jabatan para Raja itu dilaksanakan di Pura Besakih pada tanggal 29 Juni
1938 bertepatan dengan hari raya Galungan oleh Residen Bali dan Lombok: J. Mol(sumber:
Bali pada abad XIX, Ida Anak Agung Gde Agung, Gajahmada University Press,1989).
Sejak masa itulah Warna di Bali
berubah menjadi Wangsa atau Kasta karena hak-hak kebangsawanan diturunkan
kepada generasi seterusnya. Kebijaksanaan ini menjadi panutan bagi sebagian
golongan Triwangsa lainnya. Setelah kerajaan-kerajaan di Bali runtuh, kemudian
Indonesia menjadi negara Republik, hak-hak kebangsawanan mereka dengan sendirinya
hilang. Yang menjadi persoalan sekarang adalah kaburnya pengertian antara kasta
dan warna dalam Hindu karena pendidikan yang rendah dan kurang tersebarnya
kitab-kitab suci Weda. sehingga para rohaniawan yang memang Brahmana sesuai
konsep catur warna, misalnya sampai keturunananya pun ikut disebut Brahmana,
padahal keturunannya itu bukan seorang rohaniawan (Ketut Wiana & Raka
Santeri:23).
Terjadi perkembangan sedemikian rupa dalam
masyarakat khususnya masyarakat
non-Hindu yang menggunjingkan tentang sitem warna ini yang dikaburkan atau
dicampur adukan dengan sistem kasta (Ketut Wiana
& Raka Santeri:30).
Sebuah buku yang ditulis oleh
seorang pengajar perbandingan agama, menguraikan pengertian catur warna sebagai
berikut : Jumlah waran ada 4 yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Dari
keempat kelompok tersebut, Brahmana yang paling tinggi. Pembagian golongan ini
didasarkan pada kelahiran. Pengertian warna ini sama dengan kasta.
Seorang Guru Besar Ilmu Filsafat
dalam bukunya Pembimbing Ke Arah Filsafat menuliskan sebagai berikut : adapun
seluruh masyarakat Hindu dapat dibagi 4 tingkatan Kasta yaitu Brahmana,
Ksatria, Waisya dan Sudra. Keempat tingkatan ini ditentukan oleh kelahiran
sehingga bagaimanapun orang berusaha, tak dapat ia beralih dari satu kasta ke
kasta lainnya. Demikian dua contoh pandangan para ahli sejarah dan filsafat
yang non-Hindu yang tidak meneliti pengertian warna dari sumber-sumber kitab
suci agama Hindu (Ketut Wiana & Raka Santeri:31).
Kedua para ahli tersebut, mungkin
terbatas mendapatkan kitab-kitab suci Hindu. Tetapi jangankan kedua para ahli
tersebut, masyarakat Bali yang notabene sebagaian besar beragama Hindu masih
rancu atau adanya kesalahpahaman mengenai sistem kasta dan warna. Hal ini
disebabkan karena masih rendahnya pendidikan dan belum
banyak membaca kitab-kitab suci dan ajaran–ajaran Hindu.
Contohnya saja seorang keturunan raja diberi gelar seperti raja padahal ia
tidak menjabat sebagai raja.
Dalam Lontar Wrhaspati Tattwa
dijelaskan: Paramasiwa kesadarannya mulai tersentuh oleh Maya; ketika
itu ia mulai terpengaruh oleh sakti, guna, dan swabhawa yang merupakan hukum
kemahakuasaan Sanghyang Widhi Wasa. Dalam keadaan begini ia diberi gelar
Sadasiwa. Ia memiliki kekuatan untuk memenuhisegala kehendaknya yang
disimpulkan sebagai bunga teratai (padma) yang merupakan stana-Nya.
Dengan sakti, guna, dan swabawa-Nya ia aktif dengan segala ciptaan-Nya, karena
itu ia disebut Saguna Brahman. Dalam menciptakan manusia ia tidak
membedabedakan derajat manusia. Catur Warna adalah: Brahmana, Kesatria, Wesya,
dan Sudra. Pengelompokannya menurut bakat/ kualitas manusia dan kerjanya:
1. Orang yang
berbakat, berkualitas, dan bekerja di bidang ke-Tuhanan disebut Brahmana.
2. Orang yang berbakat, berkualitas, dan
bekerja di bidang pemerintahan disebut Kesatria.
3. Orang yang berbakat, berkualitas, dan
bekerja di bidang perekonomian disebut Waisya.
4. Orang yang berbakat, berkualitas, dan bekerja
di bidang pelayanan disebut Sudra.
Keempat kelompok profesi ini
diperlukan dalam tatanan kehidupan manusia, oleh karena itu Sang Hyang Widhi
Wasa menciptakan manusia-manusia yang berbeda, tidak sama semuanya. Tidaklah
dapat dibayangkan bagaimana bentuk kehidupan ini jika semua manusia persis
sama: bakat, kualitas, dan kerjanya.
Warna seseorang dapat berubah
menurut desa, kala, patra, dan juga dapat dirangkap oleh satu orang. Perubahan
menurut desa, kala, patra sudah terjadi sejak dahulu, misalnya di abad ke 13 M
ketika Danghyang Kresna Kepakisan (Warna Brahmana) dinobatkan sebagai Raja Bali
Dwipa oleh Sri Ratu Tribuwanattunggadewi (Raja Majapahit) gelarnya diubah
menjadi Sri Kresna Kepakisan (Warna Kesatria). Warna seseorang tidak selamanya
tetap apalagi turun temurun; misalnya seorang petani (berwarna Sudra) karena
ketekunannya berhasil menyekolahkan anaknya dan di kemudian hari menjadi bupati
maka anaknya sudah menjadi Warna Ksatriya; demikian sebaliknya seorang
keturunan Brahmana yang tidak lagi berprofesi sebagai Wiku tidak dapat disebut
sebagai Warna Brahmana. Perubahan status pada seseorang bahkan dapat terjadi
setiap saat menurut bidang tugasnya, misalnya seorang pesuruh di suatu kantor
yang merangkap menjadi Pemangku di Pura/Sanggah Pamerajan; ketika bertugas
sebagai pesuruh dia berwarna Sudra, tetapi jika bertugas nganteb piodalan di
Pura dia berwarna Brahmana.
Kesimpulannya adalah Warna itu
realistis dan idealnya semua profesional berbuat sebaik-baiknya untuk
kepentingan bersama dan kesejahteraan umat manusia. Ke-empat Warna itu status
dan derajatnya sama, tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah,
karena wujudnya adalah professionalisme.
Wangsa adalah bangsa. Karena
bangsa berkonotasi dengan etnis, maka sifatnya turun temurun. Misalnya anak
pasangan suami/istri berbangsa Cina tidak mungkin mengaku anak orang berbangsa
Negro. Di Bali, wangsa sering dikaitkan dengan istilah Kasta. Kasta artinya
tingkatan derajat (Cast) yang membedakan dengan tingkatan atau derajat (Cast)
yang lain. Secara umum konotasi ke-wangsa-an berkaitan dengan politik,
perjuangan, dan kekuasaan. Lama kelamaan wangsa menjadi kasta, dan Warna
menjadi wangsa, sehingga sekarang ditemukan: Kasta Brahmana, Kasta Kesatria,
Kasta Wesya, Kasta Sudra, dengan atribut/ titel yang tidak berdasarkan kitab
suci. Oleh karena pembauran Warna dengan wangsa/ kasta, maka atribut/ titel
itupun diwariskan turun temurun. Kejanggalan tidak sedikit terjadi, misalnya
seorang wangsa Brahmana berprofesi sebagai Warna Sudra, demikian sebaliknya.
Banyak yang berdalih bahwa mewariskan wangsa kepada keturunan adalah sebagai
wujud penghormatan kepada leluhur. Ini tampaknya kurang bijaksana, karena pola
pikir seperti itu telah menyimpang dari Weda.
Menurut Bhagawan Dwija, upaya yang
dilakukan untuk memudarkan kasta yaitu perlakukan orang-orang berkasta itu
biasa-biasa saja. Hormati mereka berdasarkan inteligensi dan pengabdiannya
kepada masyarakat. Bukan karena titel kebangsawanannya. Satu lagi yang
sebaiknya diterapkan di masyarakat Hindu : bila seorang gadis dinikahi oleh
seorang dari kaum Triwangsa sebaiknya namanya tidak usah diganti misalnya
ketika gadis bernama Made Arini, lalu karena menikah dengan Ida Bagus/Anak
Agung/I Gusti namanya diganti menjadi Jero Jempiring. Karena tidak ada aturan
tentang hal tersebut dalam sastra Agama. Ini hanyalah tradisi gugon tuwon yang
berbau feodal. Lontar Dharma Kauripan mengatakan bahwa yang berhak memberi nama atau merubah nama seorang anak
hanyalah ayah dan ibu kandungnya (Guru Rupaka).
Nama diberikan ketika upacara tiga
bulanan, disaksikan oleh Ida Bethara Hyang Guru (Kemulan), karena itu
ada unsur sakralnya. Anak yang namanya diganti bukan atas kehendak orang tuanya
akan menemui kesialan dalam hidup selanjutnya, karena terkena kutukan prasangga
pada Guru Rupaka. Dan mudah-mudahan juga ketika natab banten pekala-kalaan si
Jero Jempiring tidak natab bersama keris sebagai ganti sang suami. Kalau
ini juga terjadi penyimpangan dharma agama akan makin melebar. Seorang lelaki
yang menikahi seorang gadis yang berbeda wangsa tidak hanya mencintai dan
menyayangi gadis itu saja, tetapi juga wajib menghormati dan menyayangi
keluarga si gadis, termasuk para leluhurnya. Ngaturang bakti di sanggah
pamerajan pihak wanita tidak selamanya berarti “nyumbah” leluhur si
gadis, tetapi (dalam upacara Pawiwahan) lebih bermakna sebagai
permakluman dan perkenalan diri kepada para leluhur si gadis. Yang terakhir,
perlu dipahami bahwa upacara Mepamit tidak berarti mohon diri kepada Ida
Bethara di Sanggah Pamerajan, tetapi berarti pemindahan registrasi (secara niskala),
yaitu registrasi di Sanggah Pamerajan gadis dicoret kemudian terdaftar di
Sanggah Pamerajan laki-laki, sehingga nanti bila meninggal dunia lalu di-aben,
arwah si gadis sudah sah “mepaingkup” di Sanggah Pamerajan laki-laki.
SIMPULAN
Pengaruh Kasta di
Bali pada mulanya berasal dari India saat penyebaran Agama Hindu. Mula-mula di Bali dan Jawa tatanan masyarakat masih murni
menurut Weda. Ketika Majapahit hendak meluaskan kerajaan dengan patihnya Gajah
Mada. Ia menundukan Bali dengan mengelompokan penduduk menjadi tiga kelompok
yaitu Brahmana, Ksatria, dan Waisya. Kemudian ketika pemerintahan Hindia
Belanda, sistem kasta ini terus dilanjutkan dengan tujuan memecah belah
persatuan.
Kesalahpahaman antara
kasta dan warna terjadi pada orang-orang
non Hindu karena mereka tidak meneliti dengan berpedoman pada kitab-kitab suci
Agama Hindu. Sementara itu, sebagain umat Hindu yang pendidikannya masih rendah
dan belum banyak membaca kitab-kitab suci dan ajaran Hindu masih terjadi
kesalahpahaman dalam mengartikan antara kasta dan warna.
Dalam kitab-kitab
suci Agama Hindu seperti Bhagawan Gita, Manawa Dharma Sastra, dan Yajur Weda
menyebutkan tidak adanya istilah yang menyinggung kasta yang ada hanya warna
yang membagi masyarakat berdasarkan guna dan karmanya dan tidak ditentukan
karena kelahirannya.
Upaya yang dilakukan
untuk memudarkan sistem kasta adalah menghormati
mereka berdasarkan inteligensi dan pengabdiannya kepada masyarakat, bukan
karena titel kebangsawanannya.
DAFTAR
RUJUKAN
Wirawan Afdila, I Kade. 2012. Kasta sikap Diskrimitif Orang Bali. (Online)
(http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/20/kasta-sikap-diskriminatif-orang-bali/
, diakses pada tanggal 12 Desember 2013)
Dwija, Bhawagan. 2012. Riwayat
Kasta di Bali. (Online) (http://stitidharma.org/riwayat-kasta-di-Bali/
, diakses pada tanggal 12 Desember 2013)
Wiana Ketut & Sateri Raka.1993.Kasta dalam Hindu: Kesalahpahaman Berabad-abad. Denpasar
:Yayasan Dharma Naradha
Kerepun Kembar,Made.2007.Mengurai Benang Kusut Kasta. Denpasar:
PT Empat Warna
Komunikasi
No comments:
Post a Comment